Minggu, 22 November 2015

Perlukah BUMN Disuntik PMN?

Perlukah BUMN Disuntik PMN?

Adler Haymans Manurung  ;  Guru Besar Universitas Bina Nusantara, Jakarta;  Presiden Asosiasi Analis Pasar Investasi dan Perbankan
                                                KORAN SINDO, 19 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pos anggaran penyertaan modal negara (PMN) ke badan usaha milik negara (BUMN) sempat menjadi topik panas ketika pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016.

Akhirnya, pada 30 Oktober DPR mengetuk palu APBN 2016 dan menangguhkan pembahasan PMN pada RAPBNP 2016. Rencananya, jika tidak ditangguhkan, PMN yang akan digelontorkan sebesar Rp40,42. Target itu lebih kecil dari PMN 2015 yang besarnya Rp64,88 triliun. Namun, angka itu jauh lebih besar dibandingkan sebelum Presiden Jokowi memegang tampuk pemerintahan.

Pada 2010 hanya Rp4,03 triliun, Rp8,68 triliun pada 2011; Rp7,6 triliun pada 2012; Rp2 triliun pada 2013, dan Rp3 triliun pada 2014. Peningkatan investasi pemerintah dengan sebutan PMN pada dua tahun terakhir boleh dikatakan untuk memenuhi janji saat kampanye. Terlepas dari perdebatan masalah apa di balik PMN yang besar tersebut, menarik untuk membahas dampak PMN bagi sistem keuangan Indonesia, terutama masalah suku bunga.

Apakah pemerintah tidak bisa menggunakan PMN ini dalam rangka menurunkan tingkat bunga yang berlaku? Bank Indonesia kelihatannya tidak punya rencana melakukan penurunan tingkat bunga terlihat dari kebijakan yang dilakukan sejak Presiden Jokowi berkuasa. Alasan utama yang selalu dipergunakan yaitu masih besar faktor eksternal yang memengaruhi perekonomian Indonesia.

Padahal, suatu negara yang memiliki tingkat bunga tinggi merupakan indikasi bahwa negara tersebut sedang dalam kondisi berisiko. Tingkat bunga yang berlaku merupakan hasil jumlah tingkat bunga intrinsik ditambah dengan risiko atas negara tersebut. Padahal, beberapa negara telah menurunkan tingkat bunga.

Tingginya tingkat bunga yang terjadi merupakan kesalahan Bank Indonesia mengambil kebijakan selama ini. Padahal, kebijakan harus diambil dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi dari faktor internal dan faktor eksternal.

Bila dipahami secara seksama, PMN ini bisa dipergunakan pemerintah untuk menurunkan tingkat bunga dimulai tahun lalu. Menko Perekonomian Darmin Nasution, sebelumnya menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia, telah memberikan sinyal agar Bank Indonesia menurunkan tingkat bunga. Tetapi, pernyataan menko perekonomian tersebut tidak digubris oleh Bank Indonesia dan tingkat bunga masih tetap sama.

Kalimat faktor eksternal selalu jadi biang keladinya dan jika dipahami secara seksama di mana data tersebut dijejerkan akan ditemukan kesalahan mengambil kebijakan di beberapa tahun lalu.

Bila tingkat bunga diturunkan dan dilakukan tindakan psikologi keuangan dan moneter, sudah selayaknya perekonomian Indonesia akan lebih baik dari sekarang. Kelihatannya, political will untuk sampai ke kebijakan yang tepat agak lambat karena juga psikologi keuangan dan moneter dari pengambil kebijakan tersebut.

PMN yang dilakukan pemerintah tidak sepenuhnya benar bila diperhatikan dengan teori keuangan perusahaan yang ada. Para direktur perusahaan akan lebih senang ada suntikan dana dari pemegang saham dalam bentuk saham. Penyertaan dana ke perusahaan dengan bentuk saham merupakan pendanaan yang berisiko kecil bagi perusahaan.

Direktur perusahaan tidak perlu memikirkan bunga atas dana yang diterima tersebut juga pembayaran kembali atas dana tersebut. Dividen juga bisa tidak perlu dipaksa untuk dibayar perusahaan. Secara teori keuangan perusahaan (Manurung, 2013), perusahaan bisa melakukan pinjaman sebanyak-banyaknya bila tingkat pengembalian aset perusahaan sama dengan biaya modal perusahaan.

Artinya, tidak ada larangan bagi perusahaan untuk melakukan pinjaman selama bank juga bisa memberikan pinjaman karena bank melakukan analisis bila memberikan pinjaman dengan teknis yang saya sebutkan tadi ditambah arus kas perusahaan selama operasi perusahaan berjalan.

Myers (1984) dan Donaldson (1961) menyatakan bahwa pembiayaan dari saham merupakan pembiayaan yang paling akhir (last resort ) dan pembiayaan dari pinjaman merupakan pinjaman yang terbaik bila laba ditahan perusahaan tidak ada. Pemerintah baru bisa menyuntik dana dalam bentuk saham bila perusahaan sudah rugi terus dalam tiga tahun terakhir dan tidak ada bank yang memberikan pinjaman.

Artinya, direksi perusahaan BUMN akan lebih senang dan berleha-leha untuk mengoperasikan perusahaan. Bila pemerintah melakukan pinjaman dengan tingkat bunga yang rendah misalkan 5%, tingkat bunga pinjaman bank akan turun karena ada saingan atas tingkat bunga tersebut.

Penyuntikan pemerintah kepada BUMN membuat bank menjadi overliquid karena sebelumnya sampai saat ini bankbank sudah overliquid . Bank tidak menyalurkan kredit kepada perusahaan karena risiko yang dihadapi lebih berisiko. Bank lebih menarik menempatkan dananya pada obligasi pemerintah yang berisiko sangat kecil bahkan nol.

Walaupun margin penempatan pada obligasi pemerintah lebih rendah dibandingkan dengan pemberian kredit kepada swasta, tindakan investasi pada obligasi pemerintah sangat disukai. Akibatnya, perusahaan swasta tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan dana dari perbankan maupun pasar sehingga muncul crowding out atas pemburuan dana tersebut.

Akhirnya, perusahaan swasta mencari dana dari luar negeri dengan menggunakan valuta asing di mana tingkat bunganya lebih kecil. Sebenarnya, tingkat bunga luar negeri dan tingkat bunga domestik seharusnya sama besar nilainya karena tingkat bunga luar negeri harus memperhitungkan biaya hedging .

Besarnya utang luar negeri mempunyai pengaruh terhadap permintaan valuta asing dan merupakan salah satu faktor yang membuat nilai kurs valuta asing mengalami peningkatan tahun ini. Membaca fenomena yang diungkapkan sebelumnya, sudah selayaknya pemerintah menjadi garda terdepan dalam perekonomian terutama dalam tingkat bunga dan valuta asing tersebut karena Bank Indonesia tidak mempunyai kapasitas untuk menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi.

Pemerintah harus memberikan pinjaman dengan tingkat bunga rendah atas PMN yang dilakukan. Dana PMN seharusnya bisa dipakai sebagai alat untuk menurunkan atau menaikkan tingkat bunga yang berlaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar