Senin, 23 November 2015

Hitam Putih atau Warna-warni?

Hitam Putih atau Warna-warni?

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 22 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pagi hari itu adalah waktu yang paling afdal membuka media sosial sambil sarapan. Malah lebih afdal menikmati yang tersedia di media sosial ketimbang yang tersedia di piring makan. Karena setelah menyantap makan pagi, ritual mencuci piring harus dilakukan. Sementara membaca media sosial, saya malah bisa cuci mata.

Dua warna

Cuci mata di media sosial pagi itu membuat saya penasaran dengan dua hal. Pertama, melihat account seseorang di Instagram berupa foto-foto yang semuanya berwarna hitam putih. Kedua, membaca sebuah artikel di Twitter berjudul 25 cara menjadi manusia yang lebih berbahagia.

Waktu melihat foto-foto itu, penasarannya bukan soal obyek yang diabadikan, melainkan lebih pada keinginan untuk mengetahui mengapa seseorang memilih menggunakan dua warna itu untuk mengabadikan sebuah dunia yang penuh warna ini.

Rasa penasaran itu mengundang otak melahirkan sejuta tanya. Apakah manusia yang menyukai dua warna itu sejujurnya menjalani kehidupannya juga secara hitam putih semata? Kalau ya katakan ya, kalau tidak katakan tidak. Yang pasti-pasti saja, yang bisa diperhitungkan.

Apakah sejujurnya mereka adalah manusia yang mudah keder kalau melihat banyak warna, yang bisa jadi melahirkan kebingungan? Sehingga untuk mencegah agar tidak pusing tujuh keliling, mereka memilih untuk melihat dunia yang penuh warna dari kacamata hitam putihnya.

Atau sebaliknya, karena menyukai dua warna ekstrem itu, apakah mereka adalah makhluk yang mudah menilai, mudah mengambil keputusan, bukan orang yang dihanyutkan oleh beragam keadaan karena buat mereka hidup hanya memiliki dua pilihan.

Suka atau tidak suka. Wajar atau tidak wajar. Korup atau tidak. Jelek atau tidak jelek. Pintar atau bodoh. Mau maju atau tidak. Dengan demikian, mereka adalah manusia yang tak akan mengusung falsafah membeli kucing dalam karung sehingga orang lain atau siapa pun yang berteman dengan mereka akan mudah untuk menilai. Apa yang kamu lihat, itu yang kamu dapati.

Apakah manusia yang hitam putih adalah manusia yang menyebalkan? Karena hanya melihat semua keadaan secara hitam putih semata sehingga mereka adalah makhluk yang bisa dianggap kurang fleksibel, tak ada toleransi.

Aneka warna

Hal kedua yang membuat saya penasaran adalah melihat satu artikel dalam bahasa Inggris, yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul 25 cara menjadi manusia yang lebih berbahagia. Saya tak membaca isinya, bukan karena malas, melainkan otak ini lebih cepat bergerak mengajak diskusi soal kebahagiaan dilihat dari kacamata hitam putih dan yang penuh warna.

Apakah arti berbahagia itu? Apakah arti menjadi lebih berbahagia itu? Apakah mereka yang suka hitam putih akan melihat bahwa berbahagia itu adalah sebuah keadaan ketika seseorang mampu memisahkan secara tegas antara hal yang harus diubah dan sesuatu yang harus diterima mentah-mentah?

Apakah dengan orang yang demikian, ingin menjadi lebih berbahagia tidak ada dalam kamus mereka? Karena hitam putih sudah cukup memberi mereka rasa nyaman, memudahkan mereka memutuskan perkara, memudahkan melihat yang tidak membuat mereka bahagia dan yang membuat mereka bersukacita. Jadi apa perlunya menjadi lebih?

Sebaliknya apakah berbahagia buat mereka yang menyukai sejuta warna adalah keadaan di mana mereka bisa melakukan apa saja? Bisa ini, bisa itu, lari sana, lari sini, loncat ke kanan, loncat ke kiri? Apakah karena mereka terbiasa dengan sejuta warna, mereka juga memimpikan sejuta keinginan untuk dilakukan, termasuk keinginan untuk lebih berbahagia, setelah mendapatkan kesempatan untuk lari dan loncat ke sana dan kemari?

Karena mereka terbiasa dengan keadaan yang warna-warni, apakah toleransi mereka akan lebih tinggi, sangat fleksibel, tidak mudah tertekan, dan mudah beradaptasi dengan sebuah situasi? Mereka tidak berhenti ketika melihat jalan buntu dan kemudian frustrasi karenanya. Mereka akan melihat kebuntuan sebagai sebuah warna kehidupan.

Apakah mereka adalah makhluk yang tidak mudah tersinggung dan tersakiti karena lentur? Mereka mudah melihat bahwa sejuta warna dalam perjalanan kehidupan mereka, sebagai sebuah bentuk mengenyangkan jiwa dan raga, yang bisa jadi ketika manusia hitam putih melihat yang penuh warna itu, seperti sedang melihat manusia yang mengawang-awang dan tidak tegas.

Nah, pertanyaannya sekarang. Apakah hitam dan putih itu baik? Apakah yang berwarna yang justru baik? Yang mana yang berbahagia atau yang lebih berbahagia? Mungkin masalahnya bukan soal hitam putih atau berwarna, mungkin masalahnya bukan soal ingin lebih berbahagia, mungkin setiap makhluk harus mampu melihat kebahagiaan dengan menggunakan kacamatanya sendiri dan tidak meminjam kacamata orang lain.

Mungkin menggunakan kacamata sendiri itu akan membuat seseorang lebih peka untuk merasa cukup, memudahkan aktivitas bersyukur dilakukan, dan mencegah datangnya perasaan iri hati. Mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar