Minggu, 22 November 2015

Paradigma Baru dalam APBN 2016

Paradigma Baru dalam APBN 2016

Khudori  ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014);
Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
                                                KORAN SINDO, 19 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Melalui lobi yang alot, 30 Oktober lalu, DPR RI akhirnya mengesahkan APBN 2016. Volume APBN mencapai Rp2.095,7 triliun.

DPR dan pemerintah menyepakati asumsi makro: pertumbuhan ekonomi 5,3%, inflasi 4,7%, nilai tukar Rp13.900 per dolar, suku bunga SPN 3 bulan 5,5%, harga minyak USD50 per barel, lifting minyak 830.000 barel per hari, dan lifting gas 1,15 juta barel setara minyak. Memang APBN 2016 masih menyisakan persoalan yaitu dibekukannya pos penyertaan modal negara (PMN) pada sejumlah BUMN sebesar Rp40,42 triliun.

Namun, APBN pertama kali kreasi Jokowi-JK ini menghadirkan paradigma baru. Apa itu? Yakni, diadopsinya target-target pembangunan. Ada empat target: rasio gini 0,39; pengangguran 5,2%-5,5% dari populasi; kemiskinan 9%- 10%; dan indeks pembangunan manusia (IPM) 70,1. Ini merupakan sejarah baru. Sejak Indonesia merdeka, inilah pertama kali ukuran-ukuran kesejahteraan ini diadopsi dalam anggaran negara.

Selama bertahun-tahun, pelbagai indikator makro dipakai mengukur kinerja pemerintah dan hasil-hasil pembangunan. Pemerintah tampak ”alergi” saat PDIP pada 2012 mengusulkan pengangguran dan kemiskinan jadi indikator APBN. Saat itu PDIP beralasan, indikator itu untuk menentukan realisasi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Selama ini pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi ukuran rakyat sejahtera apa? Siapa yang menikmati pertumbuhan itu? Saat ekonomi dunia loyo, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap tinggi. Tetapi, pertumbuhan itu hanya didorong oleh sektor modern atau nontradable seperti sektor keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/ hotel/restoran.

Pada 2014 pertumbuhan sektor ini cukup tinggi, melampaui ratarata pertumbuhan ekonomi nasional (5,02%). Sebaliknya, sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) hanya tumbuh rendah, jauh di bawah rata-rata. Ketimpangan pertumbuhan sektor tradable vs non-tradable memiliki implikasi serius karena terkait pembagian kue dan surplus ekonomi.

Sektor non-tradable bersifat padat modal, teknologi, dan pengetahuan. Pelakunya segelintir. Sebaliknya, sektor tradable padat tenaga kerja. Karena sifatnya itu, penyerapan tenaga kerja sektor non-tradable lebih kecil dari sektor tradable . Ini tak hanya berimplikasi pada penyerapan total tenaga kerja yang rendah, tapi juga menyentuh dimensi kesejahteraan: tumbuh, tapi tidak (semuanya) sejahtera.

Kontribusi sektor pertanian di PDB nasional pada 2014 hanya 14%. Padahal, sektor ini masih menampung 41% dari total tenaga kerja. Akibatnya, sektor pertanian kian involutif, yang ditandai masifnya tingkat kemiskinan di perdesaan. Per Maret 2015 jumlah penduduk miskin 28,59 juta orang (11,22%), bertambah 0,86 juta orang dalam enam bulan.

Per Agustus 2014 pengangguran mencapai 5,94%. Ini memunculkan disparitas pendapatan antarpenduduk. Kesenjangan kian melebar seperti syair lagu: yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Ini terlihat dari kenaikan gini rasio: dari 0,32 pada 2004 jadi 0,413 pada 2013 (makin tinggi berarti makin timpang). Sejak gemuruh pembangunan dilakukan pada 1966, ini pertama kalinya gini rasio Indonesia masuk ketimpangan menengah (di bawah 0,4 masuk ketimpangan rendah).

Pembangunan hanya dinikmati sekelompok kelas ekonomi. Artinya, bila kemiskinan absolut menurun, kemiskinan relatif meningkat. Kesenjangan yang melebar itu menandai defisit kesejahteraan. Ini kelemahan mengukur pembangunan yang lebih banyak terpaku pada pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan bruto kotor/PDB).

Hidup bukan hanya soal uang, tetapi juga soal kesehatan, pendidikan, keamanan, kenyamanan, lingkungan, kontinuitas masa depan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan banyak hal lagi. Ini semua tidak bisa dicakup oleh PDB, perlu indikator lain. PDB adalah indeks tentang output perekonomian keseluruhan suatu negara, hitungan hasil produksi (barang dan jasa) pabrik, panen petani, penjualan ritel, dan belanja konstruksi. Hitungan dilakukan dalam rentang tertentu.

Angka ini berfungsi memadatkan luasnya perekonomian nasional ke satu data tunggal dengan densitas luar biasa. Anggapan umum, kian besar PDB kian makmur negeri dan warga. Padahal, tidak demikian. PDB mencatat produksi barang dan jasa di suatu negara, tak peduli siapa yang membuat.

Misalnya, perusahaan asing berinvestasi di Indonesia mengeduk minyak, emas, dan batu bara, semua kekayaan mineral yang diangkat dari bumi Indonesia adalah PDB Indonesia. Semua mineral itu milik investor asing. Pemerintah Indonesia kebagian pajak dan royalti yang kecil. Mereka juga mempekerjakan para buruh Indonesia, tetapi gajinya rendah.

Bagian terbesar dari hasil itu milik investor asing. Statistik kita mencatatnya sebagai PDB Indonesia. Jika barangnya diekspor, statistik kita mencatat ekspor Indonesia meningkat. Padahal, milik asing. Ada banyak ketidakpuasan atas pengukuran tunggal itu. Pada 24 Mei 2011,Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang amat bergengsi itu mendeklarasikan Indeks Kebahagiaan (Your Better Life Index ), indeks pengganti PDB.

Sejak didirikan 1961, OECD selalu memakai pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran utama keberhasilan perekonomian dan sosial. Pertumbuhan pendapatan nasional boleh tinggi, tapi apa gunanya jika lingkungan rusak, orang tidak sehat, dan hidup tak nyaman? Itu salah satu alasan OECD kini memakai 11 indikator untuk mengukur kemajuan perekonomian: mencakup pendapatan, perumahan, pekerjaan, masyarakat, pendidikan, lingkungan, pemerintahan, kesehatan, kepuasan hidup, keamanan, serta keseimbangan pekerjaan dan hidup (Ananta, 2011).

Jauh sebelum itu, Bhutan, sebuah negara kecil di pegunungan Himalaya, sejak 1972 telah memperkenalkan indeks kebahagiaan nasional (gross national happiness), bukan indeks pendapatan nasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1990 juga telah menciptakan alternatif pengukuran pembangunan: Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index /HDI).

Ini merupakan kombinasi dari pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Tiap tahun PBB mengukur pembangunan di berbagai negara dengan indeks ini. Tapi, PBB tak dapat memaksakan semua negara melaksanakan konsep ini. Hampir semua negara, termasuk Indonesia, memakai HDI dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan.

Namun, HDI masih dilihat hanya dipakai sebagai catatan pelengkap dalam melihat keberhasilan pembangunan. Baru kali ini HDI jadi ukuran hasil pembangunan. Kini juga kian banyak ekonom di dunia yang kecewa pada pertumbuhan ekonomi sebagai pengukur utama pembangunan ekonomi.

Para ekonom dunia seperti Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paui Fitoussi pada 2009 menghasilkan laporan yang menyarankan alternatif pengukuran pembangunan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, PDB bukan hanya gagal menggambarkan kesejahteraan nyata masyarakat, tapi juga melencengkan tujuan politik global ke arah pengejaran pertumbuhan ekonomi semata.

PDB tidak memadai untuk mengukur tingkat kesejahteraan dari waktu ke waktu, terutama berkaitan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial. PDB adalah ukuran produksi pasar, tapi kerap diperlakukan sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi (Stiglitz, Sen, dan Fitoussi, 2009). Indikator PDB yang hanya melihat sisi produksi. PDB merupakan pengukuran jangka pendek.

Mungkin suatu saat pendapatan tinggi, tetapi tidak berkelanjutan (Ananta, 2012). Karena itu, perlu mengukur kekayaan suatu negara, bukan sekadar pendapatan. Indonesia misalnya, ekonomi tumbuh tinggi. Ini diperoleh dari obral sumber daya alam dengan cara ”keduk, keruk, dan tebang”. Investasi asing dan pertumbuhan meningkat luar biasa.

Sialnya, suatu saat sumber daya alam habis dan masyarakat di negara itu tidak dapat lagi menikmati sumber daya alam yang berlimpah karena telah habis tandas. Kita berharap, adopsi indikator kesejahteraan dalam APBN 2016 bisa mengubah orientasi dalam menilai hasil pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar