Minggu, 22 November 2015

Kepret

Kepret

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                KORAN SINDO, 22 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masih ingat Rizal Ramli ketika baru ditunjuk oleh Presiden Jokowi jadi menko? Salah satu ucapannya ketika pertama kali berkonferensi pers adalah dia mau ”kepret” para koruptor. Pada waktu itu, yang dimaksud adalah korupsi yang terkait kasus Pelindo II.

Istilah ”kepret” di sini dimaksudkan oleh Rizal Ramli sebagai ungkapan bahwa kasus korupsi sebetulnya kecil saja. Dengan satu goyangan tangan (tangan digoyang keras-keras untuk mengenai wajah atau tubuh lawan dan segera ditarik kembali) si lawan sudah terpelanting. Maka, selesailah satu musuh! Jadi istilah ”kepret” yang diucapkan Menko Rizal Ramli berkonotasi (mengandung makna) membuang atau mengusir sesuatu.

Sesuatu itu bisa lawan yang berdiri sejauh capaian lengan Bapak Menko atau bisa juga sesuatu yang menempel di ujung jarinya setelah beliau membersihkan hidungnya. Tetapi, untuk seorang tukang sayur makna ”kepret” itu malah untuk mengundang atau mendatangkan sesuatu. Ketika saya berolahraga jalan pagi, kebetulan seorang tukang sayur keliling yang baru menerima uang dari seorang ibu yang baru berbelanja, mengepretkan uangnya (tiga lembar warna biru) sambil berdoa, ”Laris manis tanjung kimpul, dagangan abis duit ngumpul!!”.

Saya yang kebetulan lewat mengamini, ”Amiin!!”, yang disahut oleh tukang sayur, ”Makasih, Pak”. Jadi, kata-kata yang kita gunakan dalam berkomunikasi sehari-hari bisa mempunyai makna ganda. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) daring, arti kata ”kepret” adalah ”memercik” (kalau kita kepretkan jari kita ke air, maka air akan muncrat atau terpercik). Itu adalah arti yang baku. Atau, dalam istilah ilmu linguistik disebut ”denotasi”.

Tetapi, selain denotasi, sebuah kata bisa juga mempunyai makna kontekstual, makna yang terkait dengan situasi dan kondisi tertentu, yang bisa saja berbeda dari makna denotasinya. Sebagai contoh, kata ”kepret” yang diucapkan oleh Bapak Menko tersebut di atas mempunyai konotasi yang berbeda dari aksi mengepret yang dilakukan oleh bapak tukang sayur. Orang yang paham akan konteks dari suatu ucapan atau suatu perbuatan akan bisa mengerti arti denotasi dari suatu kata. Tetapi, kalau tidak, orang tersebut akan bingung menangkap arti suatu kata.

Sebagai contoh, kata ”Sukabumi” bagi hampir setiap orang berarti nama sebuah kota di Jawa Barat. Tetapi, untuk sebagian polisi yang bertugas di bidang reserse, ”Sukabumi” diartikan sebagai ”suka bumi”, yaitu menyukai bumi atau tanah sehingga seorang residivis yang tertangkap kembali dan tidak ada jeranya sebaiknya dikebumikan saja atau dengan perkataan lain (yang juga bermakna konotasi) diselesaikan saja di tempat dan pada waktu itu juga.

Contoh lain, kata sandi polisi ”Lapan Anam” yang oleh awam diartikan (denotasi) sebagai angka ”86”. Di lingkungan kepolisian kata ”Lapan Anam” diartikan (konotasi) sebagai ”sudah dipahami dan siap dilaksanakan”, tetapi masih bisa diselewengkan arti konotasinya lebih jauh lagi yaitu ”saling memahami” (biasanya dalam arti negatif antara petugas dan orang yang berhubungan dengan petugas itu).

Jadi, berbahasa termasuk dalam kajian Ilmu Psikologi juga. Cabang yang mempelajari bahasa dari sudut psikologi dinamakan ”Psiko Linguistik”. Masalahnya, seringkali orang tidak menyadari bahwa bahasa atau kata-kata yang digunakannya tidak dipahami oleh pihak yang diajak berkomunikasi. Kalangan TNI misalnya sering menggunakan singkatan seperti menhan (menteri pertahanan), Wanhankamnas (Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional), Yon (Batalyon), Danyon (Komandan Batalyon), dan sebagainya.

Di lingkungan Polri istilah-istilah singkatan antara lain ranmor (kendaraan bermotor), curanmor (pencurian kendaraan bermotor), curas (pencurian dengan kekerasan), satwil (kesatuan wilayah), satfung (kesatuan fungsi), dan lainnya. Tentu istilah-istilah itu membingungkan buat yang tidak terbiasa. Tetapi, bukan kalangan TNI/Polri saja yang bisa membingungkan orang.

Orang yang baru pertama kali naik pesawat terbang akan kebingungan dengan terpaan puluhan istilah baru, mulai dari arrival (kedatangan), departure (keberangkatan), gate (pintu), aisle (lorong), seat (tempat duduk), kabin, kokpit, dan lainnya. Bahkan dunia kampus pun bisa membingungkan.

Orang-orang seumur saya yang kuliahnya pada 1960-an dan sejak lulus tidak pernah berhubungan dengan kampus lagi, tidak paham apa itu UTS (dulu disebut tantamen), UTA (dulu eksamen atau ujian), PA (pembimbing akademik, dulu tidak ada), perpus (dulu disebut lengkap: perpustakaan). Saya pun masih suka kesulitan kalau mendengar mahasiswa bicara tentang metopen (metode penelitian), atau remed (remedial, atau ujian ulangan).

Begitu juga kalau saya mengajak istri saya mencari PSK, maksud saya tentunya adalah pusat sate kiloan, bukan pekerja seks komersial. Jadi, tidak seperti ilmu pasti, simbol-simbol dalam bahasa jauh lebih tidak pasti. Dalam Matematika, angka ”2” ya berarti dua, titik! Lingkaran pasti tidak sama dengan segi empat atau segi tiga, dan Celcius adalah ukuran suhu. Titik lagi!

Tetapi yang jauh lebih tidak pasti adalah symbol-simbol sosial. Simbol bulan sabit merah didunia Arab sama artinya dengan Palang Merah di Indonesia. Wanita berkerudung bisa seorang muslimah, bisa juga biarawati Katolik, dan lampu merah bisa berarti lalu lintas harus berhenti, bisa juga berarti daerah lokalisasi.

Ketika seorang suami mengajak istrinya main (tentu saja bukan main bola), istrinya bisa menjawab, ”Besok saja, Pah, lagi lampu merah, nih” (tentu saja maksud istrinya tidak ada kaitannya dengan pelacur).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar