Jumat, 20 November 2015

Saatnya Melumat Islamic State (IS)

Saatnya Melumat Islamic State (IS)

Smith Alhadar  ;  Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
                                           MEDIA INDONESIA, 18 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

HANYA dalam waktu satu bulan, Islamic State (IS) berhasil melancarkan empat teror di empat negara berbeda, membunuh sekitar 500 orang tak berdosa. Pada 10 Oktober, IS meneror Turki dengan dua bom kembar di Ankara yang menewaskan 112 orang. Tiga minggu kemudian (31/10), khilafat teror itu menanam bom di pesawat Metrojet Airbus A321 milik Rusia yang kemudian meledak di langit Gurun Sinai, Mesir, dan menewaskan seluruh 224 turis Rusia.
Dua hari sebelum rangkaian teror di Paris (11/11), bom bunuh diri di Beirut selatan, Libanon, hunian komunitas Syiah menewaskan 43 orang, sedangkan bom di Paris membunuh sedikitnya 129 orang. Semua sasaran teror di atas terkait dengan keterlibatan negara mereka secara langsung atau tidak langsung dalam perang melawan IS.

Prancis sejak September tahun lalu sudah terlibat dalam perang melawan IS; Turki baru terlibat setelah serangan bom IS terhadap Kota Suruc pada 20 Juli; sedangkan Rusia sejak 30 September 2015 mengoperasikan berbagai senjata, khususnya pesawat tempur, untuk menyerang sasaran-sasaran IS di Suriah. Pemerintahan Libanon tidak terlibat, tapi milisi Syiah Hizbullah asal Libanon sudah lama ikut berperang melawan IS bersama pasukan Presiden Bashar al-Assad.

Di antara empat kejadian ini, teror di Beirut nyaris tak terdengar dan teror di Paris justru paling menggemparkan. Penyebabnya, teror di Paris terjadi di salah satu pusat peradaban dunia. Penyebab lain, teror itu berlangsung di tujuh tempat berbeda dalam waktu hampir bersamaan. Lepas dari itu, teror ini mengungkapkan adanya kelemahan serius di tubuh intelijen Prancis.
Bagaimana mungkin pihak intelijen tidak mencium adanya ancaman teror padahal Prancis terlibat langsung dalam perang melawan IS dan ratusan warganya yang berperang bersama rezim zalim itu sudah kembali ke Prancis. Lebih jauh, sehari sebelum teror Paris, pihak intelijen Irak telah memberi tahu Prancis soal adanya rencana IS menyerang Paris.

Teror Paris dan teror-teror sebelumnya merupakan pesan IS bahwa ia dapat menjangkau dan menghukum negara mana pun yang memusuhinya. IS memang menggunakan taktik teror yang sangat mengerikan untuk menurunkan nyali lawan-lawannya. Apalagi, koalisi anti-IS, termasuk Prancis, terkesan tidak tegas dalam memerangi IS. Melalui kapal induk Charles de Gaulle di Teluk Persia, Prancis melakukan serangan terbatas terhadap sasaran-sasaran IS di Irak dan Suriah.

Sementara negara-negara Arab anggota koalisi tidak lagi bersemangat menyerang IS dan lebih sibuk dengan perang di Yaman yang langsung terkait dengan kepentingannya mengonter Iran. Kendati telah menyatakan perang terhadap IS, kenyataannya Turki lebih sibuk memerangi milisi Kurdi, seperti Partai Pekerja Kurdistan (PKK) ketimbang IS. Hanya serangan udara AS yang paling konsisten menyerang IS, tetapi ia tidak didukung pasukan darat–yang merupakan inti angkatan perang yang memadai.

AS hanya mengandalkan milisi Kurdi di Irak (Peshmerga), milisi Syiah, dan pasukan pemerintah Irak. Di Suriah, AS mengandalkan milisi Kurdi Suriah (YPG) yang hanya fokus pada pembebasan wilayah Kurdi di timur laut Suriah. Upaya AS merekrut dan melatih warga Suriah keturunan Turki gagal total. Akibat konsistensi sikap Presiden AS Barack Obama untuk tidak mengirim angkatan darat dalam jumlah besar ke Timur Tengah perlu dipertanyakan, mengingat tanpa pasukan darat yang terlatih baik serta persenjataan canggih, sulit mengalahkan IS. Toh, milisi revolusioner semacam IS selalu lebih superior dari tentara konvensional.

Pasukan rezim Suriah tidak dapat diandalkan. Selain harus menghadapi ratusan kelompok oposisi, Presiden Bashar al-Assad nampak tidak tertarik untuk memerangi IS pada saat ini, untuk dijadikan kartu tawar-menawar dengan pihak Barat terkait dengan kelangsungan hidup rezimnya. Rusia juga bersikap sama, yakni lebih sibuk memerangi kelompok oposisi ketimbang IS. Rusia ingin menyelesaikan krisis Suriah melalui perundingan antara rezim al-Assad dan oposisi tempat rezim al-Assad dalam posisi kuat.

Untuk itu, posisi militer oposisi harus dilemahkan dulu untuk memaksa mereka maju ke meja perundingan dalam kedudukan lemah vis a vis rezim al-Assad. Menyelamatkan Bashar al-Assad adalah tujuan utamanya berperang di Suriah demi terjaganya pangkalan angkatan laut Rusia di Tartus, satu-satunya pangkalan angkatan laut Rusia di Laut Tengah dan Timur Tengah. Dengan demikian, Rusia hanya menjadikan IS sebagai justifikasi bagi keterlibatan militernya di Suriah. IS ialah sasaran terakhir yang akan dilakukan bersama koalisi anti-IS pimpinan AS.

Sikap setengah hati dari koalisi dan Rusia inilah yang membuat IS di atas angin untuk melakukan teror kepada siapa pun yang dikehendaki. Maka, saatnya dunia internasional bersatu padu dengan tekad yang lebih tegas untuk menghancurkan IS. Makin lama IS bertahan, makin membuat pendukungnya meyakini bahwa IS ialah negara yang diberkati Tuhan. Hal ini akan memarakkan terorisme IS di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Di media sosial, kita bisa menyaksikan bagaimana simpatisan IS bergembira menyaksikan keberhasilan IS meneror Paris. Dalam pertemuan G-20 di Ankara, Turki, 15 November lalu, Presiden Prancis Francois Hollande meminta komunitas internasional meningkatkan koordinasi dalam memerangi IS. Permintaan ini jelas menunjukkan kurangnya kerja sama erat di antara kekuatan besar dunia.

Mestinya peristiwa teror Paris dijadikan momentum kebersamaan dalam memerangi IS, sebagaimana AS dan NATO bersikap keras serta cepat dalam memerangi Taliban yang melindungi Al-Qaedah dalam tragedi 11 September 2001. Menunda lebih lama dalam melumat IS, hanya akan memperbesar korban teror IS di waktu mendatang. Hari ini ibu kota Prancis, besok bisa jadi negara Eropa lain atau malah AS sendiri. Karena itu, Obama harus bersedia menurunkan pasukan darat AS agar IS bisa lekas dimusnahkan dari muka bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar