Selasa, 10 November 2015

Subsidi Listrik dan Kemiskinan Struktural

Subsidi Listrik dan Kemiskinan Struktural

Budi Santosa  ;  Ketua Jurusan Teknik Industri ITS, Surabaya
                                                    JAWA POS, 06 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

NEGARA memberikan subsidi kepada rakyatnya adalah hal yang jamak dalam praktik kenegaraan di mana pun, termasuk di negara kapitalis sekalipun. Yang jadi masalah adalah ketika negara menyubsidi mereka yang mampu dan dalam jumlah besar.

Lebih bermasalah lagi jika subsidinya dari hasil utang. Itu yang terjadi di negara kita dan subsidi listrik adalah salah satu yang salah sasaran. Akankah itu diteruskan?

Kita sudah mendengar bahwa Kementerian ESDM akan mencabut subsidi listrik. Bakal ada 23 juta pelanggan yang tidak masuk masyarakat miskin atau rentan miskin yang selama ini menggunakan daya 450 VA atau 900 VA bakal dicabut subsidinya. Keseluruhan penerima subsidi mencapai 48 juta orang.

Artinya, negara memberikan subsidi kepada mereka yang tidak seharusnya menerima. Rencana pencabutan subsidi itu langsung mendapat reaksi negatif dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ada yang menuduh kebijakan pemerintah tidak prorakyat dan kapitalistis. Ada juga yang mempertanyakan apa kegunaan pemerintah kalau hanya menaikkan tarif.

Kita harus berhati-hati menyikapi rencana pencabutan subsidi itu. Bisa jadi rencana yang kelihatannya tidak prorakyat miskin itu justru akan menyelamatkan kita di masa mendatang.

Jumlah yang tidak berhak menerima subsidi tersebut hampir 50 persen dari keseluruhan penerima. Mari kita lihat bagaimana akibat rencana itu dan bagaimana kita sebaiknya menyikapi.

Di banyak tempat di perkotaan, banyak pengusaha kos atau laundry yang untungnya bisa jadi mencapai jutaan rupiah per bulan. Tapi, mereka berlangganan listrik dengan harga subsidi.

Sepintas, perilaku itu tidak salah. Sebab, memang prinsip orang bisnis adalah menekan biaya seminimalnya agar mendapatkan untung sebesar-besarnya. Namun sayang kalau penekanan biaya itu dilakukan dengan cara yang tidak elegan, dengan mengakali kelemahan aturan.

Itu hanya satu contoh bagaimana golongan yang mampu mengakali aturan demi subsidi. Tentu ada modus lain yang dilakukan orang untuk mendapatkan subsidi.

Orang-orang semacam itulah yang selama ini ikut menikmati subsidi yang memberatkan negara sekaligus masyarakat. PLN sebaiknya tegas dalam menerapkan aturan bahwa satu rumah dengan satu pemilik harus menggunakan satu meteran. Tidak boleh daya besar yang dilanggan dibagi-bagi untuk beberapa meteran demi mendapatkan harga subsidi.
Kemiskinan

Pada dasarnya, orang miskin bisa dikelompokkan menjadi dua kategori: miskin struktural dan miskin kultural. Miskin karena kesulitan modal, kesulitan mendapatkan akses, atau dalam kondisi tidak bisa berusaha karena keterbatasan geografis, network atau sarana, termasuk miskin struktural. Mereka harus ditolong.

Miskin kultural adalah mereka yang miskin karena kulturnya buruk. Tidak suka bekerja keras, cepat menyerah, merasa kurang, atau merasa miskin walaupun mampu. Itulah kemiskinan yang berbahaya.

Dari sisi materi, mereka tidak miskin. Namun, perilakunya seperti orang miskin. Banyak program pemerintah untuk membantu masyarakat miskin terganggu karena banyak orang yang miskin kultural. Mengaku miskin demi mendapatkan bantuan. Termasuk para penerima subsidi listrik yang semestinya tidak berhak itu.

Banyak di antara kita yang mengidap kemiskinan kultural yang selalu ingin disubsidi walaupun sudah mampu. Itu berbeda dengan kultur masyarakat Barat. Di Amerika Serikat, masyarakat punya kultur yang berbeda.
Department of Human Service yang melayani program-program sosial dipenuhi imigran Hispanik, Timur Tengah, dan Asia. Sementara orang Amerika sendiri jarang menggunakan fasilitas bantuan sosial.

Bukan karena mereka tidak miskin. Tetapi, budaya mereka menempatkan kemandirian lebih bergengsi daripada mendapatkan bantuan dengan mengaku miskin. Tetangga sebelah saya seorang bule yang pekerja kasar dengan upah minim. Dia bertahan hidup dengan bayarannya sendiri.
Itu menjadi sikap umum masyarakat Amerika. Program tunjangan sosial cukup berhasil karena tidak ada yang mengakungaku miskin, kecuali mereka yang benar-benar tidak bisa bekerja.

Langkah yang Tepat

Jadi, mencabut subsidi listrik merupakan langkah yang tepat walaupun mendapat kritik sana-sini.

Mereka yang mengkritik kebijakan pencabutan subsidi itu lupa bahwa PLN tiap tahun menanggung rugi triliunan rupiah karena harus menjual listrik dengan harga lebih murah daripada ongkos produksinya.

Bahkan, rata-rata kerugian PLN per tahun mencapai Rp 50 triliun. Masyarakat telanjur nyaman dengan tarif murah. Bahkan kadang lebih murah daripada uang rokok dan pulsa bulanan. Mereka lupa bahwa negara harus berutang untuk menyubsidi listrik murah yang mereka pakai.

Pencabutan subsidi memang harus dilakukan. Ini bukan masalah prorakyat atau tidak, melainkan mendudukkan masalah yang sebenarnya. Yang dilakukan adalah mencabut subsidi, bukan menaikkan tarif.

Tanpa itu, kita tidak akan belajar menghargai betapa berharganya energi. Selain itu, kita akan sulit keluar dari perangkap utang yang membesar seiring dengan besarnya subsidi yang ditanggung negara.

Seandainya subsidi dicabut, utang bisa dikurangi atau dananya bisa digunakan untuk program pembangunan lain yang lebih tepat sasaran. Masyarakat harus mengubah mentalnya dengan menghilangkan kebiasaan mengaku miskin dengan budaya bangga hidup dari hasil keringat sendiri walaupun tak banyak.

Bahwa di internal PLN sendiri manajemen atau proses bisnisnya belum efisien mungkin benar dan harus terus diperbaiki. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak mencabut subsidi. Dengan pencabutan subsidi, akan semakin kelihatan kinerja PLN yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar