”Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Negara itu tumbuh karena suatu perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.” Demikian diungkapkan Bung Hatta. Bung Hatta mengingatkan agar kita terus terlibat dan peduli pada dinamika hidup negeri ini. Karena bagi Bung Hatta, ”Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.”
Pendiri bangsa sejak dini telah sadar bagaimana negeri ini bisa dihancurkan. Mereka belajar dengan cermat dari sejarah pergerakan bangsa. Dengan jernih mereka menekuni gurat kontraksi proses lahirnya Indonesia merdeka. Dalam kesadaran Bung Hatta, konsistensi serta kegigihan kita menumbuhkan sikap kepedulian merawat persatuan Indonesia yang tertakdir dalam keberagaman adalah kunci menjaga eksistensi negeri ini.
Sibuk dengan diri sendiri
Pendidikan adalah salah satu area yang paling efektif dan realistis untuk mewujudkan seruan Bung Hatta itu. Pertanyaannya: masihkah pendidikan kita menumbuhkan sikap kepedulian pada negeri ini? Masihkah dinamika pendidikan kita gigih memperjuangkan persatuan? Ataukah justru lewat pendidikan benih-benih penghancur negeri ini tersemaikan?
Kritik atas prestasi pendidikan yang kurang memuaskan bukan berarti tiadanya kesibukan dalam penyelenggaraan pendidikan kita. Sejauh penulis ketahui para sahabat yang bekerja di dunia pendidikan justru memiliki kesibukan luar biasa. Beberapa bahkan merasa kewalahan dan kurang waktu untuk penuhi tuntutan sekolah, yayasan, juga instansi pemerintahan.
Contoh yang masih segar adalah pengalaman menyelenggarakan penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi. Setiap sekolah sibuk bukan kepayang. Pun sekolah-sekolah swasta favorit. Masuk ke sekolah negeri yang gratis tetap menjadi pilihan utama.
Sekolah swasta sibuk mengamankan calon peserta didik baru yang telah terdaftar di sekolahnya. Meski demikian. mereka tak punya kuasa jika calon peserta didik baru mencabut komitmennya. Sementara sejumlah sekolah negeri juga sibuk mengisi kelas-kelas mereka. Karena pada banyak kondisi sistem zonasi ternyata beririsan dengan keterjaminan memperoleh tunjangan sertifikasi. Setiap sekolah sibuk bukan kepayang dengan urusan dan nasibnya sendiri-sendiri.
Kesibukan lain yang tak kalah rumit adalah semakin menguatnya perilaku intoleransi di sekolah dan kampus.
Seperti diberitakan Kompas (26/6/2019), perilaku intoleransi di kampus dan sekolah kian mengkhawatirkan. Telah banyak pendidik, siswa, dan mahasiswa menghidupi serta memperjuangkan gerakan intoleransi. Wujudnya, misalnya dalam penentuan bentuk seragam, pengelompokan siswa dan proses pembelajaran berdasarkan agama yang dianut, atau penolakan mengikuti kuliah oleh dosen yang tidak seagama.
Perumitan proses
Kita bisa membayangkan betapa sibuknya pendidikan di negeri ini. Jika gerakan intoleransi mampu menyusup ke lembaga pemerintahan, khususnya yang mengurusi pendidikan, para pejabat negara sibuk mengamankan kepentingan idealisme perjuangan dan kelompoknya.
Hal ini berpotensi menimbulkan pengelolaan pendidikan yang tidak transparan, tidak obyektif, tidak fair, sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam pendidikan.  Wujud tindakannya bisa dalam muslihat pemberian kesempatan untuk mendapat bantuan dana dari pemerintah atau prosedur administratif yang tidak transparan.
Di tingkat sekolah, sejumlah guru dan pengelola persekolahan sibuk mengamankan jaminan tunjangan sertifikasi terkait kemampuan mewujudkan rombongan belajar. Fokus pengelolaan sekolah berpotensi bergeser dari pemberdayaan siswa menjadi memastikan keterjaminan kesejahteraan. Siswa hanyalah instrumen untuk memperoleh kesejahteraan. Idealisme luhur hakikat pendidikan pun merapuh.
Intoleransi yang menyusup ke kampus berpotensi membuat pengelola kampus, para dosen, dan mahasiswa sibuk memperjuangkan kepentingan kelompok dan idealismenya. Kesibukan ini bisa terjadi sejak penerimaan mahasiswa baru sampai pada proses perkuliahan, termasuk urusan penentuan jabatan organisasi tingkat kampus maupun kemahasiswaan.
Potensi kesibukan-kesibukan dinamika pendidikan di tingkat pemerintahan, sekolah, maupun kampus semacam ini tidak hanya membuat sejumlah perumitan pengelolaan pendidikan di negeri ini. Kondisi itu juga telah mengaburkan martabat pendidikan kita yang tidak lagi menghayati sesama yang terlibat di sekolah atau kampus sebagai manusia yang seutuhnya, yang secitra dengan Penciptanya.
Akibatnya pendidikan kita amat sibuk, tetapi tidak fokus. Pelaku pendidikan berpotensi sibuk dalam kepentingan masing-masing, bagaikan katak sibuk dalam tempurungnya. Banyak dana digelontorkan negara, tetapi berpotensi tak tepat sasaran dan peruntukannya.
Uang negara yang dikumpulkan dari pajak segenap rakyat itu tak efektif dan efisien membuat gerak kemajuan bangsa lewat pendidikan. Kalau ini yang terjadi, kita masih harus menunggu lama untuk mengalami kemajuan pendidikan kita, sampai saat segenap bangsa ini benar-benar menjadi bangsa yang merdeka, yang telah selesai dengan dirinya sendiri.
(Sidharta Susila, Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Semarang)