Ihwal korupsi kembali menyedot perhatian seiring kekhawatiran yang menyertai seleksi calon pimpinan  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengguliran revisi Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK, masuknya klausul tindak pidana korupsi ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan revisi UU Pemasyarakatan.
Mustahil proses politik  cepat dan serentak ini hanya sebuah kebetulan belaka. Sinyal kuat yang ditangkap publik dan para aktivis pada empat agenda tersebut adalah pelemahan sistematis pemberantasan korupsi (Kompas, 5/9/2019).
Kesepakatan semua fraksi di DPR untuk merevisi UU KPK merupakan pengulangan kejadian serupa pada 2016. Saat itu, Presiden dan DPR setuju untuk menunda dan tidak memasukkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun-tahun berikutnya.
Ditengarai, pengguliran revisi UU KPK yang mengangkat bahasan lama tentang izin penyadapan, hak penuntutan, pembentukan Dewan Pengawas KPK dan beberapa pembatasan lainnya,  memancing keheranan sekaligus mempertanyakan keseriusan DPR dalam memerangi korupsi.
Alih-alih revisi UU KPK, seyogianya DPR punya tanggung jawab moral untuk merevisi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) karena korupsi sektor swasta, kejahatan lintas negara (foreign bribery), kekayaan tidak wajar (illicit enrichment), dan trading of influence belum masuk dalam UU tersebut.
Padahal, Indonesia telah menandatangani ratifikasi konvensi PBB tentang Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003 dan pada 2007 berkomitmen mengimplementasikan keempat hal itu ke dalam sistem perundang-undangan. Faktanya, komitmen ini tinggal janji semata dan sebaliknya malah berambisi memangkas kewenangan KPK.
Masuknya pasal korupsi dalam delik tindak pidana khusus pada RKUHP dengan ancaman pidana penjara dan denda lebih ringan ketimbang UU Tipikor, termasuk dihapuskannya ancaman pidana mati, jelas mencerminkan ketidakpekaan terhadap dampak kejahatan kemanusiaan itu. Ditambah dengan “obral remisi” dalam revisi UU Pemasyarakatan No 12 Tahun 1995, sulit dimungkiri semua proses politik itu tidak bermaksud menorpedo gerakan dan lembaga anti korupsi.
Dalam situasi demikian, proses fit and proper test terhadap 10 calon pimpinan (capim) KPK hasil kerja panitia seleksi  dapat dikatakan tidak tepat momentum dan berpotensi besar menelikung agenda besar bangsa memerangi dan mengenyahkan korupsi.
Inilah kekhawatiran para pegiat dan koalisi masyarakat sipil anti korupsi jika para capim KPK tidak dapat mengelak ketika disodori dan akhirnya berkompromi dengan “paket ramuan” ala DPR.
Dukungan KPK
Patut diingatkan, kemunduran serius desain masa depan pencegahan dan pemberantasan korupsi bertolak belakang dengan kenyataan yang dikuatkan banyak hasil riset dan survei bahwa pilihan dan apresiasi rakyat pada pemerintahan Presiden Jokowi justru ditopang oleh kepercayaan dan keyakinan tinggi pada komitmennya memberantas korupsi. Pernyataan “tanpa beban” yang disampaikan pada masa kampanye pilpres untuk  melanjutkan periode kedua kepemimpinannya dimaknai publik sebagai tekad besar mewariskan legacy fundamental.
Ketidaksejajaran antara pesan dan perolehan dukungan dengan proses politik untuk melemahkan KPK dan gerakan anti korupsi  menunjukkan  relasi  yang tidak sound dengan harapan publik. Geliat optimisme bakal cepat meredup manakala pengelolaan isu korupsi yang telah lama memasuki fase “gawat darurat” tak direspons dengan saksama dan terukur.
Sekurang-kurangnya terdapat empat alasan utama mengapa KPK dan momentum pemberantasan korupsi harus dirawat dan dijaga.
Pertama,  raison d’etre pembentukan KPK tahun 2002 berangkat dari krisis multidimensi bangsa dengan hulu ledak korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).  Penyakit kronis ini belum berkurang signifikan bahkan menyebar dan merasuk semakin dalam pada birokrasi, swasta, partai politik, dan institusi penegak hukum.
Kedua, semangat awal yang mendasari pembentukan KPK sebagai trigger effect bekerjanya institusi penegak hukum (Kepolisian dan Kejaksaan) secara optimal belum mendapatkan resonansi sepadan sehingga praktik korupsi terus meluas. Ide kesementaraan (ad hoc) saat pendirian KPK menjadi semakin kurang relevan dihadapkan dengan tantangan dan kenyataan riil sampai sekarang.
Ketiga, KPK konsisten memenangkan kepercayaan publik dan selalu menempati peringkat teratas sebagai lembaga terpercaya dan menjadi harapan rakyat. Reputasi ini dibangun bukan dengan cara mudah di tengah suasana keterbukaan dan meningkatnya daya kritis.
Rasionalitas terbatas yang berupaya menghadapkan vis a vis reputasi KPK dengan individu atau lembaga dalam pertarungan konsep dan implementasi, serta-merta memantik kejanggalan dan syak wasangka jika dibandingkan kapasitas, kredibilitas dan integritasnya.
Keempat, kehormatan dan kemajuan bangsa berhubungan erat dengan kesanggupan mencegah dan memberantas korupsi. Ranking tingkat kemudahan berusaha (ease of doing business), daya saing (world competitiveness), modal sosial (human social capital), dan banyak lagi lainnya menempatkan korupsi sebagai indikator penentu.  Dengan demikian negara tak dapat menghindar dari keharusan terus-menerus menciptakan tata kelola yang baik (good governance).
Demikian pula, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang merupakan gabungan (komposit) kinerja banyak varian pembentuknya mengirim pesan jelas bahwa kerja sama agregat antarpihak dengan pemerintah sebagai motornya merupakan keniscayaan.  Dengan kata lain, KPK bukan determinan satu-satunya untuk memperbaiki ranking IPK.
Permufakatan jahat
Narasi pendangkalan untuk mengesankan negara tidak berada dalam situasi darurat korupsi terus dilancarkan dengan aneka manuver yang mengingkari realitas sesungguhnya. Fakta bahwa korupsi berkembang karena merebaknya sifat serakah, sistem lemah, dan sanksi hukum yang gagal memberi efek jera, tidak cukup menyadarkan dan menyegerakan kebutuhan untuk membuat induk perundangan dan skema pencegahan yang lebih mujarab guna menutup celah tersebut.
Riuh-rendah proses dan keputusan politik yang meminggirkan inisiatif dan panggilan untuk merumuskan kebajikan bersama menunjukkan cacat demokrasi dan cacat moral serius. Agenda panjang, laten, dan terencana untuk melemahkan KPK dapat dipandang sebagai bentuk permufakatan jahat yang hendak menggiring bangsa ke lembah kehancuran.
Dalam sistem dan bangunan politik yang sarat kleptokrasi, oligarki, dinasti, dan biaya tinggi, keputusan penting untuk meraih kemajuan dan kehormatan bangsa tidak semestinya diserahkan pada proses politik tunai nilai yang menihilkan deliberasi dan akuntabilitas publik. Semua kekuatan sipil non parpol harus bahu-membahu dan terpanggil untuk mengawal proses yang berpotensi mengabaikan penghancuran KKN sesuai amanat reformasi 1998.
Muara seluruh proses dan kegaduhan ini sekarang diletakkan pada tanggung jawab Presiden. Di masa lalu, aspirasi dan perlawanan publik terhadap upaya pelemahan anti korupsi  mendapatkan respons positif. Serangan dan berbagai bentuk ancaman terhadap eksistensi KPK selalu dinetralisasi oleh Presiden.
Berangkat dari pengalaman tersebut, wajar bila publik dan tokoh-tokoh bangsa menaruh harapan besar pada Presiden untuk mengatasi manuver politik pelemahan KPK. Agenda pemberantasan korupsi sudah semestinya menjadi tekad besar bersama alias point of no return. Tidak ada sejarahnya bangsa dapat maju, terhormat, dan sejahtera jika tingkat korupsi tinggi dan merajalela.
(Suwidi Tono ; Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi)