Jangan menyangka urbanisasi itu beban. Malah sebaliknya, urbanisasi sebenarnya dapat berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi menuju kesejahteraan asalkan urbanisasi dikelola dengan baik.
Urbanisasi terjadi karena pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan penduduk akan kegiatan serta fasilitas hidup yang lebih bervariasi dan lebih banyak. Urbanisasi dapat memberi dampak positif bagi pembangunan suatu negara menuju perekonomian dan struktur sosial yang kuat dan stabil sebab ekonomi perkotaan sebagian besar bertumpu pada sektor industri dan jasa yang memberi nilai tambah lebih besar terhadap perekonomian.
Namun, kajian Bank Dunia tentang Indonesia, Urbanization Flagship Report (2019), menunjukkan 1 persen pertumbuhan urbanisasi di Indonesia hanya mampu mendorong peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita 1,4 persen. Padahal, di negara lain dengan karakteristik pertumbuhan penduduk sejenis, misalnya China, urbanisasi dapat meningkatkan PDRB per kapita 3 persen, dan di negara lain di Asia Timur Pasifik 2,7 persen.
Persoalan urbanisasi di Indonesia
Tingkat urbanisasi yang sangat tinggi dan pesatnya perkembangan ekonomi wilayah berdampak pada peningkatan kebutuhan lahan dan infrastruktur layanan dasar, transportasi, keseimbangan lingkungan, serta keamanan dan sosial kemasyarakatan. Kemampuan Indonesia memenuhi kebutuhan ini masih rendah sehingga tak mampu mengejar tingkat pertumbuhan perkotaan.
Indikator perkotaan di Indonesia juga tertinggal dari negara tetangga. Berdasarkan SDGs Index and Dashboard Report 2018 yang dirilis Sustainable Development Solution Network, nilai indeks sustainable cities yang dimiliki perkotaan di Indonesia pada 2018 hanya menempati peringkat ke-107 dari 156 negara. Indeks ini menggunakan indikator antara lain kualitas udara, akses air minum, sistem transportasi publik, dan akses rumah.
Selanjutnya, menurut data Joint Monitoring Program WHO/Unicef tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ke-131 untuk akses air minum dan peringkat ke-133 untuk akses sanitasi layak dari total 190 negara di dunia. Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand yang sudah masuk 100 besar di dunia, bahkan di bawah Filipina.
Pada 2018, hanya 61,29 persen rumah tangga yang punya akses terhadap air minum layak dan hanya 20,14 persen memiliki akses air minum perpipaan. Untuk sanitasi, persentase rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak 69,27 persen, dengan hanya 13 kabupaten/kota yang memiliki instalasi pengolahan air limbah domestik skala kota. Masih 9,36 persen atau 26,2 juta jiwa penduduk Indonesia yang buang air besar sembarangan, 5,9 juta jiwa di antaranya penduduk perkotaan. Kurangnya akses pada air minum dan sanitasi akan menurunkan kualitas kesehatan masyarakat, terutama gangguan tumbuh kembang pada anak-anak, terlihat dari 27,5 persen anak balita pada 2018 yang masih stunting.
Masalah di wilayah perkotaan di beberapa kawasan yang telah jadi metropolitan, seperti Jakarta dan sekitarnya, menjadi lebih kompleks karena sifatnya yang lintas wilayah administrasi sering tak terintegrasi. Ini membuat layanan tak efisien sehingga bikin soal baru bagi penduduk. Pemenuhan layanan perkotaan wilayah metropolitan seharusnya ditopang pengelolaan terintegrasi dengan kelembagaan yang efektif berdasarkan, bukan saja, kebutuhan parsial wilayah administrasi, tapi lebih kepada kebutuhan fungsional optimal suatu kewilayahan yang luas dan saling terkait.
Perkotaan di Indonesia terdiri atas kota administratif dan kawasan perkotaan fungsional. Kota administratif dibagi berdasarkan besarnya jumlah penduduk: kota kecil, kota sedang, dan kota besar. Per definisi, kota kecil berpenduduk kurang dari 500.000 orang, kota sedang 500.000 hingga 1 juta orang, serta kota besar di atas 1 juta orang. Kawasan perkotaan fungsional terdiri dari kawasan perkotaan dan kawasan metropolitan.
Kawasan perkotaan biasanya di dalam suatu kabupaten dan dalam batas administratif kecamatan, sedangkan kawasan metropolitan umumnya terdiri atas dua atau lebih daerah administrasi provinsi, kabupaten/kota, atau kecamatan. Kawasan perkotaan Jabodetabek adalah salah satu contoh kawasan metropolitan dengan 2 provinsi, 7 kabupaten/kota, dan 185 kecamatan.
Banyak variasi metode penetapan batas metropolitan yang digunakan di sejumlah negara, tapi umumnya menggunakan data kepadatan penduduk per kilometer persegi untuk penentuan kawasan inti dan data komuter harian dari kawasan sekitar ke dalam kawasan inti untuk penentuan kawasan metropolitan fungsional. Di sejumlah negara, setelah batas metropolitan ditetapkan, data statistik dikumpulkan secara reguler sebagai dasar bagi perencanaan metropolitan secara terintegrasi.
Data tak lagi dipublikasi terpisah sesuai dengan daerah administrasi, tapi per kawasan metropolitan atau dikenal dengan wilayah statistik metropolitan (WSM). Selain itu, di era teknologi digital, pengembangan WSM dapat memanfaatkan ketersediaan big dataBig data layanan perkotaan yang dapat digunakan seperti tagihan listrik, tagihan air minum, dan KTP-el perlu dikumpulkan dijadikan basis data bagi pengembangan layanan perkotaan lebih baik.
Perkotaan/metropolitan berkelanjutan
Jika direncanakan dan dikelola baik, urbanisasi dapat jadi alat efektif untuk pembangunan berkelanjutan. Amanat global seperti Sustainable Development Goals 2030 dan New Urban Agenda telah menemu-kenali potensi ini. Namun, diperlukan penerjemahan yang baik agar dapat disesuaikan dengan karakteristik perkotaan di Indonesia.
Saat ini, Kebijakan Perkotaan Nasional (KPN) disusun dengan mengadopsi amanat global yang tercantum di SDGs. SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan telah menetapkan Tujuan 11 yang meliputi: (a) perumahan dan infrastruktur layanan dasar yang layak, aman, dan terjangkau; (b) peningkatan kualitas kawasan kumuh; (c) sistem transportasi yang layak dan terjangkau; (d) urbanisasi yang terintegrasi, inklusif, dan berkelanjutan; (e) keterkaitan kota-desa; (f) mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; (g) pengurangan risiko bencana.
KPN juga telah mengadopsi berbagai indikator SDGs terkait perkotaan.
KPN menetapkan lima misi: (a) mendorong sistem perkotaan nasional yang terpadu, seimbang, menyejahterakan, dan berkeadilan; (b) mewujudkan kota layak huni, inklusif, dan berbudaya; (c) mewujudkan kota yang maju dan menyejahterakan; (d) mewujudkan kota hijau dan tangguh; serta (e) mendorong tata kelola perkotaan yang kolaboratif, transparan, dan akuntabel. Kelima misi itu diterjemahkan ke dalam kegiatan yang dilaksanakan berbagai pihak, tak hanya pemerintah. Untuk mewujudkannya, diperlukan integrasi perencanaan-penganggaran-pembiayaan.
Mengacu kepada kelima misi itu dan perencanaan tata ruang wilayah kota atau metropolitan berjangka panjang, pemerintah daerah diharapkan menyusun pula prioritas kegiatan jangka menengah yang dilengkapi skema pembiayaan potensial sehingga menghasilkan rencana investasi yang dimasukkan ke dalam setiap perencanaan pembangunan lima tahunan (RPJMD) berkesinambungan.
Pembangunan perkotaan di masa depan, khususnya wilayah metropolitan, perlu mempertimbangkan efisiensi lahan/sumber daya alam/energi.
Konsep compact city dengan mixed used area terhubung dengan transportasi publik perlu diperdalam dan dikembangkan di Indonesia. Kedua konsep itu memungkinkan perkotaan yang hemat lahan dan hemat energi yang mengutamakan tempat tinggal terpadu dengan pusat bisnis. Area campuran ini memudahkan penduduknya beraktivitas dengan menggunakan non-motorized modes: sepeda ataupun berjalan kaki. Untuk menuju tempat-tempat cukup jauh, tersedia transportasi publik yang andal.
Pengembangan wilayah metropolitan berkelanjutan memerlukan pula desain kelembagaan yang efektif dan mampu mengintegrasikan perencanaan dan pembangunan perkotaan lintas administrasi di dalam wilayah metropolitan. Tantangan besar di era desentralisasi ini adalah kerja sama di dalam wilayah metropolitan yang dibatasi aturan desentralisasi. Desentralisasi membagi kewenangan administrasi terbesar di level kota/kabupaten serta membagi urusan secara tegas antarsektor.
Desain lembaga pengelola bagi setiap wilayah metropolitan tak bisa seragam, perlu pertimbangan politik, sosial, dan kapasitas fiskal. Beberapa usulan bentuk kelembagaan kawasan metropolitan yang dapat digunakan sebagai benchmark antara lain forum antarkota, metropolitan/regional authoritytwo tier metropolitan/local government, dan konsolidasi pemerintah daerah.
Menyadari besar kebutuhan pendanaan untuk membangun perkotaan dan wilayah metropolitan berkelanjutan, skema pembiayaan alternatif yang inovatif perlu dikembangkan. Kemampuan mengidentifikasi skema pembiayaan alternatif untuk pembangunan perkotaan menjadi salah satu keahlian yang harus dikuasai pemda. Kemampuan itu termasuk mengidentifikasi kegiatan yang cocok dibiayai kerja sama pemerintah dan swasta, obligasi daerah, investasi BUMN/BUMD dan badan usaha swasta, pemanfaatan zakat-infak-wakaf untuk meningkatkan kesejahteraan mustahik atau pinjaman bank.
Sebagai contoh, saat ini telah dibangun rumah susun di atas tanah wakaf ditujukan untuk mustahik yang memerlukannya demi mengurangi berkembangnya permukiman informal. Skema pembiayaan ini salah satu model yang diterapkan di bawah sistem pembiayaan Islam yang diatur dalam UU No 41/2004 tentang Wakaf dan UU No 20/2011 tentang Rumah Susun Terjangkau.
Tindak lanjut
Untuk menghadapi tantangan urbanisasi dan perwujudan kota berkelanjutan, pemerintah terus berkomitmen mengembangkan Kebijakan Perkotaan Nasional yang selaras dengan SDGs untuk mewujudkan Visi Perkotaan Berkelanjutan 2045. Sebagai tahap awal, dalam RPJMN 2020-2024, pemerintah menetapkan dan mengarahkan pembangunan beberapa kota besar dan wilayah metropolitan di luar Jawa sebagai prioritas dalam RPJMN 2020-2024. Salah satunya, rencana pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur demi lebih memeratakan pembangunan antara Pulau Jawa dan pulau besar lainnya.
Untuk memperkuat perencanaan perkotaan, pemerintah terus berupaya memastikan integrasi antara perencanaan ruang dan perencanaan pembangunan. Perencanaan ruang tak hanya berhenti pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), tetapi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) harus jadi prasyarat utama untuk pembangunan perkotaan. Dengan skala peta lebih rinci daripada RTRW, RDTR lebih dapat jadi acuan penyusun Rencana Investasi Perkotaan yang diintegrasikan ke dalam RPJMD. RDTR dapat jadi alat pengendalian pembangunan perkotaan agar tetap tertata baik.
Di tengah upaya Indonesia mewujudkan cita-cita ini, kontribusi keuangan pemerintah dalam pembangunan hanya 20 persen dari total kebutuhan. Untuk itu, perlu kerja sama seluruh pihak untuk mempercepat pembangunan perkotaan yang terencana dengan baik dan tetap berpedoman pada prinsip berkelanjutan sehingga pertumbuhan perkotaan dan metropolitan jadi berkah pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan warga.
(Bambang PS Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas)