Jumat, 27 November 2015

Papa Minta Apa (Lagi)?

Papa Minta Apa (Lagi)?

Boni Hargens  ;  Direktur Lembaga Pemilih Indonesia
                                           MEDIA INDONESIA, 26 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SELASA, 6 Januari 2015 ialah titik balik penting dalam hidup Benyamin Purnama, 33. Tak tanggung-tanggung, pria yang sehari-hari bekerja sebagai sopir pribadi dan masih terdaftar sebagai mahasiswa STKIP Pancasakti Depok itu diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kapasitasnya sebagai komisaris PT Pilar Girih Sasanti yang berlokasi di Tangerang, Banten. Dengan wajah lusuh, dalam rasa takut yang sukar disembunyikan, Benyamin mendatangi kantor KPK untuk pemeriksaan selama 6 jam. KPK tentu tidak menemukan sedikit apa pun bukti keterlibatan Benyamin dalam proyek pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten karena memang ia tidak punya urusan apa pun dengan hal semacam itu.

Dikabarkan, Benyamin dan sejumlah rekan lain pernah dimintai fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) oleh seorang rekan yang bekerja untuk keluarga Ratu Atut, mantan Gubernur Banten. Dengan iming-iming pekerjaan yang bagus, Beni dan kawan-kawan tidak mencurigai motif pengumpulan KTP itu.

Setelah lama tak ada kabar tentang pekerjaan yang dijanjikan, tiba-tiba Benyamin mendapat surat pemanggilan dari KPK untuk pemeriksaan atas tuduhan keterlibatan dalam proyek fiktif pengadaan alat kesehatan yang menjerat adik Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. KPK akhirnya membebaskan Beni tanpa syarat.

Peristiwa itu mengingatkan kita pada rekaman pembicaraan yang dikuak Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said yang melibatkan terduga Ma’roef Syamsudin dari PT Freeport Indonesia, Ketua DPR Setya Novanto, dan pengusaha minyak Riza Chalid. Pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, terkait jatah saham (11% untuk Presiden dan 9% untuk Wapres), muncul dalam rekaman itu meski belakangan Novanto membantahnya.

Meskipun Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) belum selesai menyidangkan dugaan keterlibatan Setya Novanto, pimpinan Koalisi Merah Putih (KMP) sudah dengan lantang mematok garis defensi. Fadli Zon menyatakan siap membela Novanto habis-habisan. Alasannya tidak ada kalimat langsung ‘papa minta saham’ dalam rekaman yang dimaksud Sudirman Said.

Secara harfiah, Fadli benar. Namun, secara substantif, argumentasi Fadli kehilangan naluri moral. Fadli seperti tidak mengerti bahwa ‘papa minta saham’ ialah jenaka yang mempertegas substansi pelanggaran pidana yang dilakukan Novanto. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR, tidak ada justifikasi legal, apalagi moral, bagi Novanto untuk bernegosiasi dengan tujuan apa pun karena perpanjangan kontrak Freeport ialah kewenangan pemerintah, bukan legislatif.

Selain itu, angka 11% dan 9% sudah secara gamblang terungkap dalam rekaman itu. Bagaimana mungkin Fadli membantah asap yang sudah mengepul? Dalam bukunya berjudul The responsible administrator: An approach to ethics for the administrative role, Cooper (2012) menjelaskan dengan bagus pejabat publik yang bertanggung jawab secara etis. Baginya, pejabat publik yang bertanggung jawab ialah dia yang (1) memperlihatkan tanggung jawab objektif atas sikap dan tindakannya sebagai pejabat publik dan (2) memperlihatkan kongruensi subjektif dari sikap dan tindakannya dengan nilai-nilai yang lahir dari dan melekat pada jabatannya (Cooper, 2012:1-8).

Sikap dan tindakan seorang pejabat publik terikat dengan kode etik dan aturan legal tertentu sehingga setiap tindakan harus (diminta untuk) dipertanggungjawabkan. Inilah dasarnya kenapa publik dulu mempersoalkan Novanto, Fadli, dkk bertemu kandidat Presiden AS, Donald Trump.

Ini juga alasan kenapa, kalau benar, publik menuntut klarifikasi soal surat Novanto ke PT Pertamina tentang pembayaran biaya penyimpanan bahan bakar minyak pada PT Orbit Terminal Merak. Begitu juga dengan ketersangkutannya dalam kasus Bank Bali, kasus PON Riau, dan proyek e-KTP.

Meskipun persidangan di MKD belum tuntas, kini Novanto melakukan serangan balik. Melalui pengacaranya, Rudi Alfonso, Novanto berencana melaporkan Sudirman Said ke kepolisian karena dinilai telah merusak nama baiknya. Alfonso mencatat tiga pelanggaran Menteri ESDM Sudirman Said. Pertama, perekaman percakapan secara tersembunyi. Kedua, distribusi rekaman merusak nama baik. 

Ketiga, tuduhan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Novanto.
Kita belum tahu bagaimana kelanjutan drama ini ke depan. Yang jelas rencana gugatan Novanto ialah pembenaran tidak langsung terhadap percakapan yang berisikan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden karena yang dipersoalkan ialah perekaman dan distribusi hasil rekaman, bukan soal apakah isi rekaman itu benar atau tidak. Dengan kata lain, tidak perlu ada pengujian laboratorium soal rekaman itu karena pihak tertuduh telah mengakui sekaligus adanya pertemuan dan materi pertemuan.

Bagi kita, terkuaknya rekaman itu bukan hanya soal membuka topeng seseorang, melainkan soal kotak pandora abuse of power, penyalahgunaan wewenang yang sudah lumrah terjadi. Karena itu, ada tiga pelajaran penting di sini. Pertama, rekaman itu memperlihatkan modus operandi, cara kerja, dari abuse of power yang berorientasi pada pengejaran kepentingan parsial.

Substansi rekaman itu tidak saja menyangkut kode etik pejabat publik, tetapi juga sudah memuat unsur pidana. Ada tendensi memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri dan kelompok. Karena itu, Sudirman Said tak cukup sekadar melapor ke majelis etik (MKD), tetapi semestinya melimpahkan kasus ini ke institusi penegak hukum.

Kedua, arus serangan balik yang diduga Fadli Zon merupakan upaya mereduksi pelanggaran hukum yang terjadi. Fadli mengolah isu hukum menjadi isu politik. Sudirman Said telah membantu Fadli cs, dalam hal ini dengan hanya melapor ke MKD, padahal substansi pelanggaran itu ialah perkara hukum yang melibatkan kepolisian. Kalau sudah menjadi isu politik, ujungnya sudah jelas bahwa tidak akan ada kejelasan apa pun.

Ketiga, pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden bukan sekadar masalah pribadi. Karena itu, kemarahan Wapres Jusuf Kalla, termasuk Presiden Jokowi, selayaknya bukan kemarahan personal, melainkan kemarahan sebagai pimpinan tertinggi negara dan pemerintahan. Kewibawaan institusi politik dan hukum ialah taruhannya.

Konsekuensinya ialah penyelesaian kasus ini harus tuntas. Tidak boleh ada excuse atau permintaan maaf dalam bentuk apa pun. Penghalusan konsekuensi pun tidak boleh terjadi sebab sublimasi dalam kasus seperti ini berpotensi menjustifikasi praktik serupa. Padahal, kita tidak tahu, ‘papa akan minta apa lagi’ nantinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar