Kamis, 19 November 2015

Tribunal Rakyat Internasional: Menolak Bungkam, Melawan Impunitas

Tribunal Rakyat Internasional:

Menolak Bungkam, Melawan Impunitas (Bagian 2)

Ayu Wahyuningroem  ;  Kandidat Doktor, Australian National University (ANU); Peneliti International Peoples’ Tribunal untuk Kejahatan Berat 1965 (IPT 65)
                                              INDOPROGRESS, 06 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DALAM tulisan sebelumnya, saya sudah membahas kemunculan dan perkembangan Tribunal Rakyat Internasional (TRI). Pasca Russel Tribunal di akhir 1960-an, mulai bermunculan pula berbagai TRI lainnya di beberapa negara untuk melawan kebungkaman negara-negara terhadap banyak kasus kejahatan serius di dunia. Dalam tulisan ini, saya akan membahas sepintas beberapa TRI di Asia, khususnya TRI yang diselenggarakan dan menyangkut negara dan rakyat Indonesia. Bagaimana relevansi TRI ini untuk penguatan wacana HAM di Asia, khususnya di Indonesia, dan bagaimana prospeknya TRI yang demikian untuk menjadi sebuah alternatif bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia?

Saya akan memulai dengan melihat sekilas beberapa inisiatif TRI di Asia dan menelaah tiga TRI yang pernah dilakukan terkait dengan Indonesia, yakni Tribunal untuk kasus Timor Timur, Tribunal Tokyo untuk kasus Perbudakan Seksual oleh Jepang, dan Tribunal Warga untuk kasus Biak berdarah. Dari sini, saya akan mencoba mengaitkan dengan inisiatif serupa dan tantangannya di masa depan. Bagian akhir akan saya tutup dengan sebuah kesimpulan.

Tribunal Rakyat Internasional di Asia dan yang terkait dengan Indonesia

Kemunculan Russel Tribunal dan perkembangan banyak TRI lain di dunia juga menjalar hingga ke Asia. Hal ini bisa dipahami mengingat negara-negara Asia baru saja keluar dari masa penjajahan yang panjang oleh negara-negara kolonial. Bahkan, sebagaimana yang saya sampaikan di tulisan Bagian Pertama tentang TRI, Russel Tribunal sebagai TRI pertama justru memeriksa dugaan kejahatan perang di salah satu negara Asia, yakni Vietnam, yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Di Asia, masyarakat sipil juga menyelenggarakan TRI untuk berbagai kasus pelanggaran HAM berat pasca Perang Dunia II. Simm dan Byrnes (2015) mencatat paling tidak ada tiga tribunal yang diselenggarakan oleh PPT terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara, yakni pendudukan Indonesia di Timor Timur tahun 1981, Filipinna dan Bangsa Moro tahun 1982, dan pendudukan Cina atas Tebet tahun 1992. Selain itu, ada juga sesi-sesi yang digelar untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan multinasional, misalnya di Bhopal dan Bangalore. Baru-baru ini, PPT juga menyelenggarakan sesi untuk kasus genosida Tamil di Srilanka.[1]

Di samping PPT, ada juga beberapa TRI yang diselenggarakan di Asia. Salah satu yang paling dikenal dan menjadi rujukan adalah Tribunal Kejahatan Perang Perempuan untuk Pengadilan Perbudakan Seksual oleh Militer Jepang (atau disebut the Tokyo Women’s Tribunal). Saya akan menjelaskan lebih banyak tentang tribunal ini dalam bagian berikutnya. Selain Tokyo Tribunal, juga ada Independent Peoples’ Tribunal untuk menghakimi G7 tahun 1993, International Criminal Tribunal for Afghanistan tahun 2004, dan International Peoples’ Tribunal on Human Rights and Justice in Indian-administered Kashmir, serta Peoples’ Tribunal on World Bank tahun 2007 di India.

Khusus tentang TRI yang terkait dengan Indonesia, tiga yang pernah dilaksanakan adalah PPT untuk kasus invasi Timor Timur, Tokyo Tribunal untuk kasus perbudakan seksual, dan Tribunal Warga Internasional untuk kasus pembantaian Biak (Biak Berdarah).

i. Permanent Peoples’ Tribunal tentang Timor Timur

Setelah lebih dari lima tahun sejak Indonesia menginvasi Timor Timur yang baru merdeka dari Portugal, the Revolutionary Front for an Independent East Timor (FRETILIN) yang memenangkan 50 persen suara pada Pemilu tahun 1975, mengajukan gugatan terhadap negara Indonesia ke PPT. Dengan melibatkan pemimpin Fretilin, pengacara, ilmuwan, jurnalis, wakil gereja dan beberapa warga negara Indonesia, tribunal ini digelar mulai tanggal 19 hingga 21 Juni 1981 di Lisbon.[2] Keputusan PPT menetapkan bahwa Indonesia telah melakukan agresi dengan melanggar ayat 2(4) Charter PBB, dan karenanya bersalah dan bertanggung jawab atas kejahatan terhadap perdamaian. PPT juga menyimpulkan Indonesia dan didukung oleh beberapa negara lain juga telah melanggar hak menentukan nasib sendiri oleh bangsa Timor Timur.[3] Tribunal ini menandai sebuah bentuk kolaborasi internasional yang pertama kali terjadi tentang apa yang terjadi di Timor Timur, dan berdampak pada terbentuknya sebuah organisasi solidaritas Hak Asasi Rakyat Maubere (Comissão para os Direitos do Povo Maubere, CDPM).[4] Materi-materi sidang PPT juga menjadi bahan advokasi dan diplomasi lebih lanjut untuk pembebasan Timor Timur.

ii. Tokyo Tribunal tentang Perbudakan Seksual oleh Jepang

Tribunal ini diadakan di Tokyo tahun 2000 untuk memeriksa dugaan perbudakan seksual oleh tentara Jepang terhadap perempuan-perempuan muda (biasa disebut comfort women atau jugun ianfu) di Asia dan khususnya Asia Tenggara pada masa Perang Dunia II. Tribunal ini menunjuk dirinya sebagai kelanjutan dari International Military Tribunal for the Far East (IMFTE atau Tokyo Trial) yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu untuk mengadili kejahatan perang oleh Jepang selama Perang Dunia II, dimana pengadilan ini absen memasukkan kasus perbudakan seksual dalam dakwaannya meskipun bukti-buktinya sangat kuat dan tersebar. Tribunal Tokyo ini diinisiasi oleh sejumlah feminis dan organisasi masyarakat sipil internasional lintas negara. Melibatkan ratusan praktisi dan akademisi serta korban, Tribunal digelar dan mendapatkan publisitas serta perhatian dunia internasional. Selama lima hari dari tanggal 8 hingga 12 Desember, tribunal ini menghadirkan kesaksian dan tuntutan-tuntutan dari masing-masing negara asal para korban. Dari Indonesia sejumlah korban juga memberikan kesaksiannya, sedangkan tuntutan dibacakan oleh satu tim penuntut yang terdiri dari pengacara senior dan aktivis perempuan seperti Nursyahbani Katjasungkana dan Antarini Arna. Putusan tribunal menyatakan bahwa negara dan pemerintah Jepang, yang diwakili oleh Kaisar Hirohito, bersalah atas kejahatan serius terhadap ribuan perempuan di Asia yang dipaksa menjadi budak seksual untuk melayani tentara-tentara Jepang selama masa Perang Dunia II. Selain itu, Tribunal ini juga merekomendasikan permintaan maaf dari Kaisar serta reparasi kepada para korban yang dirampas hak dan kehidupan social ekonominya selama bertahun-tahun.

Banyak peneliti dan praktisi menilai bahwa tribunal ini merupakan satu lagi contoh sukses TRI. Keputusan Tribunal ini merupakan kemenangan besar bagi para feminis, aktivis HAM, dan terutama para korban yang tersebar di berbagai negara.[5] Kontribusi lainnya adalah menguatnya gerakan solidaritas regional untuk isu ini dan secara umum isu hak-hak perempuan, dan sejumlah memorialisasi yang dibangun untuk mengingat pengalaman pahit masa lalu. Pemerintah Jepang pernah menyatakan permintaan maaf melalui perdana menterinya, namun kemudian ditarik kembali, seperti juga dengan skema reparasi kompensasi yang pernah disalurkan ke beberapa pemerintah negara asal korban, termasuk Indonesia.

iii. Tribunal Warga tentang Biak Berdarah

Tribunal ini diadakan belum lama berselang, yakni pada tanggal 6 Juli 2013, tepat lima belas tahun pasca terjadinya pembantaian atas warga sipil di Biak, Papua. Pembantaian itu terjadi tidak lama setelah perubahan politik nasional di Jakarta, dimana sejumlah massa pimpinan Filep Karma melakukan aksi damai dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di sebuah menara air di kota Biak. Di hari ketiga aksi tersebut, sejumlah besar pasukan TNI dari berbagai kesatuan dan angkatan serta polisi, menyerang kerumunan massa dan dengan membabi buta melepaskan tembakan serta aksi-aksi kekerasan hingga pembunuhan. ELSHAM, sebuah LSM lokal di Papua yang pertama melakukan investigasi atas insiden ini menuliskan laporan banyaknya “kuburan tanpa nama, nama tanpa kuburan”. Tidak ada yang bisa memastikan berapa jumlah korban, namun Human Rights Watch (1998) memperkirakan ratusan orang yang hilang entah dibunuh atau dihilangkan paksa.

Tribunal dilakukan di Universitas Sydney, Australia, melibatkan beberapa pengacara senior seperti Mantan Jaksa Agung negara bagian New South Wales, John Dowd. Tribunal ini digagas oleh Center for Peace and Conflict Studies yang antara lain beranggotakan Peter King dan Eben Kirksey.[6] Tribunal ini mendapat banyak perhatian dari media nasional Australia, dan beberapa media internasional. Saksi-saksi didatangkan dari Papua dan beberapa yang berdomisili di Australia. Tribunal ini tidak mendapat banyak perhatian dari media di Indonesia, dan juga tidak menimbulkan reaksi besar dari pemerintah Indonesia pada saat sebelum dan ketika pelaksanaan. Hal ini bisa berdampak positif, karena dengan begitu keamanan untuk saksi dan penyelenggaraannya lebih lancar. Tentu aspek yang kurang maksimal adalah terbatasnya informasi dan perhatian serta pelibatan masyarakat dan organisasi yang selama ini bekerja untuk isu HAM di Papua. Tribunal menyimpulkan bahwa penyerangan yang dilakukan oleh aparat keamanan adalah di bawah kontrol pemerintah Indonesia, berakibat pada bentuk-bentuk kekerasan mulai dari pembunuhan hingga kekerasan seksual. Rekomendasi utama tribunal ini adalah agar pemerintah Indonesia menindaklanjuti dengan investigasi hukum serta melakukan reparasi bagi para korban. Selain itu, pemerintah Australia dan Amerika Serikat juga ikut bertanggung jawab karena telah mendukung dan memfasilitasi tentara Indonesia dalam berbagai pelatihan, karena itu Australia dan Amerika Serikat juga harus mendesak Indonesia untuk menindak lanjuti putusan tribunal.

Sebuah Tribunal Rakyat Internasional untuk Kejahatan Berat di Indonesia?

Indonesia bisa dikatakan sebagai sebuah negara yang paling responsif terhadap tuntutan pengadopsian prinsip dan norma hukum internasional, tapi juga yang paling enggan untuk memenuhi komitmen yang sudah dijanjikan di atas kertas. Hingga saat ini, Indonesia telah meratifikasi tidak kurang dari sebelas instrumen HAM internasional, dan memimpin dalam forum-forum internasional dan regional terkait HAM. Meski demikian, urusan implementasi dari norma-norma dan aturan ini menunjukkan kemunduran terus menerus di setiap pergantian presiden, meskipun demokrasi tetap bertahan sejak turunnya pemimpin otoriter Soeharto di tahun 1998. Upaya-upaya untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat sudah dicoba, namun yang terjadi justru impunitas tetap bertahan dan negara semakin menegasikan klaim-klaim korban dan ketidakadilan. Hingga tahun 2011, sejumlah 137 nama tersangka yang disebut dala laporan investigasi KOMNAS HAM ternyata hanya 34 yang dimasukkan dalam tuntutan Kejaksaan Agung, dan hanya 18 yang dinyatakan bersalah. Dari yang sedikit itu, tidak ada satupun yang akhirnya dihukum karena proses banding.[7] Artinya, angka pembebasan bagi para pelaku pelanggaran HAM di Indonesia adalah 100 persen. Sementara persoalan pelanggaran HAM masa lalu tidak selesai, ditambah terus dengan kasus-kasus pelanggaran HAM terbaru, sehingga sulit untuk meyakini bahwa rezim penguasa yang sewenang-wenang memang sudah berakhir dan digantikan oleh rezim yang akuntabel dan menghormati hak-hak dasar warganya.

Sementara itu, masyarakat sipil di dalam negeri tidak henti-hentinya mendesakkan tuntutan atas keadilan dan akuntabilitas. Beragam upaya, baik di tingkatan komunitas maupun nasional, telah ditempuh. Namun bukan saja upaya-upaya ini tidak dihiraukan, pemerintah lewat beragam institusinya, terutama institusi keamanan, justru membenturkan upaya-upaya ini dengan kelompok-kelompok yang dioposisikan terhadap tuntutan keadilan dan akuntabilitas; kelompok-kelompok yang pro pada impunitas dengan dalih agama, nasionalisme, ataupun NKRI.

Pada titik ini, ruang-ruang resmi negara di dalam negeri semakin mengecil dan membuat gerak masyarakat sipil, termasuk korban, semakin sulit menyuarakan kepentingannya. Demokrasi prosedural yang dipilih oleh para penguasa saat ini merupakan pisau bermata dua: ia seolah-olah memberi pilihan dan akuntabilitas politik kepada rakyat, namun pada saat yang sama ia menjustifikasi kebijakan, termasuk kebijakan yang melanggengkan impunitas, dan aksi penguasa yang telah dipilih rakyat tadi. Pada saat yang sama, ruang-ruang resmi di luar Indonesia juga belum banyak memberikan komitmen berarti ke arah pelembagaan keadilan dan penghormatan HAM di Indonesia.

TRI memberikan sebuah alternatif ruang dari kepepatan yang demikian. Ruang itu tidak di dalam negeri, tapi di luar negeri dengan mengundang lebih banyak kelompok masyarakat di dunia untuk bersolidaritas dan sama-sama mendukung penyelesaian pelanggaran HAM yang bermartabat. Ia sekaligus mereklamasi keabsahan pengalaman kelompok tertindas, seperti korban, sesuai standar hukum dan norma internasional, dan menjadi alat untuk membongkar kebungkaman negara dan internasional terhadap kejahatan besar yang terjadi di Indonesia, sekaligus menolak impunitas yang begitu kokoh bertahan.

Meski TRI merupakan sebuah alternatif yang strategis, ada setidaknya tiga tantangan besar untuk penerapannya dalam konteks Indonesia. Yang pertama adalah legitimasi hukum. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, ketiadaan legitimasi hukum merupakan kritik terbesar bagi TRI dimanapun di dunia. Meski demikian, hal ini merupakan persoalan yang juga dihadapi oleh semua model inisiatif masyarakat sipil non-negara, termasuk misalnya memorialisasi, upaya pencarian kebenaran, dan sebagainya. TRI harus dilihat di luar dari cara pandang formalistik yang demikian. Legitimasi terbesar dari TRI adalah moral dan politik, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip hukum yang diakui, dan legitimasi ini berasal dari mandat yang diberikan oleh korban dan/atau kelompok yang tertindas.

Tantangan kedua adalah adanya kekakuan dalam memahami pembagian aspek keadilan yang diturunkan dari konsepsi tentang keadilan transisi (transitional justice). International Center for Transitional Justice (ICTJ), sebuah lembaga nirlaba internasional yang mempromosikan pendekatan keadilan transisi, membagi keadilan dalam empat aspek besar: pengungkapan kebenaran, pengadilan, reparasi dan reformasi institusi.[8] Konsepsi ini diadopsi oleh PBB, dan menjadi rujukan dari beragam riset dan advokasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil. Di Indonesia, keadilan transisi juga menjadi rujukan dan kerangka bagi beragam inisiatif baik oleh KOMNAS HAM, KOMNAS Perempuan, LPSK, maupun ornop-ornop baik di Jakarta maupun di daerah-daerah.[9] Pembagian aspek keadilan ini umumnya dipahami sebagai pembagian mekanisme-mekanisme turunan dari masing-masing aspek. Pengungkapan kebenaran, misalnya, dilakukan dalam bentuk tim pencari fakta, tim pendokumentasian, komisi kebenaran, dan sebagainya. Sementara itu, pengadilan merupakan inisiatif untuk keadilan dalam bentuk formal, upaya judisial, dan ditujukan untuk mendapatkan keadilan dengan penghukuman. Sementara itu, reparasi bentuknya bisa berupa restitusi, rehabilitasi ataupun kompensasi, disamping bentuk reparasi kolektif seperti memorialisasi. Terakhir, dan yang seringkali sulit dielaborasi dalam praktik karena dimesnsinya yang luas, adalah reformasi institusi. Ini termasuk juga reformasi sektor keamanan, misalnya, tentara dan polisi. Dalam pemahaman demikian, TRI umumnya dipahami sebagai bagian dari aspek pengadilan, atau keadilan formal.

Kenyataannya, TRI merupakan inisiatif yang menabrak batas empat aspek keadilan tersebut. TRI dilakukan mengikuti dan mengadopsi prinsip-prinsip dan ketentuan serta mekanisme dalam hukum pidana internasional yang resmi (disponsori oleh negara), dimana bukti-bukti diperiksa dan kesaksian-kesaksian disampaikan untuk membuktikan tuduhan pelanggaran HAM berat. Pada umumnya, berbeda dengan pengadilan kriminal biasa, TRI mendakwa negara yang melakukan pelanggaran HAM dengan menyebutkan individu-individu yang terbukti melakukan kejahatan. Proses terpenting dari mekanisme ini adalah riset dan pengumpulan data dan bukti-bukti yang menjadi dasar dari tuntutan. Ini adalah bentuk lain pencarian kebenaran, dan keputusan tribunal merupakan kebenaran itu sendiri yang telah melalui verifikasi dalam kerangka hukum formal. Louis Bickford (2007) menyebutkan beberapa contoh TRI dan memasukkannya sebagai unofficial truth projects atau inisiatif kebenaran non-resmi.

Tantangan ketiga lebih terkait dengan situasi keamanan di dalam negeri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kemampuan aparat keamanan dan pemerintah Indonesia secara keseluruhan untuk menjamin ataupun mengabaikan keamanan terhadap penyelenggaraan TRI, terutama keamanan korban dan aktivis pembela HAM. Beberapa riset menunjukkan, pemerintah Indonesia akan sangat defensif sekaligus reaktif terhadap berbagai upaya pembahasan masalah pelanggaran HAM di forum internasional.[10] Tergantung pada dinamika politik di dalam negeri, dalam beberapa kasus tekanan masyarakat internasional mampu melunakkan dan membuat pemerintah lebih akomodatif. Dalam kasus lain, pemerintah, terutama insitusi keamanan dan kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, malah cenderung lebih reaktif dan cenderung melakukan kekerasan. Ada dua hal yang bisa mengendalikan atau mengimbangi situasi ini. Yang pertama adalah faktor kepemimpinan kepala negara dan kemauannya memihak pada keadilan, serta dukungan luas masyarakat sipil di dalam negeri, termasuk LSM, akademisi, dan media. Yang terakhir ini menjadi penting, karena TRI adalah inisiatif yang lahir dari masyarakat sipil dan memiliki tujuan yang sama dalam memutus impunitas dan menolak crime of silence.

Kesimpulan

Negara-negara Asia sesungguhnya sudah tidak asing lagi dengan TRI. TRI yang pertama yang digagas oleh Russell dan kawan-kawan adalah inisiatif masyarakat sipil sedunia yang memeriksa dugaan kejahatan perang yang dilakukan terhadap Vietnam. Disusul kemudian beberapa TRI lainnya yang dilakukan terkait dengan kejahatan serius di beberapa negara di Asia, baik yang dilakukan oleh negara maupun perusahaan multinasional.

Terkait dengan Indonesia, TRI sudah pernah dilakukan sebanyak tiga kali dengan dampaknya masing-masing. Ke depannya, TRI patut dipertimbangkan sebagai satu lagi alternatif masyarakat sipil untuk menuntaskan kasus-kasus kejahatan berat, di tingkat internasional, secara bermartabat. Sejumlah tantangan memang ada di depan mata, dan ini juga hal yang perlu didialogkan bersama. Untuk dialog itulah saya menulis tulisan ini sebagai sebuah pengantar semata.

[1] http://www.ptsrilanka.org/

[2] Lihat laporan CAVR, 2005, hal. 104, 115

[3] Byrnes dan Simm, 2011, hal. 10

[4] Laporan CAVR, 2005, hal 104

[5] Banyak peneliti yang menuliskan pengalaman dan dampak tribunal tidak saja terhadap aktivisme transnasional tetapi juga terhadap hukum pidana dan norma hukum internasional. Lihat misalnya Nicola Henry, “ Memory of an Injustice: the “Comfort Women” and the Legacy of the Tokyo Trial”, dalam Asian Studies Review, vol 37 issue 3, 2013; atau Carmen Argibay, “Sexual Slavery and the Comfort Women of World War II”, dalam Berkeley Journal of International Law, Vol 21, Issue 2, 2003. Selain tulisan jurnal, juga banyak buku-buku yang ditulis berdasarkan riset terhadap tribunal ini. Beberapa kisah dan kesaksian korban Jugun Ianfu Indonesia juga telah dipublikasikan, antara lain Eka Hindra dan Koichi Kimura, Mereka Memanggilku Momoye, Esensi, 2007.

[6] Lihat informasi tentang tribunal ini, beserta rekaman sesi-sesi tribunal di http://www.biak-tribunal.org

[7] Lihat analisisnya dalam laporan Kontras dan ICTJ, Derailed: Transitional Justice in Indonesia since the Fall of Soeharto, 2011, hal 37-62

[8] lihat https://www.ictj.org/about/transitional-justice. Konsepsi ini diadopsi oleh PBB sebagaimana dituliskan dalam dokumen Guidance Note of the Secretary General: United Nations Approach to Transitional Justice, Maret 2010.

[9] Lihat misalnya Sri Lestari Wahyuningroem, “Seducing for Truth and Justice: Civil Society Initiatives for the 1965 Mass Violence in Indonesia”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, 2013, hal. 115-142; Suh Jiwon, The Politics of Transitional Justice in Post-Soeharto Indonesia, 2012 (disertasi dari Ohio State University, tidak diterbitkan), Suzannah Linton, “Accounting for Attrocities in Indonesia”, dalam Singapore Year Nook of International Law, Vol 11, 2007, hal. 195-259


[10] Pasca reformasi 1998, misalnya, pemerintah sangat akomodatif terhadap tekanan luar negeri untuk isu-isu pelanggaran HAM. Misalnya saja, pemberian referendum untuk Timor Timur, dan pembuatan sejumlah aturan dan Undang-undang terkait HAM. Masa-masa awal ini, oleh Kontras dan ICTJ, disebut sebagai periode yang menjanjikan, yang kemudian mulai mundur ke periode dimana mekanisme akuntabilitas merupakan kompromi-kompromi diantara kekuatan politik sebelum kemudian macet samasekali. Lihat Kontras dan ICTJ, Derailed, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar