Di akhir periode pertama dan menjelang awal periode kedua pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam berbagai kesempatan terus mengingatkan pentingnya investasi asing dan ekspor bagi perekonomian nasional. Hal ini diharapkan jadi jawaban atas persoalan defisit transaksi berjalan (neraca perdagangan barang, neraca perdagangan jasa, neraca pendapatan primer, dan neraca pendapatan sekunder) yang terus terjadi.
Terkait tantangan di atas, dalam kabinet kedua pemerintahannya yang akan dimulai 20 Oktober 2019, Presiden Jokowi sudah mengumumkan akan membentuk tiga kementerian baru, yakni  Kementerian Investasi, Kementerian Ekonomi Digital, dan Kementerian Industri Kreatif. Kementerian Investasi akan mengambil fungsi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sedangkan Kementerian Ekonomi Digital dan Kementerian Industri Kreatif merupakan pengembangan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Langkah ini sepertinya diambil Presiden karena meyakini situasi makro ekonomi sudah cukup baik, terjaga serta memiliki tren yang positif dan stabil. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi 5,02 persen pada 2014; lalu 4,88 persen (2015); 5,03 persen (2016); 5,07 persen (2017) dan 5,15 persen (2018). Sementara angka pengangguran; pada 2014 sebesar 5,94 persen; 6,18 persen (2015), 5,61 persen (2016), 5,5 persen (2017) dan 5,34 persen (Agustus 2018). Dalam rentang 2015-2018, telah berhasil diciptakan 9,38 juta lapangan kerja baru.
Tingkat inflasi di kisaran 3 persen yang menjaga daya beli masyarakat dan memberi ruang bagi dunia usaha.  Pada 2014 inflasi tercatat 8,36 persen;  lalu turun menjadi 3,35 persen (2015); 3,02 persen (2016); 3,61 persen (2017) dan 2,88 persen (September 2018). Untuk pertama kalinya, angka kemiskinan berada di level satu digit (9,66 persen) dari total penduduk Indonesia pada 2018. Angka kemiskinan 2014 adalah 10,96 persen; kemudian 11,13 persen (2015); 10,7 persen (2016); 10,12 persen (2017). Turunnya kemiskinan diikuti penurunan ketimpangan pendapatan yang konsisten; saat ini rasio Gini 0,389.
Merangsang investasi dan ekspor
Pendeknya, Presiden Jokowi sudah punya bekal yang bagus untuk memulai periode keduanya dan yang diperlukan adalah merangsang investasi dan ekspor yang diharapkan menjadi formula yang tepat dalam mengatasi ancaman perlambatan ekonomi karena perang dagang Amerika Serikat (AS)-China, dan memanfaatkannya untuk kepentingan perekonomian Indonesia. Mengingat China adalah pemasok utama kebutuhan sehari-hari masyarakat AS, pengenaan bea masuk atas barang-barang dari China yang mencapai 25 persen merupakan peluang bagi industri di Indonesia untuk menggantikannya.
Kita perlu waspada karena neraca perdagangan pada April 2019 defisit 2,5 miliar dollar AS, tertinggi dalam perdagangan bulanan sepanjang sejarah.  Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat 2,3 miliar dollar AS, terjadi pada Juli 2013. Neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari-Juni 2019 masih defisit 1,93 miliar dollar AS/bulan. BPS juga mencatat, secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia pada periode Januari-Juni 2019 mencapai 80,32 miliar dollar AS, menurun 8,57 persen dibanding periode sama 2018. Penulis  meyakini, jika arahnya tepat, fokus pada kebijakan yang merangsang investasi dan ekspor dapat membuat Indonesia meraih keuntungan dalam perang dagang AS-China seperti dialami Thailand dan Vietnam.
Banyak forum telah mengungkap bahwa Indonesia masih berkutat dalam sejumlah masalah mendasar, yang menghalanginya meningkatkan nilai ekspor, seperti ekspor yang didominasi produk ekstraktif, struktur industri yang rapuh dan kurangnya jenis industri olahan di kategori menengah dan kecil, tertinggalnya teknologi produksi (khususnya tekstil dan besi baja), tingginya biaya produksi, infrastruktur yang masih kurang mendukung, tenaga listrik yang mahal karena harus menyediakan diesel cadangan yang cukup besar dan lain-lain.
Program memperbaiki struktur industri serta membiakkan jenis industri olahan menengah dan kecil untuk semua produk primer produksi dalam negeri perlu dikaitkan secara erat dengan kampanye menarik investasi asing dalam bentuk FDI (foreign direct investment), yang  jangan hanya dimanfaatkan untuk mengamankan neraca transaksi berjalan dan neraca perdagangan, tetapi harus efektif menumbuh-kembangkan industri nasional kita sendiri. Tolok ukur keberhasilan tata kelola investasi asing bukanlah semata pada kemampuan untuk menarik masuk banyak investasi asing dan membuatnya bertahan selama mungkin di negara kita, tetapi pada sebesar apa ia berdampak pada peningkatan kapasitas nasional di bidang ekonomi.
Sejak UU Penanaman Modal Asing (PMA) diberlakukan tahun 1967, Indonesia terus berusaha menarik investasi asing untuk perluasan lapangan kerja, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, alih teknologi  dan mendapatkan devisa dari investasi yang masuk. Sejak saat itu, telah masuk investasi asing ke Indonesia di berbagai bidang. Nyaris semua industri unggulan dan penggerak ekonomi nasional di awal masa Orde Baru didukung investasi asing.  Di masa pemulihan krisis ekonomi 1997-1998, investor asing dengan investasi besar juga diandalkan sebagai sumber devisa dan mendapat kesempatan  menguasai banyak aset ekonomi nasional, terutama di perbankan.
Di periode selanjutnya, strategi menarik investasi asing banyak ditekankan pada pengurangan daftar negatif investasi (DNI). Dengan pendekatan itupun, Indonesia sering kalah bersaing dengan negara-negara tetangga. Setiap kali ada investasi asing ke dalam negeri, kita mencatatnya sebagai devisa masuk. Tapi devisa keluar perlu disediakan secara terus- menerus setelah investasi tersebut mulai menghasilkan keuntungan, untuk membayar dividen kepada investor asing yang direpatriasi ke negara di mana induk perusahaan investor berada.
Bagi Indonesia, di tahun-tahun belakangan ini, keharusan menyediakan dollar AS untuk pembayaran dividen  investor asing tersebut semakin memberatkan. Kalangan pelaku pasar keuangan mencatat pola di setiap kuartal II setiap tahunnya, nilai rupiah selalu tertekan, ditengarai antara lain karena permintaan dollar AS meningkat akibat investor asing menukarkan dividen rupiah menjadi dollar AS untuk disetorkan ke induk perusahaan di luar negeri.
Dalam empat tahun terakhir ini, salah satu tantangan ekonomi nasional yang rumit untuk diatasi adalah mempertahankan nilai tukar mata uang rupiah. Dengan begitu banyaknya investasi asing sejak UU PMA tahun 1967, saya khawatir, pada waktu ini, devisa yang masuk dari investasi asing sudah lebih kecil dari  devisa yang keluar berupa dividen ke perusahaan-perusahaan di luar negeri.
Situasi di mana neraca perdagangan dan pembayaran mengalami defisit akan menggerus cadangan devisa yang selama ini dipupuk dari surplus neraca perdagangan dan pembayaran. Akibatnya, nilai mata uang rupiah cenderung merosot. Investasi asing yang produknya dipasarkan ke pasar domestik, sangat merugikan. Bila usaha jenis ini terus membesar dari tahun ke tahun, akan menguras devisa kita.
Dalam konteks ini, sangat disayangkan bergantinya mayoritas kepemilikan beberapa produk/merek nasional  consumer goods  yang sudah berjalan dengan baik kepada perusahaan asing seperti Aqua kepada Danone dari Perancis; Kecap Cap Bango kepada Unilever dari Inggris; Susu SGM kepada Royal Numico (Belanda)-Danone; Kecap, Saos, Sirup ABC kepada Heinz dari Amerika Serikat.
Yang lebih menguntungkan adalah investasi asing yang berorientasi ekspor dengan keharusan menempatkan devisa hasil ekspornya di Indonesia yang dalam waktu-waktu belakangan ini semakin sulit kita dapatkan karena banyak negara memperebutkan investor tipe ini. Cukup memberi harapan adanya upaya mendorong Indonesia merebut pangsa pasar ekspor tekstil China ke AS, bersamaan dengan rencana meningkatkan impor kapas dari AS.
Investasi asing di proyek infrastruktur juga baik, karena bersistem konsesional dengan jangka waktu  terbatas. Dalam mengendalikan dampak negatif  investasi asing terhadap sistem moneter, beberapa negara menerapkan aturan ketat yang mewajibkan perusahaan asing untuk  bermitra dengan lokal agar dividen tak sepenuhnya keluar. Ada juga yang melalui regulasi  mengharuskan pemilik asing melakukan divestasi, mengalihkan pada pengusaha dalam negeri setelah beberapa waktu.
Kita benar-benar perlu selektif mencari investor asing, yaitu yang akan mengantarkan kita pada pemenuhan kepentingan nasional kita untuk menumbuhkan industri nasional kita sendiri  terutama  jenis industri pengolahan menengah dan kecil untuk semua produk primer produksi dalam negeri.
Strategi baru
Kita perlu mencoba strategi baru dengan mencari ribuan investor asing dari kalangan pengusaha menengah dengan skala investasi yang tidak  besar, bermitra dengan pengusaha-pengusaha  lokal, yang berdampak menumbuhkan beragam industri di seluruh penjuru Tanah Air, ketimbang mengincar investasi-investasi besar yang sepenuhnya dimiliki asing.
Bila hal ini bisa diwujudkan, Indonesia akan memiliki ekosistem bisnis yang jauh lebih lengkap sehingga lebih menarik bagi investor asing, karena dipasar dalam negeri akan tersedia cukup variasi produk bahan baku dan bahan penolong yang memungkinkan untuk perekayasaan produk dan inovasi lanjutan secara efisien, yang akan meningkatkan kemampuan Indonesia dalam memproduksi barang ekspor dengan nilai tambah yang tinggi.
Sebagai negara yang tidak ingin terjebak dalam konflik antar kekuatan besar dunia, kita juga perlu memerhatikan aspek negara asal investor, dengan mengutamakan dari negara-negara yang tidak memiliki tendensi politis terhadap Indonesia seperti negara-negara Skandinavia, Eropa, Amerika Latin, di samping Asia Selatan, ASEAN, Korsel, Jepang, Taiwan. Pendekatan ini sekaligus akan membuka peluang ekspor ke pasar-pasar yang baru dan potensial.
Ke depan, upaya mendorong ekspor juga perlu ditempuh  dengan  membiakkan jumlah eksportir, mendorong hadirnya kantor-kantor dagang milik warga Indonesia di seluruh dunia dengan dukungan pembiayaan dari perbankan nasional dan mendukung pengusaha Indonesia untuk melakukan investasi mengembangkan produksi di luar negeri, termasuk restoran-restoran Indonesia di luar negeri, seperti yang telah dilakukan oleh Jepang, Korea dan Thailand.
Pada awalnya, proses ini akan  membutuhkan devisa keluar, tetapi nantinya akan menghasilkan devisa masuk kembali ke Indonesia secara terus menerus.
Semoga, sinergi nasional antar-pemangku kepentingan ekonomi nasional dalam mengimplementasikan pendekatan baru di bidang investasi dan ekspor akan membuat Indonesia  dapat maju dengan lebih cepat.
(Siswono Yudo Husodo ; Ketua Pembina Yayasan Universitas Pancasila)