Minggu, 29 November 2015

Dunia yang Terkoyak

Dunia yang Terkoyak

Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah
                                                KORAN SINDO, 27 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ketika saya menelusuri beberapa negara Eropa, baik Eropa Barat maupun Eropa Timur, melalui jalan darat (2014 dan 2015), ingatan saya melayang saat jalan-jalan ke Timur Tengah. Situasinya sangat berbeda. Kita cukup memiliki visa satu negara Eropa yang tergabung dalam Schengen, kecuali Inggris, kalau mau jalan-jalan. Bus dengan leluasa keluar-masuk tanpa pemeriksaan paspor. Ini sangat berbeda dengan pengalaman saya ketika tahun 1986 ke Arab Saudi dengan bus berangkat dari Turki.

Sedikitnya ini saya lakukan tiga kali ketika saya kuliah di Turki (1985-1990), yaitu untuk beribadah haji dan kerja musiman di KBRI. Begitu masuk wilayah Suriah, petugas keamanan memeriksa paspor semua penumpang dengan gayanya yang sok wibawa. Namun sopir sudah paham, ujung-ujungnya minta uang dan makanan khas Turki yang sudah disiapkan sopir.

Begitu pun ketika kendaraan masuk perbatasan Yordania dan Arab Saudi, peristiwa serupa terjadi. Kesimpulannya, mereka tidak punya tradisi melayani tamu yang datang agar tamu memiliki kenangan indah dan simpatik. Di sepanjang jalan pun kita sulit menemukan WC yang bersih. Apakah simpulan saya ini bersifat subjektif dan tidak fair, silakan bandingkan dengan pengalaman Anda sendiri ketika berurusan dengan petugas imigrasi negaranegara Timur Tengah, misalnya sewaktu ibadah umrah atau haji.

Kini situasinya semakin buruk. Ketika berkunjung ke Yerusalem, situasinya berbeda lagi. Di sana-sini terlihat tentara Israel bersenjata lengkap layaknya mau perang. Padahal sejak kecil saya diceramahi bahwa kota itu merupakan home base penyebaran agama Yahudi yang dibawa Nabi Musa dan agama Nasrani yang dibawa Nabi Isa, juga tempat Nabi Muhammad melakukan isra’ dan mi’raj.

Tapi yang kita tahu wilayah ini justru menjadi medan konflik dan perang yang dampak negatifnya dirasakan seluruh penduduk bumi. Bagi mereka yang menelusuri wilayah Arab dengan jalan darat, dibutuhkan bekal kesabaran tinggi. 

Di daratan Afrika juga mirip kondisinya. Batas antarnegara yang merupakan gurun pasir tidak jelas dan tidak permanen memisahkan antarnegara sehingga potensial memancing konflik. Belum lagi konflik politik dan ideologi antarmereka. Sudan, Nigeria, Aljazair, Libya, dan beberapa negara lain tak sepi dari konflik. 

Meski perjalanan ke negara- negara Eropa cukup lancar dan menyenangkan, semua pemandu wisata Indonesia selalu mengingatkan, hati-hati dengan copet yang beroperasi dengan sangat canggih. Penampilan perlente, sangat di luar dugaan bagi turis Indonesia yang mudah tertarik pada penampilan luar. Turis Asia saat ini jadi sasaran empuk bagi copet karena lebih senang membawa uang tunai dalam jumlah besar, bukannya mengandalkan kartu kredit. Jumlah turis China bisa mencapai 100 juta dalam setahun. Turis Indonesia pun ikut naik citranya di Eropa. Dianggap negara kaya. Sasaran empuk bagi copet dan penipuan.

Meminjam istilah JJ Rousseau, sejak manusia mengenal ungkapan ceci est a moi, ini milikku, this is mine, sumber kekayaan alam lalu jadi objek perebutan. Maka bumi pun dikaveling-kaveling. Pada awalnya mungkin saja kepemilikan itu berdasarkan hubungan darah dan warna kulit yang telah lama mendiami sebuah wilayah.

Tapi lama-lama perebutan dan pengavelingan itu atas nama bangsa dan negara yang ditopang senjata dengan motif akumulasi materi dan kekuasaan politik. Tidak hanya bumi, lautan dan udara pun dikaveling-kaveling. Dalam drama perkelahian antara Kabil dan Habil, nafsu kepemilikan ini dibumbui kedengkian dan kecemburuan seperti dalam kisah Alquran.

Akhir-akhir ini bahkan ditambah lagi dengan klaim atas nama Tuhan oleh sekelompok gerakan keagamaan yang mengusung nama tentara dan wakil Tuhan di muka bumi. Tak ada kepemilikan sejati kecuali semua ini milik Tuhan. Jadi merekalah yang punya hak, di luar mereka adalah kafir, perampok yang halal darahnya. Memang benar dikatakan bahwa damai itu merupakan dambaan fitri setiap manusia.

Namun kenyataannya sejarah manusia tak pernah sepi dari bahasa kebencian yang mengarah pada konflik dan perang. Langit canopy senantiasa terkoyak oleh perang simbolik, sementara perang fisik juga terjadi di mana-mana. Pakistan pisah dari India dengan kemarahan.

Menyusul kemudian Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan. Ketegangan antara Pemerintah Korea Utara dan Korea Selatan masih berlangsung sekalipun warganya rindu untuk rekonsiliasi. Sisa-sisa kemarahan pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia juga masih jauh dari redam. Kadang kala apa yang disebut negara memang tak ubahnya penjara. Biangnya para elite penguasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar