Di dunia kita ini, sistem transmisi pengetahuan, kebudayaan, dan agama tengah diguncang oleh dua perubahan yang terjadi secara hampir serentak: perluasan literasi dasar dengan penghapusan buta huruf dan media sosial. Alhasil cara kita merumuskan pengetahuan, kebudayaan, dan agama berubah secara drastis.
Berbeda dengan asumsi yang lama dipegang, bahkan oleh UNESCO sendiri, ”kemajuan” itu tidak berarti bahwa ”zaman pencerahan” telah tiba. Bahkan, kebalikannya: kini ’identitas’ agama yang telah dikonstruksi dan dibakukan melalui pendidikan agama cenderung didramatisasi dan dipertajam oleh pertarungan media sosial.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. India pun tidak luput, dan pengalamannya pantas dipelajari agar Indonesia terhindar dari masalah serupa. Saya menjadi lebih sadar terhadap hal ini ketika baru-baru ini berdiskusi dengan seorang guru besar, seorang warga Italia yang telah puluhan tahun mempelajari kebudayaan Persia.
Oh, bukan kebudayaan Persia dari Republik Islam yang terkenal itu, melainkan kebudayaan Persia sebagaimana pernah hadir sebelum penjajahan Inggris di bekas wilayah kekuasaan Mogol, kerajaan yang pernah membawahi separuh dari India modern ini. Pada waktu itu, bahasa Persia adalah bahasa budaya dan penggunaannya sangat luas di kalangan kaum terdidik, di samping bahasa Sanskerta di kalangan Hindu.
”Di India Selatan sebagaimana saya kenal sampai sepuluh tahun yang lalu,” kata Prof Fab, ”baik ajaran Hindu maupun Islam masih sering bersifat simbolis, jauh dari wacana identitas. Di beberapa daerah kerap terjadi bahwa kaum sufi Islam dan kaum Sadhu Hindu berkumpul untuk berdebat di seputar topik mistik atau filsafat tertentu. Kerap terjadi juga bahwa rakyat kecil Islam mengunjungi ’orang pintar’ Hindu dan kebalikannya. Pintu komunikasi terbuka luas. Penerjemahan buku dari tradisi Hindu ke dalam bahasa Persia adalah hal yang lumrah.”
Menarik, kan? Saya teringat tradisi Jawa, senjata kalimosodo sebagai sarana untuk memasukkan unsur Islam dalam kerangka berpikir yang masih kejawen. Saya juga teringat desa adat Islam Bali yang manunggal secara sosial dengan lingkungan Hindu.
Namun, Prof Fab tidak lagi optimistis: ”Kenapa saya datang ke Indonesia,” katanya.”Karena saya tidak bisa lagi melakukan penelitian lapangan sebagaimana saya lakukan sepuluh-lima belas tahun lalu di India. Massa Hindu dari partai BJP pimpinan Perdana Menteri Modi dan sekutunya, RSS, kini menguasai medan dengan amat kasar. Sebagai pendukung dari konsep negara India yang ’betul-betul Hindu’—disebut Hindutwa—mereka menentang setiap ’pertemuan’ antara tradisi Hindu dan tradisi Islam dan Kristen. Sejarah dan filsafat Hindu-India yang selama ini tidak pernah bersifat dogmatis kini kian sering ditafsir secara radikal-fundamentalis….”
Saya amat tercengang mendengar itu. Mungkin karena teringat figur Gandhi dan kebijakan Nehru pada awal kemerdekaan India. Ternyata di India pun virus radikalisme merajalela. Kali ini di kalangan Hindu.
”Pada pandangan pertama,” tambah Prof Fab, ”hubungan antara kaum Hindu dan Islam di Indonesia jauh lebih baik daripada di India.”
Hal ini saya benarkan. Ya, saya harus optimistis di depan cendekiawan dengan jabatan profesor itu. Saya benarkan sembari menambah bahwa orang Indonesia lebih cenderung menekankan ”persamaan” antar-kelompok daripada ”perbedaan”. Saya juga menyebut peran Pancasila, yang mengedepankan pluralisme dan kemanusiaan….
Namun, di hati kecil, saya prihatin. Sejak lima puluh tahun, sistem pendidikan dari sebagian besar negara dunia, termasuk Indonesia, telah ”mengeluarkan” rakyat kecilnya dari warisan simbolis tradisional untuk mencemplungkannya ke dalam kemutlakan tafsir buku-buku suci acuannya.
”Rasionalitas” semu yang didapatkan dari tafsir kasar nan mutlak ini cenderung menyulap sistem pendidikan agama menjadi sarana politik identitas dan radikalisme agama. Islam ”kena” lebih dini; tetapi kini giliran Hindu di India, dan Buddha di Myanmar.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sudah cukup lama virus identitas menjangkiti ruang-ruang agama, tetapi kini virus itu mulai juga merambah kehidupan sosial dan politik di Bali. Maka, kepada teman-teman, saya hanya dapat berkata: hati-hati pada semangat berkelompok; perhatikan sejarah; perhatikan pengalaman negara lain. Jangan membiarkan gelombang ”politik identitas” menghancurkan semua. ***