Sekali waktu saya berbicara dengan seorang teman yang konten media sosialnya hanya berisi kesenangan hidup. Melihat akun Instagram-nya itu, saya sempat iri hati dan sampai berpikir, apakah orang ini tak pernah mengalami kesusahan.
Terlalu jujur
Foto-foto yang diunggah kalau tidak sedang berpesta, ya, sedang bepergian ke mancanegara. Bersama teman-temannya atau bersama keluarga. Pokoknya sebuah akun media sosial yang hanya menggambarkan kalau hidup seorang manusia itu tak ada susahnya.
Maka, suatu hari, saya bertanya kepadanya, bagaimana rahasianya dapat mempunyai hidup seperti gambaran dalam media sosialnya itu. Jawabannya singkat dan cukup mengejutkan. ”Kalau di media sosial, kesusahan hidup itu enggak usah dipertontonkan. Kita itu harus menciptakan kebahagiaan untuk orang yang melihatnya. Kesusahan itu disimpan untuk konsumsi di rumah saja.”
Saya terdiam dan hanya mengangguk-angguk. Saya sejujurnya bingung. Saya mengangguk itu tanda setuju atau tanda saya bingung. Saya bingung karena saya tak pernah terpikirkan untuk mempunyai hidup di dua dunia. Akan tetapi, mendengar komentarnya, pada akhirnya, saya mengangguk tanda setuju. Saya harus punya hidup di dua dunia.
Setelah saya berpikir, ada benarnya jawaban teman saya itu. Dengan memiliki akun yang penuh dengan kebahagiaan, saya menjadi agen penyebar kebahagiaan ketimbang menjadi agen kesengsaraan, pemecah belah, dan agen kerisauan. Dengan demikian, orang akan melihat konten kebahagiaan itu setiap hari, paling tidak buat para pengikut akun saya itu.
Siapa tahu dari melihat sebuah akun yang berisi kebahagiaan, yang menggambarkan hidup itu tak perlu dibawa susah, menjadi sebuah inspirasi untuk orang lain untuk memiliki hidup yang bahagia. Bersama diri sendiri, bersama teman-teman, dan bersama keluarga.
Bahwa pada kenyataannya pernikahan mereka babak belur, suami berselingkuh, anak doyan narkoba, itu bukan konsumsi untuk dunia luar. Mungkin itu untungnya hidup di dua dunia.
Saya harus belajar untuk memiliki dua dunia yang berbeda itu agar image saya tetap bagus. Sebab, selama ini, sampai tulisan ini Anda baca, akun media sosial saya menggambarkan satu dunia saja.
Dunia saya yang sejujur-jujurnya. Dan, ternyata kejujuran itu tak selamanya memberi kesan baik di mata orang lain. Sebab, ada saja yang berkomentar, saya vulgar, saya terlalu jujur. Bahkan, ada yang salah mengerti tentang kejujuran yang saya tampilkan dan mereka malah mengajak saja berbuat yang tidak-tidak.
Sandiwara
Kalau saya hidup di dua dunia, orang akan melihat saya baik, kehidupan saya bisa menjadi contoh. Jadi, saya bisa diundang menjadi pembicara di sana dan di sini. Menjadi motivator di sana dan di situ.
Bukan hanya itu, saya menjadi manusia yang bisa jadi bijaksana karena terbiasa bisa memilah mana yang untuk kebahagiaan dan mana yang untuk kesusahan. Saya menjadi seorang yang ahli dalam menangani permasalahan hidup.
Dengan begitu, terkesan saya adalah manusia yang menyenangkan dan pada waktu yang bersamaan telihat bijak. Sebab, dengan akun yang berisi kebahagiaan, orang juga bisa berpikir, secara jiwa, saya adalah manusia yang berbahagia, manusia yang sehat lahir batin dan dapat dijadikan contoh.
Tentu mereka tak perlu tahu dunia saya yang satu lagi. Dunia saya yang sesungguhnya, dunia di mana saya menjadi diri sendiri. Saya berteriak dan melempar piring atau membanting pintu di dalam rumah, meneriaki pembantu rumah tangga secara kasar.
Berbeda sekali dengan apa yang orang lihat di akun media sosial saya, di mana saya memeluk anak saya yang mungkin beberapa hari lalu ketahuan menggunakan narkoba dan sudah berbulan-bulan nunggak di warung rokok serta memeluk pasangan saya yang belum lama ketahuan berselingkuh.
Kejadian di rumah itu hanya untuk konsumsi pembantu rumah tangga, sopir pribadi, dan tukang kebun. Sejak dulu untuk mengetahui siapa sesungguhnya teman atau bos saya, orang pertama yang saya datangi adalah sopir pribadi atau pembantu rumah tangganya. Mereka adalah manusia yang paling tahu kejadian yang sebenarnya.
Benarlah kalau dikatakan dunia ini panggung sandiwara. Saya yang jadi pemainnya. Dan sebagai pemain sandiwara, saya harus pandai-pandai berakting supaya saya tak dihakimi. Kalau akting saya jelek, orang yang melihatnya juga kesal. Bahkan, bisa jadi, penonton beranjak pulang sebelum sandiwara itu berakhir.
Kalau akting saya tak menghayati peran yang saya mainkan, panggung sandiwara itu menjadi basi dan bisa jadi suatu hari saya tak bisa menerima ”penghargaan Oscar” kehidupan.
Kalau saya pandai bermain sandiwara, bisa jadi pengikut saya di media sosial jadi banyak sekali. Dengan demikian, saya dapat memonetisasi akun itu sehingga saya dapat memperoleh pemasukan yang mungkin tidak sedikit.
Bahwa saya bisa menghasilkan uang dari sebuah akting yang saya ciptakan, yaaa… itu mungkin hebatnya saya. Kehebatan menjadikan kemunafikan sebagai pendapatan tetap. ***