Minggu, 22 November 2015

Kepribadian Teroris?

Kepribadian Teroris?

Kristi Poerwandari  ;  Penulis Kolom “Psikologi” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 22 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pasca serangan bersenjata dan bom bunuh diri di sejumlah tempat di Paris, tak habis perbincangan membahas keheranan, mengapa orang dapat merencanakan penyerangan brutal dan peledakan bom pada kelompok sipil yang tak memiliki kaitan langsung apa pun dengan sang pelaku.

Psikologi menjadi salah satu bidang ilmu yang paling berkepentingan atau bertanggung jawab untuk menjelaskan: mengapa? Ada apa di otak dan batin para pelaku teror?

Karena tindakan pelaku teror yang sangat spesifik, yakni melakukan berbagai strategi yang tak mengenal belas kasihan untuk menebarkan ketakutan dan teror, kita cenderung melihatteroris sebagai homogen. Karena demikian kejam dan tak berperasaan, dugaan yang paling sering diungkap adalah: mereka sakit jiwa, mungkin psikopat, atau memiliki gangguan kepribadian paranoid?

Heterogen

Victoroff (2005) mencoba mengulas berbagai penelitian dan ulasan mengenai individu atau kelompok teroris, dan di akhir ulasannya menyimpulkan: jangan-jangan, berkebalikan dari asumsi dan prasangka banyak dari kita, teroris itu adalah kelompok yang heterogen. Mereka bukan orang terganggu jiwa seperti kategori yang selama ini kita kenal, tidak pula irasional, tetapi justru mampu sangat matang berstrategi, merencanakan, dan mengeksekusi tindakannya.

Yang gerakannya masif dan dikenal di tingkat global memang kelompok-kelompok radikal-fundamentalis berafiliasi agama. Namun, Post (2004) mengingatkan, kajian di berbagai belahan dunia menemukan, sesungguhnya ada kelompok teroris sosial-revolusioner, kelompok sayap kanan, kelompok nasionalis-separatis, kelompok keagamaan ekstrem, dan kelompok teroris yang memperjuangkan isu spesifik tertentu (misalnya hak binatang). Dari variasi itu saja, tampaknya sulit mengasumsikan ada karakteristik homogen. Masing-masing mungkin membawa dinamika sosial-psikologisnya sendiri.

Belum lagi ketika kita melihat hierarki dalam kelompok. Yang kita maksud teroris yang mana, si pelaku bom bunuh diri, atau dalang utama yang sangat tersembunyi di balik layar, yang mungkin sama sekali tak kita sangka-sangka bahwa dia atau merekalah orangnya? Otak utama mungkin memiliki karakteristik psikologis sangat berbeda dengan pelaku bom bunuh diri. Ia sangat pandai melakukan cuci otak dan manipulasi psikologis sehingga orang-orang muda bersedia, bahkan dengan idealisme yang romantis dan penuh mimpi rela dan siap mati menjalankan tugasnya.

Mungkin sang dalang sendiri tak pernah berpikir seujung kuku pun untuk mengorbankan diri, apalagi harus melekatkan bom di tubuhnya. Baginya, para pelaku bom bunuh diri itu sekadar alat, yang barangkali sama tak berharganya dengan orang-orang yang diserang dan dihancurkan.

Otak utama bisa jadi membayangkan diri sebagai idealis atau altruis, membawa waham ia ’sang penyelamat dunia’, sebagiannya mungkin mengidap kegilaan, atau terobsesi terus membawa dendam. Tetapi, boleh jadi ia cuma punya ambisi kekuasaan dan finansial saja.

Sementara itu, sang pelaku di lapangan bervariasi dari ia yang mengalami kebingungan mengenai jati diri dan mencari kelompok referensi untuk memantapkan identitas; memang berangkat dari subbudaya berkekerasan dan terpesona dengan senjata; atau cenderung memiliki pikiran-pikiran magis sehingga gampang disetir atau dimanipulasi. Atau gambaran lain lagi.

Pengaruh kelompok

Teroris oleh masyarakat banyaksangat dibenci dan ditakuti, tetapidalam kelompoknya sendiri, mereka sering atau hampir selalu dilihatsebagai pejuang dan pahlawan.Karena itu, dalam kelompoknya, dan dalam batinnya sendiri, mereka sering dilihat dan melihat diri sebagai pro sosial, bertingkah laku baik untuk kepentingan orang lain atau banyak orang. Bahkan mati untuk melayani Allah.

Untuk pelaku lapangan, tampaknya kelompok referensi menjadi faktorpenentu sangat penting. Penelitian Post, Sprinzak, dan Denny (2003) di Timur Tengah dan Palestina menemukan bahwa pengaruh kelompoksebaya menjadi alasan utama anak- anak muda bergabung dengan kelompok teroris. Tambahan lagi, bergabungnya individu menjadi anggota kelompok akan meningkatkan posisisosialnya.

Individu kemudian akan meleburkan identitasnya pada identitas dan tujuan kolektif kelompok. Kelompok juga akan memberikan pembelajaran sosial sehingga perilaku kekerasan justru secara kognitif dipahami sebagai tuntutan moral yang harus dipatuhi untuk mencapai kebaikan. Post dan kawan-kawan menemukan bahwa penjara justru meningkatkan komitmen individu pada kelompok yang diikutinya.

Sementara dapat disimpulkan bahwa terorisme merupakan produk dari psikologi kelompok dengan subbudaya yang sangat khusus, yang bersekutu untuk bereaksi menghadapi situasi (yang oleh kelompok tersebut) dipersepsi sebagai tak dapat ditoleransi lagi (Victoroff, 2005, mensintesiskan banyak penelitian). Keanggotaan dalam kelompok dapat memberikan—bagi pengikut yang bervariasi karakteristiknya—peran yang jelas, tujuan yang ’baik’ bahkan ’mulia’, mungkin kesempatan untuk membalas dendam, juga jawaban atas kebingungan mengenai identitas dan kegamangan hidup.

Yang pasti, keanggotaan dalam kelompok dipersepsi, atau seolah, membebaskan individu dari tanggung jawab personal atas serangan atau perilaku brutal yang dilakukannya pada kelompok lain. Individu dapat membebaskan diri dari rasa takut dan rasa bersalah, karena ia melakukannya atas nama dan untuk kepentingan kelompok.

Bagaimanapun, berbagai penelitian dan simpulannya mengenai individu dan kelompok pelaku teror mengandung banyak kelemahan, karenasulit sekali melakukan pengukuran yang terstandar, ataupun penggalian data yang sangat mendalam secara langsung. Masih ditunggu, sumbangan ilmu pengetahuan untuk dapatmenjelaskan secara utuh dan mendalam, serta memastikan dapatdicegahnya terorisme dan bentuk-bentuk lain penghancuran kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar