Minggu, 22 November 2015

Industri Gula dan Kerisauan Presiden

Industri Gula dan Kerisauan Presiden

M Husein Sawit  ;  Senior Advisor Asosiasi Gula Indonesia;
Mantan Ketua Forum Komunikasi Profesor Riset di Kementerian Pertanian
                                                     KOMPAS, 21 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Beberapa waktu lalu, Asosiasi Gula Indonesia dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana Negara, Jakarta. Presiden amat menaruh perhatian terhadap industri manufaktur, salah satunya industri gula. Presiden menanyakan apa yang diperlukan dari pemerintah agar industri gula kokoh dan impor gula semakin berkurang.

Pemerintahan sebelumnya, termasuk 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, industri gula tidak lepas dari sejumlah dukungan/subsidi dan proteksi. Akan tetapi, target produksigula sebesar 5,7 juta ton tidak pernah terwujud, ketergantungan impor gula semakin tinggi. Mengapa hal itu terjadi?

Presiden sangat risau melihat Indonesia menjadi negara importir gula terbesar di dunia. Indonesia mengimpor gula lebih kurang 3,5 juta ton per tahun, 95 persen di antaranya gula mentah (raw sugar) untuk bahan baku industri gula rafinasi. Gula rafinasi diperuntukkan buat industri makanan, minuman, dan farmasi besar, yang memang memerlukan gula dengan kemurnian tinggi dan halus.

Semakin besar kapasitas produksi industri gula rafinasi, makin tinggi kebutuhan impor gula mentah. Total kapasitas produksi industri gula rafinasi dalam negeri mencapai 4,7 juta ton, yang dihasilkan 11 pabrik. Pabrik-pabrik itu umumnya berlokasi dekat pelabuhan, yang sejak awal dirancang berbahan baku impor.

Ini adalah tipe footloose industry, seperti halnya industri tepung terigu, dibangun tanpa mempertimbangkan lokasi dan tempat karena dianggap tak berpengaruh pada sumber daya alam dan biaya transportasi. Sejumlah industri, terutama permata dan cip komputer, masuk dalam kelompok ini, hanya sedikit ditemukan pada industri pangan.

Gula juga dihasilkan 62 pabrik gula (PG) pengolah tebu,55 persen pabrik itu di Jawa. Kemampuan produksi 2,6 juta ton gula kristal putih (GKP) per tahun, dengan luas areal tebu lebih kurang 470.000 hektar, atau 64 persen disumbangkan Pulau Jawa.

Jumlah PG di Jawa 49 unit, 65 persen di antaranya milik badan usaha milik negara (BUMN), dengan ciri berusia tua (lebih dari 100 tahun), 70 persen di antaranya berkapasitas kecil, kurang dari 4.000 ton tebu per hari (TCD). PG milik BUMN bergantung pada bahan baku tebu (90 persen) yang berasal dari petani dengan beragam keahlian, kemampuan modal, dan minatnya. Sejak 20 tahun terakhir, hampir semua PG di Jawa mengalami kesulitan memperoleh bahan baku tebu, areal tebu beralih ke lahan kering, serta beroperasi di bawah kapasitas giling. Semua itu telah berpengaruh terhadap biaya produksi GKP yang semakin mahal (sekitar Rp 8.000 per kg), padahal PG swasta kurang dari Rp 5.000 per kg.

Pemerintah telah lama memberikan sejumlah dukungan/subsidi dan proteksi, tetapi sekadar menghilangkan ”rasa sakit sementara”, tidak menyembuhkan ”penyakit parah” pada industri gula. Revitalisasi PG milik BUMN dengan perbaikan kapasitas dan teknologi, termasuk penggabungan PG kecil, semuanya berjalan di tempat.

Demikian juga perluasan perkebunan tebu di luar Jawa tidak kunjung terwujud. Para investor ”harus berjuang” mencari lahan, tanpa banyak dukungan dari pemerintah setempat sehingga banyak investor swasta mundur.

Konflik kebijakan

Gula adalah salah satu komoditas yang sarat kebijakan pemerintah untuk memengaruhi keputusan pelaku usaha, termasuk konsumen, agar tercapai tujuan nasional swasembada gula. Namun, kebijakan pergulaan nasional terpilah-pilah antarkementerian/lembaga, tak bersinergi satu dengan yang lain, belum ada ”koordinator kuat” yang mampu menggiring ke tujuan nasional.

Masing-masing kementerian/lembaga, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, BUMN, BKPM, merancang kebijakan sektoralnya yang kerap bertentangan dengan tujuan nasional. Konflik antarkementerian/lembaga kerap terjadi, demikian juga konflik antara petani tebu, serta produsen GKP dengan produsen gula kristal rafinasi dan importir gula kristal mentah. Petani tebu rakyat juga berkonflik dengan PG yang mengolah tebu mereka.Tampaknya, SK Kemendag No 527/2004 tentangKetentuan Impor Gula sudah ketinggalan zaman sebagai rujukan dalam mengatasi berbagai konflik tersebut.

Oleh karena itu, fokus swasembada haruslah, pertama, kebijakan pergulaan nasional agar ditata ulang, harus mengurangi konflik, tertuju ke tujuan nasional yang sama, yaitu swasembada, dan mengurangi ketergantungan impor gula. Salah satu kemungkinannya penerbitan instruksi presiden dengan menunjuk Kemenko Perekonomian sebagai koordinator. Tingkat swasembada jangan dipatok harus 100 persen, dibuat misalnya 60 persen, ditingkatkan besarannya tiap 2-3 tahun.

Kedua, revitalisasi PG BUMN harus ditangani serius karena membutuhkan banyak dana yang sulit ditangani PTPN sehingga perlunya peran swasta dalam penyediaan dana dan teknologi.

Ketiga, pemerintah perlu menyediakan areal tebu 350.000 hektar di luar Jawa. Itu akan mendorong swasta membangun 10 PG modern yang mampu menghasilkan beragam produk, seperti GKP, gula mentah, dan berbagai produk hilir. Secara bertahap produksi gula kristal rafinasi diutamakan untuk ekspor. Jangan lagi bangun PG baru di Jawa serta hentikan peningkatan kapasitas pabrik gula rafinasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar