Perasaan sepi dan keharusan menghabiskan waktu sendiri kadang terjadi dalam hidup kita. Melanjutkan topik yang ditulis minggu lalu oleh Ibu Agustine Dwiputri (”Sendiri Tanpa Kesepian”), saya ingin membahas persoalan kesepian pada remaja. Pada remaja, perasaan kesepian dan kesendirian cukup sering hadir karena munculnya berbagai peran baru dengan berbagai perubahan yang menyertainya.
Kesepian merupakan perasaan tidak menyenangkan ketika kita menyadari adanya sesuatu yang kurang atau hilang dalam relasi sosial kita. Kita dapat merasa kesepian ketika sendirian, tetapi mungkin saja juga kesepian saat bersama-sama dengan orang lain.
Di masa remaja, ada ketegangan antara kebutuhan untuk menjalin hubungan sosial dan kemampuan untuk mengembangkan jati diri serta kemandirian. Di masa ini, hubungan dengan orangtua dan teman sebaya juga mulai berubah. Di masa kanak-kanak, peran orangtua umumnya sangat sentral. Ini berganti dengan lebih kuatnya peran teman sebaya di masa remaja.
Maes, Vanhalst, Spithoven, Noortgate, dan Goossens (2016) melaporkan penelitian mereka mengenai kesepian pada remaja. Penelitian dilakukan pada 1.800 remaja usia 16-20 tahun, 61 persen di antaranya perempuan. Peneliti mencoba memahami persoalan kesepian dalam kaitannya dengan harga diri, kepribadian, sikap tanggap dari orangtua, serta fungsi teman sebaya dan persahabatan.
Kebutuhan sosial
Remaja memiliki kebutuhan-kebutuhan sosial yang berbeda yang perlu dipenuhi. Misalnya, kedekatan dengan figur penting (orangtua, sahabat), integrasi sosial dengan lingkungan pergaulan, perasaan berharga, hingga kebutuhan akan bimbingan. Ada yang lebih diperlukan dari hubungan dengan orangtua (misalnya: arahan tentang baik-buruk). Ada juga yang dari teman sebaya (misal: menjadi bagian dari lingkungan pergaulan), dan ada yang dari keduanya (penerimaan, perasaan berharga).
Terkait hubungan dengan orangtua, sikap tanggap orangtua akan menghadirkan perasaan positif sehingga remaja tidak merasa kesepian. Sebaliknya, pengendalian berlebihan dari orangtua menghadirkan perasaan tidak dimengerti dan kesepian. Pengalaman dengan orangtua dapat mengembangkan pola internal dalam diri remaja, yang digeneralisasikannya dalam hubungan dengan teman sebaya.
Terkait hubungan dengan teman sebaya, perasaan kesepian lebih mungkin hadir jika remaja tidak diterima di lingkungan, menjadi sasaran pelecehan atau perundungan (bullying), atau ia sendiri memiliki sifat terlalu pemalu.
Tim peneliti di atas menemukan beberapa kelompok dari penelitiannya. Kelompok yang mereka sebut ”lebih positif” atau ”lebih adaptif” adalah remaja yang cenderung tidak terlalu mengindahkan perasaan kesepiannya jika rasa itu sesekali muncul. Kelompok ini tampaknya dapat mengembangkan kemandirian dan tidak terlalu ”baper” (membawa perasaan) sehingga dapat beradaptasi dengan situasinya.
Kelompok yang juga dinilai positif dan adaptif adalah yang ketika kesepian akan merasa tidak nyaman, lalu berusaha melakukan sesuatu untuk menghindari perasaan itu (menghubungi teman, berbicara dengan orangtua).
Perlu pendampingan
Tim peneliti menemukan pula kelompok remaja yang memerlukan perhatian lebih besar dari sekolah atau kelompok profesional karena diperkirakan akan mengalami kesulitan mengelola perasaan kesepiannya. Kelompok itu adalah (1) remaja yang merasa kesepian karena merasa tidak dimengerti atau tidak terhubung dengan orangtua, (2) remaja yang merasa kesepian karena merasa tidak diterima oleh teman sebaya, dan (3) remaja yang berlebihan ingin menyendiri.
Orangtua perlu mencatat bahwa ketika remaja merasa ditolak atau tidak dimengerti oleh orangtua, mereka dapat lari dengan mencari penerimaan dari teman sebaya. Apabila lingkungannya kurang positif, remaja juga dapat mengembangkan perilaku yang kurang positif.
Penting pula untuk dicatat bahwa ketika remaja menghabiskan waktu sendiri, itu tidak perlu selalu dilihat negatif. Sebab, melalui waktu sendiri, remaja dapat berefleksi untuk lebih memahami diri serta belajar untuk mengelola emosi. Meski demikian, keinginan kuat atau berlebihan untuk menyendiri sering diakibatkan pengalaman buruk dengan orangtua (terlalu diatur-atur, tidak dimengerti, mengalami kekerasan) atau dengan teman sebaya (ditolak, menjadi bahan ejekan).
Jadi, remaja yang sangat ingin menyendiri sering sesungguhnya sekaligus merasa kesepian, baik dalam relasi dengan orangtua maupun teman sebaya. Oleh karena itu, kelompok ini adalah juga kelompok yang paling rentan dan perlu memperoleh bantuan. Pada mereka, keinginan berlebihan untuk menyendiri sesungguhnya merupakan bentuk penghindaran, atau upaya melindungi diri dari pengalaman negatif atau perasaan terancam dalam hubungan dengan orangtua dan teman sebaya.
Lebih lanjut lagi, penghindaran akan menghadirkan implikasi-implikasi berikutnya yang juga negatif. Selain makin menguatkan perasaan tidak dimengerti, tidak terhubung, dan kesepian, juga akan membuat remaja kehilangan kesempatan mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan-kemampuan lain yang mensyaratkan keterampilan sosial untuk mencapainya.
Di tempat kami bekerja, kami menemukan remaja-remaja yang banyak di antaranya sangat berprestasi, yang merasa kesepian karena merasa tidak diterima atau tidak terhubung dengan orangtua. Mungkin niat orangtua baik untuk memotivasi anak. Namun, orangtua justru menghadirkan perasaan tertolak dengan menuntut dan hanya membicarakan sisi-sisi negatif anak, tidak menunjukkan penghargaan terhadap kerja keras anak dan prestasi yang telah dicapainya.
Sikap orangtua yang demikian dapat menghadirkan depresi, serangan panik, dan berbagai masalah kesehatan mental lainnya. Tampaknya cukup banyak orangtua perlu belajar untuk menunjukkan penerimaan dan berkomunikasi secara positif dengan anak dan remaja demi kesehatan mental yang optimal dari generasi muda. ***