Senin, 23 November 2015

Infrastruktur Vs Pendidikan

Infrastruktur Vs Pendidikan

Budi Santosa  ;  Guru Besar dan Ketua Jurusan Teknik Industri ITS
                                                     KOMPAS, 23 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rencana pemerintah mengalihkan dana pendidikan untuk pembangunan infrastruktur pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016 menuai banyak kritik. Kritik terutama mempertanyakan komitmen pemerintah membangun sektor pendidikan dan sumber daya manusia sebagai salah satu program Nawacita. Jika terjadi, hal itu adalah kemunduran pembangunan pendidikan.

Benarkah pengurangan anggaran harus dimaknai sebagai mengendurnya komitmen? Adakah jalan keluar tanpa mengorbankan salah satu sektor?

Seperti diketahui, pemerintah tahun depan berencana mengalihkan Rp 5,6 triliununtuk pembangunan infrastruktur yang diambil dari dana pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Imbasnya adalah pengurangan alokasi beasiswa peningkatan prestasi akademik (PPA), beasiswa Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar (SM3T), biaya operasional untuk perguruan tinggi negeri (BOPTN), beasiswa dosen S-2/S-3, pendirian perguruan tinggi (PT) baru, dan akademi komunitas.

Sebagai pembanding, pada 2015 pemerintah menyediakan beasiswa untuk 20.700 dosen dan tahun 2016 akan turun menjadi 7.500 dosen. Beasiswa SM3T tahun 2015 untuk 10.400 sarjana, tahun 2016 untuk 7.000 sarjana. Beasiswa PPA, dari 121.000 mahasiswa (2015) turun menjadi 50.000 mahasiswa (2016). Angka ini dikutip dari pernyataan Komisi X DPR.

Setahun pemerintahan Joko Widodo yang terlihat menonjol memang pembangunan infrastruktur. Tentu saja apa yang dilakukan pemerintah saat ini patut diapresiasi. Setelah sekian puluh tahun sektor infrastruktur dilupakan, kini kelihatan geliatnya. Pembangunan proyek yang terhenti diteruskan, seperti Waduk Jati Gede. Adapun pembangunan proyek baru sudah dan akan dimulai. Bendungan, waduk, jalan raya, jalan tol, dan rel kereta api (KA) mulai dibangun dengan jangkauan luas dari Sumatera hingga Papua. Hal ini diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi di wilayah yang selama ini belum tersentuh itu.

Bermacam-macam infrastruktur itu punya tingkat urgensi yang tidak sama. Ketika dana berlimpah, mungkin semua bisa dijalankan secara paralel. Namun, dalam kondisi terbatas, barangkali infrastruktur yang paling besar tingkat urgensinya didahulukan. Selanjutnya, ketika dana membaik, pembangunan infrastruktur bisa dijalankan secara paralel. Kini kita menghadapi dana yang terbatas itu. Yang menjadi masalah adalah haruskah pembangunan infrastruktur mengorbankan sektor lain, terutama pendidikan tinggi?

Prioritas

Infrastruktur dan pendidikan sama pentingnya dalam mendukung pembangunan bangsa. Keduanya bersifat investasi jangka menengah dan panjang. Infrastruktur bisa dilihat sebagai investasi jangka menengah. Impaknya baru kelihatan minimal dua tahun ke depan. Adapun pendidikan butuh waktu lebih lama untuk menikmati hasilnya. Mana yang harus lebih diutamakan?

Kita sedang mengatasi ketertinggalan dengan negara tetangga dalam capaian pendidikan. Kabar penurunan anggaran pendidikan tentu bukan hal menyenangkan. Selama ini banyak hal dinikmati masyarakat dari tersedianya dana pendidikan yang tinggi. Dengan adanya rebutan alokasi dana, kita perlu mengevaluasi apakah penggunaan dana selama ini memang mencapai tujuan. Perlu dipilah dana yang sangat dibutuhkan dan dana yang masih bisa ditunda.

Dana pendidikan yang beberapa tahun ini ada di pemerintahan sebelumnya seperti BOPTN serta dana sarana dan prasarana (sarpras) sangat dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan pendidikan. Bagi PTN, dana BOPTN adalah darah segar untuk menggerakkan kegiatan nonreguler di luar investasi. Kegiatan nonreguler, seperti mendatangkan pembicara tamu dari luar negeri, membantu percepatan publikasi terindeks Scopus, peningkatan bahasa Inggris dosen dan mahasiswa, serta peningkatan penelitian, adalah contoh kegiatan yang bisa dibiayai dengan dana BOPTN. Dana ini terbukti mampu membangkitkan banyak kegiatan. Tanpa BOPTN, PTN lebih menjalankan rutinitas akademik tanpa capaian luar biasa.

Di samping itu, ada dana sarpras yang melengkapi BOPTN untuk pembangunan fasilitas atau investasi. Dana sarpras untuk pendidikanyang pada tahun-tahun sebelumnya selalu tersedia kini terancam. Dana sarpras mampu mempercepat pembangunan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak tersentuh dana penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Proyek-proyek seperti pembangunan laboratorium, gedung kuliah, dan peralatan laboratorium bisa menjadi lebih cepat berkat dana sarpras. Kampus PTN sangat terbantu dengan sarpras. Tanpa itu, PTN bisa disalip PTS-PTS besar yang begitu agresif mengembangkan sarana dan prasarana.

Dalam hal beasiswa, dana ini jelas dibutuhkan untuk meningkatkan jumlah manusia terdidik. Selama ini, Dikti memberikan beasiswa pascasarjana fast track dan juga fresh graduate. Beasiswa fast track adalah untuk mereka yang ingin lanjut dari S-1 ke S-2 dengan menyambung perkuliahan untuk menghemat kredit mata kuliah. Beasiswa fresh graduate untuk lulusan S-1 baru berkualitas yang langsung melanjutkan program S-2. Kedua beasiswa ituterbukti mampu menaikkan jumlah publikasi secara signifikan.

Pemerintah tidak memberikan banyak dana, hanya beasiswa untuk SPP. Biaya hidup tetap ditanggung peserta. Beasiswa jenis ini perlu dipertahankan. Beasiswa lain jelas perlu dipertahankan, tetapi perlu evaluasi. Apakah dana yang tersedia terserap penuh atau kurang dari target? Apakah penikmat beasiswa memang pantas menerima? Apakah penerima beasiswa menunjukkan masa studi tepat waktu dan nilai bagus? Hal-hal ini tentu bisa dievaluasi. Begitu juga dengan dana penelitian dan pembangunan.

Di sektor infrastruktur, barangkali rencana pembangunan di daerah tertentu perlu ditinjau ulang. Ini terutama dari sisi kemanfaatannya. Perlu dipikirkan utilitas sarana tersebut setelah selesai. Kasus KA Kualanamu-Medan bisa menjadi contoh. KA yang bersih dan bagus itu kalau kita amati barangkali utilitasnya kurang dari 30 persen. Banyak gerbong kosong. KA yang melayani rute Medan-Kualanamu ini didesain sangat nyaman dan tentu cepat dari sisi waktu tempuh.

Pembangunan rel KA Medan-Kualanamu menelan dana hampir Rp 4 triliun. Harga tiket Rp 100.000, ditambah perlunya moda penyambung dari stasiun ke tempat tujuan, dan budaya masyarakat yang tidak terbiasa naik KA menyebabkan KA sepi penumpang. Infrastruktur ini bisa jadi merupakan kebanggaan masyarakat. Namun, kemanfaatannya masih belum optimal.

Belajar dari sini, pembangunan infrastruktur harus dipilah mana yang urgen dan mana yang masih bisa ditunda. Perlu dibedakan antara proyek kebanggaan (pride) dan proyek kemanfaatan (utility).

Barangkali, dari rencana besar pembangunan infrastruktur, ada beberapa yang condong masuk kategori kebanggaan daripada manfaat. Rencana kereta cepat Jakarta-Bandung adalah contoh lain.

Alternatif

Kondisi dana terbatas dan saling diperebutkan merupakan saat bagus untuk mengevaluasi program. Evaluasi program beasiswa PPA dan SM3T perluuntuk melihat efektivitasnya. Sudahkah sampai tujuan?

Perlu diperiksa pula, adakah program dari departemen lain yang overlapping. Sebab, dalam hal beasiswa ada beasiswa LPDP dengan dana berlimpah. Pengalaman sebagai pewawancara beasiswa LPDP, tidak semua kuota bisa dipenuhi. Bahkan, dana non-APBN Rp 16 triliun yang dikelola LPDP masih utuh. Dosen dan mahasiswa yang ingin melanjutkan studi bisa melamar beasiswa LPDP. Jadi, sebenarnya dalam hal beasiswa pascasarjana, masyarakat tidak perlu khawatir.

Mungkin LPDP perlu memperluas jangkauan penggunaan dananya. Untuk beasiswa fresh graduate dan fast track yang sudah tidak diberikan Dikti, bisa diisi LPDP karena jelas impaknya. Di beberapa PTN, jumlah publikasi menurun ketika tidak ada lagi program beasiswa fast track dan fresh graduate. Dalam hal penelitian pun LPDP menyediakan beberapa skema penelitian. LPDP juga memberikan bantuan dana untuk tesis dan disertasi serta dana publikasi yang besar bagi peneliti.

Kita selalu miskin dalam hal koordinasi. Selama ini, setiap departemen selalu punya visi-misi tersendiri. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja banyak program tumpang tindih atau bahkan berlawanan. Pada masa pemerintahan Jokowi, tidak ada lagi visi-misi departemen, yang ada adalah visi-misi presiden. Tiap departemen harus mendukung visi-misi presiden. Dengan begitu, mestinya akan ada sinergi, saling mendukung, dan saling mengisi kekosongan.

Ada banyak hal yang tetap dibutuhkan dalam pengembangan pendidikan dalam waktu dekat. Ada hal-hal yang perlu dievaluasi. Harus dipisahkan mana yang harus segera dan mana yang bisa ditunda dan mana yang bisa didanai dengan dana di luar APBN. Jadi, masalahnya mungkin bukan karena dana terbatas, melainkan kekurangan dalam hal koordinasi dan ketidaktepatan meletakkan prioritas.

Saatnya ada koordinasi antarunit dan antardepartemen untuk melihat gambar besar rencana pembangunan terutama infrastruktur dan pendidikan. Masih banyak alokasi dana lain, seperti dana desa atau dana ritual demokrasi, yang bisa dihemat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar