Bagi saya, artikel Yanuar Nugroho di Kompas (8/6/2019), ”Visi Membangun Indonesia”, amat membangun asa. Sembari bercerita capaian, ia juga meneropong proyeksi Indonesia ke depan. Namun, ibarat hanya membaca satu serial Kho Ping Hoo, artikel itu sangat menggoda, tapi belum sempurna karena ceritanya belum khatam.
Visi negara yang dipaparkan Yanuar untuk memprioritaskan pembangunan SDM lima tahun ke depan tepat belaka. Ketiga prinsip strategi yang ditawarkan untuk mewujudkannya pun ideal: perbaikan mendasar di hulu, mendorong keunggulan (excellence) hingga ke hilir, serta melakukan lompatan kebijakan dan tata kelola.
Lalu, seperti apa agama akan ditempatkan dalam membangun SDM Indonesia? Saya ingin melengkapi diskusi visi membangun manusia Indonesia secara ”lahir” itu, dengan visi untuk membangun jiwanya.
Mengapa agama?
Indonesia ini unik, bukan negara agama, tapi semua aspek kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, dan bernegara tak bisa lepas dari nilai-nilai agama. Sangat religius. Kehidupan personal sudah pasti dipandu agama, interaksi bermasyarakat dilandasi norma agama, bahkan kontestasi politik dikonstruksi atas nama agama.
Akibatnya, perseteruan politik yang profan bisa berubah jadi ajang tarik-menarik wilayah agama yang sakral. Setidaknya, Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 banyak menjelaskan fakta ini.
Agama, dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, memang patut dijadikan inspirasi utama dalam membentuk karakter bangsa Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
Agama seharusnya juga jadi landasan spiritual, moral, dan etika dalam kehidupan pribadi, masyarakat, berbangsa, bernegara. Namun, nilai dan tafsir agama seperti apa yang perlu diinternalisasikan?
Ini perlu perhatian tersendiri. Faktanya, sentimen atas nama agama masih sering jadi pemicu konflik di Indonesia. Sejumlah survei menyimpulkan, semakin seseorang saleh, kian ia tidak toleran.
Konflik berlatar agama punya daya rusak tinggi dalam memecah belah kita sebagai bangsa, apalagi kalau disertai aksi kekerasan. Mengapa? Karena agama, apa pun dan di mana pun, memiliki sifat dasar ikatan emosional dengan pemeluknya.
Bagi pemeluk fanatiknya, ketika ekstremitas beragama itu lebih mengemuka, alih-alih menuntun pada kehidupan yang tenteram dan mendamaikan, sentimen ekstrem terhadap kebenaran tafsir agama dapat menyebabkan permusuhan, kedengkian, dan pertengkaran di antara sesama. Itu yang kini banyak tersaji di media sosial.
Negara tak bisa diam menghadapi ekstremitas semacam itu. Sudah banyak contoh bagaimana tafsir sempit beragama mengakibatkan segregasi tajam umat, bahkan memorakporandakan negara. Dengan infrastruktur yang dimilikinya, pemerintah perlu hadir membentuk cara pandang, sikap, dan perilaku beragama masyarakat agar moderat, karena dampak destruktif ekstremitas beragama tidak bersifat individual, tetapi berpengaruh terhadap kebersamaan dan kerukunan.
Mencermati semakin menguatnya konservatisme belakangan ini, sudah saatnya ada pengarusutamaan (mainstreaming) moderasi beragama dalam perencanaan pembangunan manusia Indonesia.
Moderasi beragama yang dimaksud adalah cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah (wasathiyah, golden mean), selalu bertindak adil, berimbang, dan tidak ekstrem dalam beragama. Lukman Hakim Saifuddin, sebagai menteri agama, sangat getol menyuarakan hal ini.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebelumnya, urgensi nilai agama dalam membangun masyarakat sesungguhnya sudah tecermin, tapi masih terlalu normatif dan belum menjadi perspektif utama. Agama sudah disebut sebagai pilar untuk membangun masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, berkarakter, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
Bagi saya, rumusan itu bisa dibuat lebih progresif. Kehadiran dan intervensi negara perlu lebih jauh lagi dalam mengarusutamakan cara pandang, pemahaman, sikap, dan perilaku beragama yang moderat.
Moderat dalam beragama bukan berarti tidak teguh memegang nilai-nilai pokok ajaran agama. Ia justru bertujuan melakukan internalisasi nilai-nilai agama esensial agar tak keliru menjadikannya landasan spiritual, moral, dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2020-2024 yang sedang disiapkan Bappenas, ada lima pengarusutamaan yang akan diterapkan: kesetaraan jender, tata kelola (good governance), pembangunan berkelanjutan, modal sosial budaya, dan pembangunan transformasi digital. Saya berpikir, mungkin moderasi beragama perlu ditambahkan jadi yang keenam. Pengarusutamaan moderasi beragama artinya mengintegrasikan cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang moderat ke dalam keseluruhan program pembangunan manusia Indonesia.
Sinkronisasi visi
Janji politik Jokowi-Amin untuk memperkuat moderasi (wasathiyah) sebagai karakter beragama bangsa Indonesia bisa dijadikan pintu masuk untuk melakukan sinkronisasi dengan rencana pembangunan manusia Indonesia lima tahun ke depan. Janji program ini memiliki signifikansi kontekstual dalam upaya restorasi toleransi dan kerukunan sosial masyarakat kita.
Dan, karena Muslim di Indonesia adalah mayoritas, sudah sewajarnya juga kalau yang lebih banyak ”diopeni” adalah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama umat Islam. Tentu ini tidak ada kaitannya dengan pelabelan ekstremisme pada umat Islam saja, tapi lebih karena umat mayoritas inilah yang akan banyak menentukan wajah keberagamaan Indonesia, dan bahkan dunia.
Kita bisa tengok hasil kajian Pew Research (2015) tentang proyeksi pertumbuhan populasi global 2010-2050, di mana populasi Muslim di dunia secara keseluruhan akan meningkat pesat dari 23,2 persen pada 2010 menjadi 29,7 persen pada 2050. Di situ, Indonesia jadi salah satu penyumbang terbesar bonus demografi, dan tentu mayoritas beragama Islam.
Maka, jika pertumbuhan populasi manusia Indonesia itu disertai dengan cara pandang, pemahaman, sikap, dan perilaku keagamaan yang keliru, eksklusif, dan ekstrem, dapat dibayangkan seperti apa wajah Indonesia, dan seperti apa pula wajah dunia.
Jika bonus demografi Indonesia malah menyumbang ekstremisme global, sama artinya kita mengkhianati amanat Pembukaan UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Visi membangun manusia Indonesia jelas harus selalu dibarengkan dengan upaya menginternalisasikan nilai-nilai moderasi beragama yang dapat memperkokoh komitmen kebangsaan, bukan sebaliknya menggerogotinya, yang inklusif, toleran, rukun, nirkekerasan, mau menerima perbedaan, serta menghargai keragaman budaya lokal.
Kita harus meyakini bersama bahwa pengarusutamaan moderasi beragama harus dianggap sebagai upaya membangun infrastruktur sosial, yang sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur fisik.
Kita tak mungkin membangun manusia Indonesia tanpa jiwa, harus seimbang, seperti dikumandangkan WR Supratman dalam lagu ”Indonesia Raya” kita: ”… bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…”.
(Oman Fathurahman, Staf Ahli Menteri Agama RI, Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)