Sabtu, 28 November 2015

Pasar dan Kedaulatan Konsumen

Pasar dan Kedaulatan Konsumen

Rizal E Halim  ;  Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia;
Direktur Eksekutif Lingkar Studi Efokus
                                                     KOMPAS, 27 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menarik menyimak tulisan Profesor Emil Salim terkait rencana keikut-sertaan Indonesia dalam Trans-Pacific Partnership (Kompas, 6/11). Terlihat jelas kegelisahan Prof Emil dalam rangkaian kata-katanya. Saya sangat memahami kegelisahan itu, mengingat satu-satunya sumber daya saing Indonesia yang menonjol dalam 10 tahun terakhir adalah pasar yang besar (market size), seperti laporan Global Competitiveness Report dari waktu ke waktu.

Struktur ekonomi nasional juga sangat diuntungkan dengan besaran pasar ini sehingga konsumsi domestik (rumah tangga) menjadi tulang punggung perekonomian nasional selama ini. Itu sebabnya kebijakan menjaga daya beli rumah tangga menjadi urgen. Setidaknya hingga ada perubahan struktur, seperti industrialisasi atau ekspor sebagai penopang perekonomian.

Rencana masuknya Indonesia dalam Trans-Pacific Partnership (TPP) memang mengundang kontroversi. Hampir sebagian besar berpendapat TPP hanya akan mengeksploitasi pasar Indonesia dengan masif, menghadapkan industri nasional dengan kekuatan multinasional, mempersempit ruang gerak pemerintah dalam mengendalikan praktik bisnis, dan lain sebagainya.

Proteksi pasar dalam negeri banyak dikritik negara industri karena dipandang menghambat kegiatan perdagangan, industri, dan investasi. Di sisi lain, proteksi pasar dalam negeri tetap dibutuhkan Indonesia mengingat proses penguatan daya saing belum berada pada level yang sama dengan negara-negara industri.

Saya berpendapat bahwa proteksi pasar tak sekadar argumentasi ekonomi daya saing atau efficiency economy, tetapi lebih dari itu. Proteksi pasar harus diterjemahkan sebagai proteksi konsumen dari berbagai perilaku industri mengingat logika pasar yang dibangun di sejumlah negara—termasuk Indonesia—sering mengedepankan paradigma ekonomi efisiensi (efficiency extremists).

Secara sadar, kelompok paradigma efisiensi banyak dikritik, baik dalam domain diskusi pasar, persaingan, maupun perlindungan konsumen. Paradigma efisiensi adalah salah satu aliran yang berkembang dari Chicago School of Thought dengan para pionirnya, seperti Aaron Director, Richard Posner, Robert Brook, dan sebagainya. Basis kelompok ini adalah teori harga, di mana efisiensi penggunaan sumber daya akan mengoptimalkan tingkat kesejahteraan konsumen.

Tentunya itu berbeda dengan kelompok strukturalis Harvard (Harvard School of Thought) yang mengedepankan konsep structure-conduct-performance (SCP). Struktur pasar yang terkonsentrasi pada segelintir pelaku dipandang akan mendistorsi pasar dan menghadirkan persaingan tidak sehat.

Dominasi paradigma efisiensi kemudian banyak mendominasi keputusan-keputusan kongres di AS, menggeser paradigma SCP.

Efisiensi sudah usang

Dalam perkembangan—bahkan sejak tahun 80-an—paradigma efisiensi dipandang mulai usang (obsolete). Salah satu kritik diutarakan oleh Robert H Lande dalam tulisan setebal 85 halaman di Hasting Law Journal, September 1982. Ia menyatakan, ”Chicago School antitrust policy rests upon the premise that the sole purpose of antitrust is to promote economic efficiency... this foundation is flawed. The fundamental purpose of antitrust is to protect consumers. To protect purchasers from paying supra-competitive prices when they buy goods or services”.

Maka, satu-satunya tujuan utama regulasi antitrust adalah melindungi konsumen. Dalam situasi persaingan yang kompleks dan dinamika lingkungan yang acak, kehadiran negara diperlukan untuk mengoptimalkan perlindungan konsumen. Memberikan perlindungan dan kedaulatan bagi konsumen adalah ultimate goal yang seharusnya diusung kebijakan antitrust. Lande dan kawan-kawan ini kemudian dikenal sebagai kelompok Post-Chicago School of Thought.

Kelompok Post-Chicago merupakan gelombang pemikiran yang relatif lebih modern dan dinamis dari kelompok Chicago sebelumnya. Beberapa perbedaan yang menonjol adalah, pertama, jika sebelumnya kelompok Chicago menggunakan pendekatan efisiensi (berbasis Teori Harga), kelompok Post-Chicago memilih pendekatan simulasi (game theory) yang lebih dinamis memotret persaingan usaha.

Kedua, kelompok Chicago cenderung menggunakan pendekatan deduktif, sedangkan Post-Chicagoinduktif. Ketiga, kelompok Chicago berbasis norma, sedangkan Post-Chicago berbasis fakta lapangan. Keempat, kelompok Chicago relatif lebih abstrak dan Post-Chicago lebih empiris.

Beberapa tokoh yang populer dalam kelompok Post-Chicago adalah JB Baker, EM Fox, H Hovenkamp, MS Jacobs, RH Lande, O Williamson, DG Baird, dan RH Gertner.

Gundlach (2001) menyebutkan bahwa kelompok Post-Chicago relatif menganalisis fenomena persaingan usaha dengan mengakomodasi perilaku perusahaan di tengah ketidaksempurnaan informasi sehingga potret persaingan relatif dinamis.

Beberapa contoh pergeseran paradigma hukum persaingan usaha dari kelompok Chicago ke Post-Chicago di Amerika dapat diamati dari putusan pengadilan kasus Eastman Kodak versus Image Technical Services Inc pada 1992 (Lande,1993) atau kasus Brook Group Ltd versus Brown and Williamson Tobacco Corporation pada 1993 (Gundlach, Phillips, and Desrochers, 2002).

Schleicher (1997) menyatakan bahwa pada kasus Eastman Kodak, pengadilan lebih menggunakan pendekatan biaya informasi (Post-Chicago) dibandingkan argumentasi efisiensi (Chicago) yang banyak digunakan dalam kasus-kasus sebelumnya.

Konteks kekinian memang tidak lagi menggunakan logika pasar berbasis teori neoklasik yang mengasumsikan pasar terbentuk oleh dorongan konsumsi yang menstimuli produksi. Asumsinya konsumen memiliki preferensi dan informasi lengkap sehingga bisa mengoptimalkan pilihan. Logika ini terlalu kuno (old fashion) sehingga tidak dapat menangkap fenomena sekarang.

Logika pasar

Ada baiknya logika pasar mendapat perhatian pemikir ekonomi. Regulator dan komisi persaingan adalah logika pasar yang dibangun kelompok Post-Keynesian. Salah satu yang cukup populer adalah dependence effect paradigm, di mana perkembangan lingkungan begitu pesat sehingga hubungan antara konsumsi dan produksi bisa berkebalikan arah dari asumsi paradigma neoklasik: produksi justru penggerak konsumsi.

Paradigma Post-Keynesian juga memandang bahwa pasar (baca: konsumen) tidak selamanya rasional dalam menentukan pilihan. Dalam kondisi ini, konsumen menjadi pihak yang vulnerable dan kehilangan kedaulatan (sovereign). Dengan pendekatan ini, tujuan akhir dari regulasi pasar tidak lain adalah mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan konsumen. Hal ini penting di tengah ketidakpastian dan proses integrasi sekaligus interdependensi ekonomi dunia yang semakin pesat.

Di Indonesia saat ini terkesan ambigu dengan menggunakan perangkat penguasaan pasar (SCP) di satu sisi, sementara di sisi lain argumentasi efisiensi menjadi pemanisnya. Ini juga menjadi jawaban mengapa sejumlah kasus praktik usaha yang tidak sehat sulit diselesaikan. Karena memang tujuannya sekadar efisiensi, bukan melindungi dan demi kedaulatan konsumen.

Seberapa besar daya tawar konsumen—individu dan rumah tangga—saat ini terhadap berbagai barang dan jasa? Andalah yang layak menilainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar