Subsidi Listrik dan Kemiskinan Struktural
Budi Santosa ; Ketua Jurusan Teknik Industri ITS, Surabaya
|
JAWA
POS, 06 November 2015
NEGARA
memberikan subsidi kepada rakyatnya adalah hal yang jamak dalam praktik
kenegaraan di mana pun, termasuk di negara kapitalis sekalipun. Yang jadi
masalah adalah ketika negara menyubsidi mereka yang mampu dan dalam jumlah
besar.
Lebih
bermasalah lagi jika subsidinya dari hasil utang. Itu yang terjadi di negara
kita dan subsidi listrik adalah salah satu yang salah sasaran. Akankah itu
diteruskan?
Kita
sudah mendengar bahwa Kementerian ESDM akan mencabut subsidi listrik. Bakal
ada 23 juta pelanggan yang tidak masuk masyarakat miskin atau rentan miskin
yang selama ini menggunakan daya 450 VA atau 900 VA bakal dicabut subsidinya.
Keseluruhan penerima subsidi mencapai 48 juta orang.
Artinya,
negara memberikan subsidi kepada mereka yang tidak seharusnya menerima.
Rencana pencabutan subsidi itu langsung mendapat reaksi negatif dari Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ada yang menuduh kebijakan pemerintah
tidak prorakyat dan kapitalistis. Ada juga yang mempertanyakan apa kegunaan
pemerintah kalau hanya menaikkan tarif.
Kita
harus berhati-hati menyikapi rencana pencabutan subsidi itu. Bisa jadi
rencana yang kelihatannya tidak prorakyat miskin itu justru akan
menyelamatkan kita di masa mendatang.
Jumlah
yang tidak berhak menerima subsidi tersebut hampir 50 persen dari keseluruhan
penerima. Mari kita lihat bagaimana akibat rencana itu dan bagaimana kita
sebaiknya menyikapi.
Di
banyak tempat di perkotaan, banyak pengusaha kos atau laundry yang untungnya
bisa jadi mencapai jutaan rupiah per bulan. Tapi, mereka berlangganan listrik
dengan harga subsidi.
Sepintas,
perilaku itu tidak salah. Sebab, memang prinsip orang bisnis adalah menekan
biaya seminimalnya agar mendapatkan untung sebesar-besarnya. Namun sayang
kalau penekanan biaya itu dilakukan dengan cara yang tidak elegan, dengan
mengakali kelemahan aturan.
Itu
hanya satu contoh bagaimana golongan yang mampu mengakali aturan demi
subsidi. Tentu ada modus lain yang dilakukan orang untuk mendapatkan subsidi.
Orang-orang
semacam itulah yang selama ini ikut menikmati subsidi yang memberatkan negara
sekaligus masyarakat. PLN sebaiknya tegas dalam menerapkan aturan bahwa satu
rumah dengan satu pemilik harus menggunakan satu meteran. Tidak boleh daya
besar yang dilanggan dibagi-bagi untuk beberapa meteran demi mendapatkan
harga subsidi.
Kemiskinan
Pada
dasarnya, orang miskin bisa dikelompokkan menjadi dua kategori: miskin struktural
dan miskin kultural. Miskin karena kesulitan modal, kesulitan mendapatkan
akses, atau dalam kondisi tidak bisa berusaha karena keterbatasan geografis,
network atau sarana, termasuk miskin struktural. Mereka harus ditolong.
Miskin
kultural adalah mereka yang miskin karena kulturnya buruk. Tidak suka bekerja
keras, cepat menyerah, merasa kurang, atau merasa miskin walaupun mampu.
Itulah kemiskinan yang berbahaya.
Dari
sisi materi, mereka tidak miskin. Namun, perilakunya seperti orang miskin.
Banyak program pemerintah untuk membantu masyarakat miskin terganggu karena
banyak orang yang miskin kultural. Mengaku miskin demi mendapatkan bantuan.
Termasuk para penerima subsidi listrik yang semestinya tidak berhak itu.
Banyak
di antara kita yang mengidap kemiskinan kultural yang selalu ingin disubsidi
walaupun sudah mampu. Itu berbeda dengan kultur masyarakat Barat. Di Amerika
Serikat, masyarakat punya kultur yang berbeda.
Department of Human Service yang melayani program-program sosial dipenuhi imigran Hispanik,
Timur Tengah, dan Asia. Sementara orang Amerika sendiri jarang menggunakan
fasilitas bantuan sosial.
Bukan
karena mereka tidak miskin. Tetapi, budaya mereka menempatkan kemandirian
lebih bergengsi daripada mendapatkan bantuan dengan mengaku miskin. Tetangga
sebelah saya seorang bule yang pekerja kasar dengan upah minim. Dia bertahan
hidup dengan bayarannya sendiri.
Itu
menjadi sikap umum masyarakat Amerika. Program tunjangan sosial cukup
berhasil karena tidak ada yang mengakungaku miskin, kecuali mereka yang
benar-benar tidak bisa bekerja.
Langkah
yang Tepat
Jadi,
mencabut subsidi listrik merupakan langkah yang tepat walaupun mendapat
kritik sana-sini.
Mereka
yang mengkritik kebijakan pencabutan subsidi itu lupa bahwa PLN tiap tahun
menanggung rugi triliunan rupiah karena harus menjual listrik dengan harga
lebih murah daripada ongkos produksinya.
Bahkan,
rata-rata kerugian PLN per tahun mencapai Rp 50 triliun. Masyarakat telanjur
nyaman dengan tarif murah. Bahkan kadang lebih murah daripada uang rokok dan
pulsa bulanan. Mereka lupa bahwa negara harus berutang untuk menyubsidi
listrik murah yang mereka pakai.
Pencabutan
subsidi memang harus dilakukan. Ini bukan masalah prorakyat atau tidak,
melainkan mendudukkan masalah yang sebenarnya. Yang dilakukan adalah mencabut
subsidi, bukan menaikkan tarif.
Tanpa
itu, kita tidak akan belajar menghargai betapa berharganya energi. Selain
itu, kita akan sulit keluar dari perangkap utang yang membesar seiring dengan
besarnya subsidi yang ditanggung negara.
Seandainya
subsidi dicabut, utang bisa dikurangi atau dananya bisa digunakan untuk
program pembangunan lain yang lebih tepat sasaran. Masyarakat harus mengubah
mentalnya dengan menghilangkan kebiasaan mengaku miskin dengan budaya bangga
hidup dari hasil keringat sendiri walaupun tak banyak.
Bahwa
di internal PLN sendiri manajemen atau proses bisnisnya belum efisien mungkin
benar dan harus terus diperbaiki. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak mencabut
subsidi. Dengan pencabutan subsidi, akan semakin kelihatan kinerja PLN yang
sesungguhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar