Jumat, 27 November 2015

Harapan Rupiah Stabil

Harapan Rupiah Stabil

Anton Hendranata  ;  Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia, Tbk
                                                     KOMPAS, 26 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bermimpikah melihat rupiah sebagai mata uang yang stabil dan dicintai di negara ini? Melihat volatilitas rupiah, yang muncul adalah pesimisme.

Tanda-tanda turunnya fluktuasi rupiah cenderung tidak terlihat, bahkan makin meningkat, apalagi gejolak eksternal/global makin tidak menentu sejak krisis ekonomi global 2008. Permintaan dan penawaran valas domestik sering mismatch karena kurang mencukupi permintaan.

Statistik koefisien variasi jelas menunjukkan bahwa rupiah justru makin bergejolak. Periode 2000-2005, fluktuasi rupiah 9,2 persen, sedikit menurun menjadi 8,0 persen pada 2006-2010. Namun, periode 2011-2015, fluktuasi rupiah meningkat hampir dua kali lipat menjadi 15,9 persen.

Dibandingkan dengan mata uang kawasan regional, fluktuasi ringgit Malaysia, peso Filipina, baht Thailand, dan rupee India jauh lebih rendah. Pada 2011- 2015, fluktuasi ringgit, peso, baht, dan rupee berturut-turut 9,3 persen, 3,3 persen, 4,7 persen, dan 11,6 persen.

Dengan fluktuasi tertinggi, ternyata rupiah juga mengalami depresiasi/pelemahan terbesar, rata-rata 8,2 persen 2011-2015. Sementara pelemahan rupee 7,0 persen, diikuti ringgit 3,8 persen, baht 1,4 persen, dan pelemahan terendah pada peso 0,1 persen.

Melihat rentannya rupiah, tak heran kalau tingkat kepercayaan terhadap rupiah relatif rendah dibandingkan mata uang lain di Asia. Rupiah menjadi mata uang yang sulit diprediksi. Rupiah bisa melemah signifikan, di lain waktu menguat tiba-tiba.

Pergerakan rupiah cukup sering tidak mengikuti fundamental ekonomi Indonesia. Rupiah lebih digerakkan oleh sentimen negatif, terutama oleh faktor eksternal/global, berdampak pada sentimen negatif di domestik.

Peranan rupiah yang seharusnya hanya sebagai alat transaksi di perekonomian menjadi melenceng fungsinya karena disisipi tujuan spekulatif. Karena itu, peranan dan tanggung jawab Bank Indonesia (BI) untuk menstabilkan rupiah menjadi sangat sulit. Apalagi , hanya BI yang berada di pasar untuk menyuplai dollar AS, sedangkan suplai dollar AS dari pelaku pasar (khususnya eksportir) relatif terbatas, cenderung disimpan. Melihat ini, terasa tidak adil jika tanggung jawab rupiah hanya dibebankan kepada BI.

Faktor pemicu

Ada beberapa faktor pemicu kecenderungan rupiah tidak stabil. Pertama, neraca pembayaran Indonesia kurang sehat sejak tahun 2010 karena sangat bergantung pada neraca modal dan finansial (NMF), terutama investasi portofolio (saham dan surat utang), yang biasa disebut dengan ”hot money”. Sementara neraca transaksi berjalan (NTB) sumbangannya relatif kecil, padahal neraca ini sangat diperlukan agar rupiah stabil.

NTB adalah cerminan seberapa besar kekuatan perekonomian (produksi) domestik untuk menghasilkan dollar AS, terutama dari perdagangan internasional (ekspor-impor). Sayangnya, porsi NTB hanya seperlima NMF tahun 2010, makin menurun sekitar sepersepuluh tahun 2011.

Bahkan, NTB terus memburuk dengan defisit beruntun, yaitu 24 miliar, 29 miliar, dan 27 miliar dollar AS selama 2012- 2014. Diperkirakan neraca transaksi berjalan masih defisit pada 2015 walau lebih rendah dibandingkan pada 2014.

Kedua, utang luar negeri (ULN) swasta meningkat signifikan karena suku bunga rendah di luar negeri dan tingginya suku bunga domestik, serta terbatasnya sumber dana di perekonomian nasional. Dalam tujuh tahun terakhir, ULN swasta meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 164 miliar dollar AS (Agustus 2015) dari 74 miliar dollar AS (2009). Pesatnya kenaikan terlihat sejak 2012, jauh melebihi ULN pemerintah. Posisi Agustus 2015, komposisi ULN swasta 56 persen dari total ULN. Situasi semakin berat karena sebagian besar total utang Indonesia didominasi mata uang dollar AS (72 persen, Agustus 2015), naik signifikan dibandingkan pada 2009 yang tercatat hanya 58 persen.

Ketiga, aset finansial Indonesia sebagian besar dimiliki investor asing. Sementara investor domestik perannya terbatas dalam pendalaman pasar finansial di Indonesia. Ihwal kepemilikan asing, positifnya adalah investor asing melihat bahwa Indonesia aman untuk berinvestasi. Buruknya adalah ketika ada gejolak yang menimbulkan sentimen negatif, dengan mudah aliran modal asing keluar dari Indonesia. Rupiah pun akan terdepresiasi sangat cepat.

Kita harus waspada, porsi kepemilikan asing terhadap surat utang negara sudah sangat tinggi 37 persen (Oktober 2015) dari 19 persen (2009). Adapun peranan investor domestik di luar bank (asuransi, dana pensiun, sekuritas, dan reksa dana) menurun dari 34 persen (2009) menjadi 29 persen (Oktober 2015).

Terakhir, tidak ada kewajiban devisa hasil ekspor Indonesia disimpan ke perbankan domestik. Kita terjegal oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar yang dibuat sendiri. Dalam undang-undang ini sangat jelas dinyatakan bahwa ”penduduk yang memperoleh dan memiliki devisa tidak wajib menjualnya kepada negara”.

Itu artinya tidak secara otomatis, ketika ekspor Indonesia meningkat signifikan, suplai dollar AS di perekonomian domestik akan bertambah. Sementara negara tetangga, Malaysia dan Thailand, hasil ekspornya wajib dibawa masuk ke perbankan domestik. India lebih ketat lagi, hasil ekspor wajib masuk dan wajib dikonversi ke rupee.

Dengan pemaparan ini, saya kira kita tak perlu pesimistis terhadap rupiah di masa depan. Ketidakstabilan rupiah seharusnya bisa diatasi pemerintah, BI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menuju stabilisasi

Modal awal rupiah menuju stabilisasi sudah diiniasi oleh pemerintah dengan mencabut subsidi bensin pada 1 Januari 2015 dan hanya memberi subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk solar. Keputusan yang berani dan krusial ini membuat pemerintah menghemat Rp 212 triliun. Angka fantastis untuk pembangunan infrastruktur yang jauh lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.

Semoga saja pembangunan infrastruktur berjalan konsisten dan berkesinambungan. Infrastruktur yang baik akan memberikan efek berantai yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional. Distribusi barang dan jasa bisa berjalan mulus dari satu daerah ke daerah lain. Harga akan stabil dan terjangkau masyarakat. Kita tidak perlu lagi mendengar harga impor jeruk dari Tiongkok lebih murah dari harga jeruk Pontianak di Jakarta. Era inflasi rendah dan stabil akan kita nikmati ke depan sehingga suku bunga rendah akan bergerak natural.

Perkembangan industri manufaktur, yang selama ini cukup mengkhawatirkan dan tak mampu memenuhi kebutuhan domestik, saya pikir akan berubah dan berputar mendekati 180 derajat. Industri manufaktur akan mampu menyubstitusi barang impor, bahkan bisa menjadi andalan ekspor yang mendatangkan devisa. Ketergantungan terhadap ekspor komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga global dapat kita eliminasi.

Paket kebijakan berseri (paket 1-5) yang dilakukan pemerintah sangat jelas menunjukkan keseriusan dan kehati-hatian untuk membenahi permasalahan struktural perekonomian Indonesia. Begitu juga dengan BI melalui kebijakan moneternya, yang diharapkan bisa sinkron dan harmonis dengan kebijakan pemerintah dan OJK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar