Politisasi Trias Politica
Masduri ; Koordinator Pol-Tracking Indonesia Jawa
Timur; Akademisi Teologi dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 06 November 2015
POLITIK sebagai instrumen pembangunan negara dijalankan dalam rangka
mencapai kemaslahatan bersama. Ada cita-cita yang mendasari kehadiran negara
sehingga secara praksis kehidupan bernegara tidak boleh dijalankan secara
tidak senonoh. Alias dengan mengebiri nilai-nilai kemanusian yang dibangun di
dalamnya.
Dalam kajian
filsafat politik, Al Farabi menyebutkan, kehendak dasar bernegara adalah
keinginan diri mencapai kebaikan hidup, yang hal tersebut tidak dapat dicapai
dengan seorang diri. Jadilah secara alami manusia membentuk komunitas, yang
dalam dunia modern dianggap sebagai negara, sebagai instrumen mencapai
kehidupan bersama. Tujuan akhirnya mencapai kebaikan hidup secara fisik dan
psikis.
Dalam
perkembangannya, ada banyak model negara yang berkembang di dunia, seperti
Indonesia yang menganut sistem republik. Sistem yang dibangun negara itu
memberikan partisipasi yang besar kepada seluruh rakyat Indonesia menjadi
bagian dari penggerak arah pembangunan bangsa.
Dalam
pergumulan politik dan pencarian format yang ideal, sejak awal negara ini
mengamini model pembagian pemerintahan yang pertama digagas John Locke.
Yaitu, membagi kekuasaan negara menjadi tiga unsur: legislatif, eksekutif,
dan federatif.
Pembagian
itu dalam rangka memberikan batasan kekuasaan negara sehingga masing-masing
cabang dapat melakukan koreksi. Itu demi terwujudnya visi besar kehadiran
sebuah negara. Padangan filsafat politik Locke itu kemudian dikembangkan
Montesquieu menjadi trias politica.
Dalam buku
L’Esprit des Lois (The Spirit of the Laws), Montesquieu mengembangkan
pemikiran Locke dengan perubahan menjadi legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Urgensi dari konsep trias politica adalah menghadirkan check and
balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Sebab, seperti bahasa Locke,
kekuasaan yang mutlak cenderung destruktif.
Bias
Trias Politica
Hanya, sejak
amandemen UUD 1945, banyak sekali kekuasaan presiden yang dulu memiliki power
besar kini semakin berkurang. Sehingga, pergeseran power beralih ke parlemen.
Akibatnya,
dalam realitas yang berkembang, banyak kerancuankerancuan yang
hadir. Jadilah
secara praksis membingungkan: apakah sistem yang kita bangun presidensial
atau parlementer?
Gejolak yang
dilakukan DPR sering membuat gaduh republik ini. Sebab, banyak perlawanan
terhadap eksekutif sebagai pelaksanaan yang dipimpin presiden.
Contoh teranyar, sebelum RAPBN 2016 disahkan, sidangnya berlangsung alot dengan dalih masing-masing kubu meski akhirnya tetap disahkan. Kalau kita mencermati perseteruan antara kubu pemerintah dan non pemerintah di parlemen, kita bisa melihat betapa politik dijalankan semata demi mengedepankan keuntungan kelompoknya dan mengabaikan kebutuhan masyarakat secara riil.
Dalam banyak
kesempatan dan persidangan, bangunan persepsi dan kebijakan politik yang
dimainkan pihak koalisi dan kubu oposisi selalu berseberangan. Karena sejak
awal, meminjam bahasa Pramoedya Ananta Toer, sejak dalam pikiran, mereka
sudah tidak adil.
Sehingga,
ketika dihadapkan pada kebijakan yang menyangkut kepentingan rakyat, sulit
dicapai kata sepakat. Masing-masing dengan rasionalisasinya, membentur dan
melawan pandangan lawan, yang sebenarnya kadang hanya alasan apologis untuk
meruntuhkan lawan masing-masing.
Oligarki
politik telah menyeruak menjadi napas busuk keseharian para elite politik.
Mereka, meminjam bahasa Hassan Hanafi, berwajah ganda, baik di depan rakyat,
tetapi busuk dari belakang.
Bias seperti
itu sebenarnya tak dikehendaki oleh founding trias politica. Locke dalam Two
Treatises of Civil Government menggarisbawahi bahwa pembagian kekuasaan
dimaksudkan untuk menghindarkan bias penyalahgunaan wewenang.
Maka, ketika
dalam konteks Indonesia, legislatif banyak menyalahgunakan wewenang ataupun
sebaliknya eksekutif yang sok arogan, ada kesalahpamahan mengenai konsep
trias politica.
Atau lebih
tepatnya kesengajaan menyalahpahami pandangan trias politica. Sehingga, yang
hadir dalam masyarakat bukan tegaknya mimpi Locke tentang negara
persemakmuran (commonwealth). Yaitu, negara yang damai sentosa dan mampu
menyejahterakan rakyatnya, seperti juga mimpi founding fathers republik ini.
Politisasi
trias politica menciptakan kegaduhan dan tirani dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pandangan yang tak sama mengenai kebijakan pemerintah merupakan
hal wajar. Tapi, perselisihan yang tak elok, apalagi berdampak buruk pada kepentingan
rakyat, tentu tak sedap hadir dalam perseteruan politik di negeri ini.
Karena
itulah, meski konsep trias politica impor pemikiran dari John Locke dan
dikembangkan Montesquieu, tidak berarti nilai yang dikembangkan dalam
pengelolaan negara harus liberal seperti di Barat.
Sebagai
bangsa yang menyejarah, kita memiliki Pancasila sebagai sumber nilai dan
pandangan dunia yang akan membawa kejayaan bangsa kita di masa depan. Itu
jika kita berkomitmen untuk mengeja dan menerjemahkannya secara praksis dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar