Jumat, 27 November 2015

Penentuan Masa Depan KPK

Penentuan Masa Depan KPK

Saldi Isra  ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
                                                     KOMPAS, 26 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat akan menjadi penentuan masa depan lembaga anti rasuah ini.

Tidak hanya mengkhawatirkan kemauan memilih kandidat yang tepat untuk periode empat tahun mendatang, kemungkinan pelaksanaan proses uji kelayakan dan kepatutan pun masih menjadi pertanyaan besar.

Penilaian demikian muncul karena sejumlah kekuatan politik di Komisi III memperlihatkan keengganan menerima calon pimpinan (paling tidak sebagian di antara mereka) yang dihasilkan panitia seleksi (pansel). Tidak hanya itu, metode yang digunakan dalam menentukan calon yang diajukan ke Presiden (dan diteruskan ke DPR) juga memicu persoalan bagi sebagian politisi di Senayan.

Mengikuti wacana setelah calon yang dihasilkan pansel diajukan Presiden ke DPR, beberapa spekulasi hadir ke tengah masyarakat. Di antara yang mengemuka, terdapat gejala bahwa Komisi III akan mengembalikan calon pimpinan KPK kepada Presiden. Meski masih terdapat sebagian kekuatan di Komisi III yang menghendaki ujikelayakan dan kepatutan tetap diteruskan, gelombang yang menghendaki mengembalikan calon kepada Presiden jauh lebih kuat.

Selain itu, berdasarkan informasi terbatas kalangan internal DPR, semua cacatan keberatan yang mempersoalkan cara kerja pansel dan calon yang disampaikan ke DPR berujung pada satu titik: ujikelayakan dan kepatutan akan dilakukan setelah revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Bilamana informasi ini benar adanya, sangat mungkin keberatan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon yang dihasilkan pansel pimpinan KPK menjadi strategi lain sebagian kekuatan politik di DPR untuk terus memaksakan revisi UU No 30/ 2002.

Wewenang Presiden

Sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 UU No 30/2002, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Dalam konteks pembentukan KPK, penegasan posisi independen sangat terkait dengan penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang memerlukan metode luar biasa. Sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan UU No 30/2002, status independen tersebut diperlukan agar upaya memberantas korupsi bisa secara optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan.

Secara teoretis, salah satu karakter lembaga negara atau komisi negara dikatakan independen apabila proses pengisian pimpinan atau komisioner lembaga tersebut tidak hanya ditentukan oleh satu lembaga. Dasar pemikirannya sangat sederhana, jikalau diisi oleh satu lembaga, maka sangat mungkin lembaga yang memiliki wewenangmenyeleksi potensial mereduksi status independen tersebut. Selain itu, pemikiran teoretis tidak diisi hanya satu lembaga mempunyai maksud lain, yaitu membangun mekanisme checks and balances di antara lembaga yang memiliki wewenang mengisi pimpinan lembaga negara independen tersebut.

Sekalipun ketika pembentukan UU No 30/2002 tak banyak menyinggung ihwal karakteristik sebuah komisi negara dikatakan independen, UU yang menjadi dasar pembentukan KPK telah membuat desain yang memenuhi standar teoretis ihwal pengisian pimpinan KPK.

Keterpenuhan karakter itu dituangan dengan baik dalam Pasal 30 UU No 30/ 2002, yaitu pengisian pimpinan KPK dilakukan oleh DPR dan Presiden. Tidak hanya menjadi ranah dua lembaga tersebut, pengisian juga memerlukan partisipasi masyarakat.

Meskipun merupakan wewenang DPR dan Presiden, kedua lembaga ini diberikan batasan-batasan tertentu. Presiden, misalnya, merujuk ketentuan Pasal 30 Ayat (2) UU No 30/2002 tak bisa sehendak hati dalam menentukan calon yang akan diajukan ke DPR. Dalam menjalankan wewenang mengusulkan calon, Presiden dibatasi hanya membentuk pansel. Merujuk pengalaman pembentukan pansel selama ini, Presiden tak pernah memiliki kesempatan dalam menentukan calon pimpinan KPK. Selama ini, Presiden hanya mengajukan calon yang dihasilkan pansel. Artinya, dengan model yang diatur UU No 30/2002, wewenang Presiden dalam menyeleksi calon pimpinan KPK diambil alih oleh pansel.

Sebagai pihak yang diberi wewenang untuk mengajukan calon pimpinan KPK ke DPR, dalam batas penalaran yang wajar, Presiden memiliki ruang untuk menolak calon yang dihasilkan pansel. Apalagi, UU No 30/2002 tak membatasi jumlah calon yang harus disampaikan pansel kepada Presiden. Sangat mungkin, agar terhindar dari berbagai tafsir dan kecurigaan, Presiden memberikan otoritas sepenuhnya kepada pansel menentukan calon sama jumlahnya dengan yang akan disampaikan ke DPR. Dengan demikian, wewenang Presiden dalam menentukan calon menjadi hilang dan beralih kepada pansel.

Meski otoritas mengajukan calon berada di tangan Presiden, jangankan menolak, pengalaman selama ini, Presiden tidak pernah keberatan dengan calon yang disampaikan atau dihasilkan pansel. Jangankan menolak, meminta pansel mengajukan lebih banyak dari jumlah calon yang akan diajukan ke DPR tidak pernah dilakukan. Paling tidak pengalaman dan sikap demikian mampu menekan berbagai tafsir dan kecurigaan bahwa Presiden memiliki agenda sendiri dalam pengisian pimpinan KPK.

Wewenang DPR

Hampir sama dengan Presiden, sebagai salah satu pihak yang berada dalam desain checks and balances, DPR pun dibatasi dalam proses pengisian pimpinan KPK. Pembatasan ini diatur di Pasal 30 Ayat (10)UU No 30/2002 yang menyatakan bahwa DPR wajib memilih dan menetapkan lima calon yang dibutuhkan, dalam waktu paling lambat tiga bulan sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden. Artinya, pembatasan yang diberikan UU No 30/2002 sama sekali tidak bisa dilepaskan dari pembatasan terhadap Presiden terutama dengan konsekuensi pembentukan pansel.

Namun, sekalipun sama-sama dibatasi, pembatasan terhadap DPR lebih longgar. Sebagaimana diatur Pasal 30 Ayat (10) UU No 30/2002, DPR masih diberi ruang untuk memilih dan kemudian menyisihkan setengah dari jumlah calon yang diajukan Presiden. Padahal, bila membaca konstruksi Pasal 30 Ayat (2) dan Ayat (7) Presiden bisa saja meminta kepada pansel menyampaikan lebih banyak dari jumlah yang mesti disampaikan kepada DPR. Karena itu, dengan adanya kesempatan menyisihkan setengah dari jumlah pimpinan KPK yang akan diisi, DPR lebih beruntung dibandingkan Presiden.

Sekalipun lebih longgar, DPR dibatasi olehfrasa ”wajib memilih dan menetapkan” calon di antara nama-nama yang diajukan Presiden. Dengan adanya kata ”wajib” tersebut DPR tak memiliki alasan hukum sama sekali untuk menolak memilih calon dari yang diajukan Presiden. Untuk ini, Komisi III perlu menyadari bahwa wewenang memilih pimpinan KPK berbeda dengan wewenang dalam pengisian anggota Komisi Yudisial (KY) atau pengisian hakim agung. Secara hukum, dalam proses pengisian anggota KY dan hakim agung, Komisi III tidak memilih dari beberapa calon, tetapi hanya sebatas memberikan persetujuan terhadap calon. Untuk kedua pengisian tersebut, Komisi III dapat menolak calon yang diajukan pansel atau menolak nama calon hakim agung yang diajukan KY.

Berbeda dengan itu, dalam pengisian pimpinan KPK penolakan menjadi semacam perbuatan sangat terlarang. Bagaimanapun kondisinya, Komisi III harus tetap memilih dari semua calon yang diajukan Presiden. Dalam hal ini, segala catatan terhadap mekanisme penentuan calon yang dilakukan pansel tak bisa dijadikan dalih menolak dan/atau mengembalikan kepada Presiden. Apalagi, mekanisme kerja dari pansel dalam menentukan calon sama sekali tak diatur UU No 30/ 2002.

Dengan tidak adanya pengaturan tersebut, strategi Pansel 2015 memilih calon berdasarkan pengelompokan wewenang KPK sama sekali tidak melanggar UU. Merujuk pengalaman sebelumnya, Pansel 2011 melakukan upaya serupa ketika menentukan calon final yang disampaikan kepada Presiden. Perbedaanya, Pansel 2011 mengajukan nama final pada Presiden dengan membuat peringkat (ranking) calon. Karena itu, Komisi III bisa saja keberatan dengan pola penentuan calon, tetapi dengan menggunakan alasan apa pun, sebagai kelanjutan dari proses yang dilakukan pansel, DPR tak memiliki dasar menolak calon yang diajukan Presiden.

Masa depan KPK

Sejak semula saya sudah memperkirakan bahwa proses seleksi calon pimpinan KPK akan menjadi salah satu tahapan kritis masa depan KPK. Banyak kalangan menilai, jika proses yang segera berlangsung di Komisi III dapat menghasilkan calon pimpinan yang berniat baik dan mampu bekerja sesuai dengan amanat dan misi pembentukan KPK, maka masa depan lembaga anti rasuah ini masih mungkin bisa diharapkan.

Namun, melihat sentimen negatif yang tengah melanda sebagian kekuatan politik di DPR, sangat mungkin proses pengisian yang tengah menuju tahap akhir akan menjadi skenario untuk kian mengerdilkan KPK. Dalam posisi demikian, informasi yang beredar bahwa keberatan untuk melanjutkan uji kelayakan dan kepatutan sebelum revisi UU No 30/2002 adalah wujud nyata penolakan terhadap keberlanjutan KPK. Dilihat dari sisi apa pun, mengaitkan revisi UU No 30/2002 dengan uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK hanya alasan dicari-cari.

Melihat logika mayoritas kekuatan politik di DPR, mestinya, secara internal mereka berbeda pandangan dengan arus besar yang berkeinginan mengembalikan calon kepada Presiden harus berani secara terbuka menunjukkan sikap penolakan secara terbuka atas segala macam upaya yang bisa bermuara pada gagalnya dilaksanakan uji kelayakan dan kepatutan untuk memilih pimpinan KPK dari calon yang dihasilkan Pansel 2015. Terkait hal ini, Presiden Joko Widodo tidak boleh menyerah terhadap kemungkinan pengembalian calon. Menyerah sama saja dengan membiarkan KPK kian jauh terperosok ke dalam liang kematian.

Terlepas dari itu semua, jikalau hendak memilih langkah strategis, di tengah krisis kepercayaan luar biasa yang melanda DPR, melanjutkan proses uji kelayakan dan kepatutan dapat menjadi momentum memulihkan citra DPR karena perilaku menyimpang sebagian politisi Senayan. Saya percaya, apresiasi masyarakat akan kian positif bilamana Komisi III memilih calon yang mampu menyandang amanah awal pembentukan KPK. Tanpa kedua hal itu, periode yang sangat menentukan ini akan berujung tragis bagi masa depan KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar