Mengendalikan dan memperlakukan Iran ”seenaknya” tanpa menjaga kaidah diplomasi, itulah yang tampak dari Presiden AS Donald Trump. Akan tetapi, untuk meraih tujuan itu, manuver AS sangat sulit.
Setiap sepak terjang Trump soal Iran tidak sahih. Dalam setahun terakhir, segala aksi AS soal Iran tidak berterima bagi komunitas internasional, bahkan mungkin juga diam-diam tidak diterima sekutunya.
Trump secara sepihak pada Mei 2018 telah membawa AS keluar dari perjanjian nuklir Iran yang dicapai pada 2015 oleh Presiden Barack Obama. Langkah ini saja sudah membuat Trump tidak disukai oleh sekutu Eropa. Pilihan keluar dengan tujuan mempermalukan Presiden Barack Obama, karena dianggap melembek soal Iran, juga sudah merupakan tindakan menista diri sendiri.
Rentetan sanksi ekonomi atas Iran pun muncul setelah AS keluar dari perjanjian itu. Hal itu juga tidak kunjung mempan menekan Iran. Ekonomi Iran boleh berat, tetapi sikap menyerah pada kemauan AS bukan pilihan. Cemoohan dari Iran terus bermunculan hingga menuduh Trump macan kertas dan kelinci. ”Dia bukan singa, dia seekor kelinci,” kata Ali Bigdeli, analis politik di Teheran.
Kemudian ada tawaran AS untuk berdiskusi langsung dengan Iran. Ini ditolak Presiden Iran Hassan Rouhani. Iran tidak lupa dengan luka lama akibat kolaborasi Inggris-AS demi perebutan minyak Iran, yang hingga sekarang masih membekas.
Serangan-serangan misterius
Kemudian juga dalam setahun terakhir mendadak muncul manuver AS lewat isu serangan ke tanker-tanker yang melaju di Selat Hormuz. AS menuduh Iran sebagai pelaku, tetapi dibantah Iran. Bukti sahih untuk itu tidak ada.
Hal terbaru ada serangan ke fasilitas perminyakan Arab Saudi. Lagi-lagi AS dengan cepat menuding Iran ada di balik serangan. Tuduhan kepada Iran yang didukung Arab Saudi ini juga memunculkan keraguan.
Dalam kaitan dengan serangan-serangan tanker hingga serangan ke fasilitas perminyakan di Arab Saudi, mantan Menlu AS Rex Tillerson menyarankan kewaspadaan dari sisi AS sebelum penyimpulan soal siapa pelaku? Untuk itu, Tillerson mengatakan, sangat vital untuk menunggu hingga para ahli forensik memberikan informasi terbaik tentang siapa pelaku. Akan tetapi, Tillerson sendiri menyatakan akan sulit melakukan itu. Jejak Iran mungkin tidak akan ditemukan di balik serangan itu.
Mitra machiavelis
Menambah runyam persoalan adalah relasi Trump dengan Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu (Bibi). Israel di bawah Bibi sangat antusias terkait tekanan AS kepada Iran. Pada diskusi 18 September 2019 di Harvard University, mantan Menlu AS Rex Tillerson tampil sebagai pembicara utama.
Dia menyebut Bibi bertalenta luar biasa sebagai politisi dan diplomat sekaligus agak machiavelis. Bibi pintar menjaga relasi dengan para pemimpin dan negara-negara yang dia antisipasi akan dibutuhkan di masa depan. Bibi pintar dan berhasil memikat Trump.
Israel dan AS sangat dekat. Namun, jika menyangkut Bibi, saran Tillerson, akan selalu bermanfaat untuk bersikap skeptis jika berdiskusi dengan Bibi. Tillerson mengenang Israel di bawah Bibi akan tega memasok informasi yang salah kepada AS jika itu diperlukan demi kepentingan Israel.
”Mereka melakukan itu kepada Presiden dan lewat beberapa kesempatan dengan membujuknya serta mengondisikan bahwa ’kita orang-orang baik dan mereka orang-orang jahat’. Kami kemudian mengatakan kepada Presiden bahwa dia telah dipakai,” kata Tillerson. Adalah hal mengganggu bagi saya, kata Tillerson, satu sekutu penting dan sangat dekat dengan AS, yakni Israel, tega melakukan itu.
Kenyataan berdasarkan pengalamannya sebagai Menlu, Tillerson bertemu para pemimpin Timur Tengah. Dia justru melihat celah damai di Timur Tengah. Namun, adalah hal yang sebaliknya dikampanyekan Trump dan Bibi, yakni bahwa Iran adalah ancaman.
Strategi tak jelas
Hal yang juga lebih menyulitkan bagi AS soal Iran adalah misi dan strategi terbaru AS. Apa sebenarnya yang ingin diraih AS soal isu Iran ini. Ingin damai dengan Iran demi kedamaian di kawasan Timur Tengah? Jika ini misinya, mustahil diwujudkan. Sikap antagonisme AS terhadap Iran akan memunculkan perlawanan yang tidak akan ada ujungnya. Sikap mempermalukan dan memojokkan tidak akan berhasil. Hal itu dinyatakan Menlu Iran Javad Zarif. ”Iran itu negara yang tua yang sangat saksama,” katanya.
Atau AS masih tetap melihat Iran sebagai negara pariah? Kesan ini muncul dari kalimat-kalimat Presiden Trump yang menyebutkan Iran adalah negara yang sedang memiliki kesulitan-kesulitan. Dan, dengan pemikiran ini, Iran bisa didikte seenaknya hingga termasuk skenario perubahan rezim di Iran? Misi ini akan jauh lebih mustahil lagi. Trump harus menyadari sebagian dari derita Iran adalah akibat rentetan sanksi ekonomi AS. Iran tidak akan kalah percaya diri dengan pemojokan AS.
Intinya ada ketidakjelasan misi dan strategi AS soal Iran. Ketidakjelasan ini diperburuk dengan kenyataan bahwa para think tank AS juga tidak sepenuhnya mendukung misi terbaru AS soal Iran. Hingga rakyat AS pun tidak sependapat soal misi AS soal Iran.
Warga AS mungkin akan heran juga, kata Meghan L O’Sullivan, koordinator soal Iran di era Presiden George W Bush. ”Banyak warga AS berpikir bahwa kepentingan AS untuk mengamankan pasokan minyak dari Timur Tengah telah menurun secara dramatis,” katanya. Demikian juga soal isu perang dengan Iran, warga AS lebih tidak tertarik lagi.
Rusia dan China menghadang
Mungkin menjadi pertanyaan, apa sebenarnya yang dicari Trump soal Iran? Tidak ada kejelasan dan seakan buta pada kenyataan yang sedang berkembang secara geopolitik. Iran secara historis adalah salah satu negara di Timur Tengah yang menjadi incaran kekuatan global karena lokasi strategis dan kekayaan minyaknya.
AS yang tidak punya visi jelas soal Iran pasti akan mudah dimentalkan oleh Iran lewat kolaborasi negara tersebut dengan negara-negara pemilik kekuatan global. Dari sisi Iran, ada kecenderungan untuk tidak berpihak kepada Eropa, jangankan dengan AS. Bagi Iran, Eropa cenderung berpihak kepada AS, seperti dikatakan Menlu Iran Javaz Zarif. Iran amat jelas sangat berpihak kepada Rusia dan China. Belum lama tiga negara ini merencanakan pelatihan militer di perairan Iran di Teluk Persia.
Lebih jauh dari itu, Rusia dan China menawarkan penjualan pesawat tempur ke Iran. ”Rusia dan China telah menyampaikan proposal, tentu kami juga punya proposal, semua ini sedang dalam tahapan diskusi,” kata Direktur Organisasi Industri Penerbangan Iran Brigjen Abdolkarim Banitarafi.
Dengan perkembangan ini, tidak salah jika disebutkan bahwa pola kebijakan Trump atas Iran mirip kebijakan dari orang yang kehilangan daya ingat. Sikap Trump soal Iran sangat berantakan, seperti soal strategi, dan mungkin juga tidak tahu apa yang hendak dilakukan serta tidak paham bahwa ada kekuatan lain yang akan melindungi Iran.
Dunia tidak akan membiarkan kebijakan semrawut AS akan mengobrak-abrik Timur Tengah dalam hal ini Iran. Kelanggengan pasokan minyak dari Teluk Persia adalah kepentingan global. Atas dasar inilah China, Rusia, dan Eropa selalu terlibat dalam urusan Timur Tengah.
Untuk itu, khususnya China telah mendalami hubungan dekat dengan Iran. Menlu China Wang Yi saat bertemu Javad Zarif di Beijing pada 26 Agustus 2019 mengatakan penekanan multilateralisme di tengah gaya unilateralisme AS. Ini perlu karena, ”China dan Iran adalah mitra strategis dan menyeluruh sehingga perlu memperkuat komunikasi strategis dan bersama negara lain menegakkan multilateralisme, mendukung norma dasar tatanan internasional. China sebagai sebuah negara yang bertanggung jawab sedang ingin melakukan pengembanan tugas untuk memenuhi panggilan internasional dan memainkan peran konstruktif dalam meredakan ketegangan di Teluk,” papar Wang.
China juga sudah bersepakat soal Iran tentang investasi dengan alokasi dana 400 miliar dollar AS di sektor minyak dan gas Iran. Untuk mengamankan investasi ini, China akan mengirimkan 5.000 personel keamanan untuk melindungi proyek-proyeknya di Iran. Dengan demikian, aksi-aksi antagonis Trump di Iran akan berpotensi mencederai kepentingan China di Iran.
Sadar diri atau diusir?
Dengan kenyataan ini, solusi terbaik bagi Trump adalah kembali ke pola pemikiran Presiden Obama. Menangani Iran lewat kerja sama internasional merupakan cara terbaik termasuk dengan kembali ke perjanjian nuklir 2015. Sebab seperti kata Obama, di dunia ini tidak hanya ada AS, tetapi ada banyak kekuatan lain yang perlu diajak bekerja sama.
Menlu Zarif mendukung dan selalu mempromosikan ide agar AS kembali ke perundingan dengan niat jelas dan tulus. Zarif mengatakan bahwa penolakan dan penodaan hukum internasional merupakan ancaman bagi keamanan internasional. Bagi Iran, tindakan sepihak soal Iran merupakan penodaan bagi etika diplomasi internasional.
Sejauh ini, Trump belum memperlihatkan arah menuju kesadaran diri soal Iran. Untuk itu, Presiden Iran Hassan Rouhani mengingatkan. Menurut Presiden Rouhani, Trump telah membawa kawasan menjadi terancam secara keamanan. Iran melihat pengerahan tambahan pasukan AS ke Timur Tengah murni memenuhi ego AS.
”Pasukan asing telah menyebabkan masalah dan ketidakamanan bagi warga dan kawasan kami,” kata Presiden Rouhani. Dia mengingatkan, pengerahan pasukan seperti itu di masa lalu telah menjadi bencana dan meminta pasukan asing agar keluar. ”Jika mereka (AS) tulus, mereka seharusnya tidak membuat kawasan kami sebagai lokasi perlombaan pengadaan persenjataan. Maka, menjauhlah Anda dari kawasan dan negara kami. Hanya dengan demikian, keamanan lebih terjamin di kawasan kami.”
Untuk memperkuat pesan ini, Presiden Rouhani mengatakan, keamanan di Selat Hormuz membutuhkan kolaborasi dengan melibatkan berbagai negara. Dia mengajak negara-negara tetangga bersatu padu dan meninggalkan AS.
Jika AS masih tidak mendengar dan melakukan manuver mustahilnya, termasuk opsi perang, Komandan Pasukan Garda Revolusi Iran Mayjen Hossein Salami sudah menyatakan sikap. ”Jika ada negara yang ingin wilayahnya sebagai wilayah perang, silakan saja. Akan tetapi, waspadalah, agresi terbatas tidak akan pernah terbatas cakupan wilayahnya. Kami akan memburu setiap agresor,” katanya. ***