Minggu, 22 November 2015

Kontroversi Ujaran Kebencian

Kontroversi Ujaran Kebencian

Widati Wulandari  ;  Pengajar Mata Kuliah Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung;
Sedang Mengikuti Program Doktor dengan Disertasi mengenai Hate Crimes
                                                     KOMPAS, 21 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menarik mencermati bagaimana satu surat edaran Kepala Kepolisian Negara RI awal November 2015 menimbulkan banyak perdebatan. Padahal, surat edaran (circular letter) ini merupakan media komunikasi internal di lingkungan kepolisian dan sejatinya dimaknai, sekalipun dibahasakan sebagai pedoman, lebih sebagai instruksi komandan kepada bawahan (jajaran kepolisian). Apa sebenarnya yang diributkan?

Tulisan singkat ini tidak akan mengomentari surat edaran tersebut, tetapi akan mencoba mengurai benang kusut kesalahpahaman banyak orang tentang konsep ujaran kebencian (hate speech) yang dipopulerkan oleh surat edaran di atas. Sebagai tambahan akan juga diuraikan berkaitan antara ujaran kebencian dan kejahatan kebencian (hate crimes), satu hal yang tidak atau jarang diangkat ke permukaan oleh media di Indonesia.

Kekhawatiran masyarakat ialah bahwa larangan mengekspresikan kebencian (lisan/tulisan) dipersamakan begitu saja dengan ujaran yang mengungkap ketidaksukaan atau kritikan kepada pemerintah, lembaga atau instansi pemerintah, kelompok orang atau perseorangan.Kekhawatiran yang dapat dimengerti karena ujaran kebencian dalam surat edaran Kepala Polri di atas disebut bersamaan dengan pasal-pasal penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, bahkan perbuatan tidak menyenangkan. Teramati pula adanya kekhawatiran bahwa pasal-pasal tersebut akan digunakan untuk mengesampingkan hak asasi: kebebasan berbicara, berpendapat, atau lebih tepatnya kebebasan warga untuk mengajukan kritik.

Kekhawatiran yang wajar mengingat kasus Prita Mulyasari beberapa tahun silam yang membawanya ke hadapan pengadilan. Bahkan, sejumlah pejabat lembaga negara (Komisi Yudisial atau Kompolnas) berurusan dengan polisi karena pernyataan mereka dianggap tidak menyenangkan oleh pihak yang dikritik.

Ujaran kebencian vs kejahatan kebencian

Apakah betul ujaran kebencian dapat dipersamakan begitu saja dengan perbuatan menghina, mencemarkan nama baik, menista, atau perbuatan tidak menyenangkan pada setiap orang, bahkan kritikan yang diajukan warga negara atau pejabat negara terhadap kinerja pejabat pemerintah atau wakil-wakil rakyat?

Sebenarnya, ujaran kebencian sudah diatur dan diancam dengan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. UU Informasi dan Transaksi Elektronik merumuskan ujaran kebencian sebagai perbuatan ”menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.

Apa yang dituju adalah perbuatan menyebarkan informasi yang dilandaskan motivasi atau intensi (niat atau maksud dan kesengajaan) untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan pada kelompok masyarakat yang berbeda suku, agama, ras dan golongan.

Sementara itu, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis mengancam perbuatan ”dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis”. Kata ”menunjukkan” merujuk pada perbuatan mengekspresikan kebencian—dengan ragam cara—yang selanjutnya harus dimaknai dalam konteks munculnya ajakan atau hasutan membenci kelompok berbeda. Kebencian itu dapat berujung pada dilakukannya kejahatan lain (perusakan, pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, atau lainnya).

Perbuatan kedua itu dikategorikan sebagai kejahatan berbasiskan kebencian. Korban kejahatan ini adalah mereka (individu atau kelompok masyarakat) yang karena perbedaan suku, etnis, ras, dan agama menjadi sasaran kejahatan.

Alasan (ratio legis) negara melarang ujaran kebencian adalah melindungi mereka yang berbeda (suku, agama, ras, jender, atau orientasi seksual tertentu, serta difabilitas) dari potensi menjadi sasaran kekerasan atau tindak pidana lain yang berbasiskan kebencian. Negara wajib mencegah (melalui hukum pidana) muncul dan berkembangnya ekspresi kebencian yang dapat berujung pada ajakan/propaganda/hasutan untuk melakukan kekerasan atau perbuatan pidana lainnya (perusakan, pembakaran, pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan, dan lain-lain) terhadap orang perorang atau kelompok orang (golongan dalam masyarakat) yang semata-mata berbeda dari kelompok lain.

Sasaran ketentuan pidana ini bukanlah perbuatan mengajukan kritikan—yang tidak serta-merta dapat dipersamakan begitu saja dengan kebencian—yang ditujukan kepada siapa pun (individu ataupun kelompok orang atau pemerintah). Kritikan wajar yang diajukan warga negara biasa bahkan pejabat negara atau wakil rakyat tidak serta-merta dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian. Beda pendapat yang muncul dalam bentuk saling mengkritik dalam alam demokrasi tidak boleh dibungkam. Begitu juga keluhan konsumen yang disampaikan melalui surat pembaca atau media lain tidak boleh dipersamakan begitu saja dengan ekspresi kebencian.

Perlindungan negara

Alasan lain pentingnya memahami dengan tepat berkaitan dan perbedaan antara ujaran kebencian, kejahatan kebencian, dengan tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, dan perbuatan tidak menyenangkan adalah pentingnya negara merespons perbuatan- perbuatan individu atau kelompok masyarakat (berbasiskan kebencian pada yang lain atau berbeda) yang dalam kenyataan telah dan berpotensi memunculkan konflik sosial (horizontal) dengan tepat guna.Mereka yang merasa terhina, tercemar nama baiknya, atau ternista dapat membela diri mereka sendiri, termasuk memperjuangkan keadilan melalui pengadilan (pidana atau perdata). Berbeda dengan itu apabila yang terjadi adalah ujaran dan/atau kejahatan kebencian. Korban dalam kenyataannya sering kali adalah individu atau kelompok masyarakat dari golongan minoritas. Dalam hal demikian, negara sejatinya harus melindungi mereka dari ”ekspresi kebencian” yang ditunjukkan sekadar karena mereka berbeda.

Satu alasan penting lainnya memahami konteks kejahatan ujaran kebencian ialah kenyataan Indonesia adalah masyarakat multi-kultural, etnik dan agama/keyakinan dan sebab itu pula—terlepas dari potret diri sebagai masyarakat toleran—tidak asing dengan konflik sosial (terutama horizontal) yang berujung pada kekerasan kolektif. Kekerasan yang dilakukan massa yang marah terhadap kelompok minoritas—di Indonesia muncul dalam wujud tragedi Mei 1998; Sampit, Kalimantan; Sampang, Madura; Cikeusik, Jawa Barat; Aceh Singkil, Aceh; tahun 2015—diduga kuat terjadi sebagai dampak ujaran kebencian yang disebarluaskan.

Peristiwa akhir: perusakan benda/bangunan, kematian atau luka-luka ringat/berat termasuk hilangnya kebebasan untuk menjalankan ibadah darisatu kelompok berbeda harus dimaknai bukan sebagai kejahatan biasa, melainkan kejahatan berbasiskan kebencian. Semoga para penegak hukum, politisi, pengamat, dan masyarakat umum tidak lagi salah kaprah mengartikan ujaran kebencian yang tiba-tiba tenar belakangan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar