Minggu, 22 November 2015

Tentang "Papa Minta Saham"

Tentang "Papa Minta Saham"

Budiarto Shambazy  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 21 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tak ada gunanya cemas menyaksikan kegaduhan yang diakibatkan peristiwa "papa minta saham" hari-hari ini. Pemerintah boleh saja gaduh, tetapi tak perlu merasa telah terjerumus ke dalam kondisi krisis.

Tetapi, kita tetap saja mengernyitkan dahi. Seperti telah terungkap, peristiwa "papa minta saham" ini mengaitkan hubungan yang penuh tanda tanya antara Presiden; Wakil Presiden; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Otomatis ada penilaian Kabinet Kerja (termasuk Presiden dan Wapres) kurang solid dan mungkin di ambang perombakan. Itu masih tidak apa-apa karena kegaduhan belakangan ini, toh, belum berdampak negatif terhadap kondisi politik dan ekonomi yang stabil.

Betapapun, tidak elok jika mereka berperilaku ganjil di depan umum. Apalagi, dalam sebuah demokrasi, publik adalah pemangku kepentingan yang berhak untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi?

Informasi transparan tentang peristiwa "papa minta saham" sebaiknya diungkap ke publik tanpa ditunda. Perilaku erratic (sukar ditebak) dalam proses pengambilan keputusan sudah agak sering terjadi selama sekitar setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-Kalla).

Sebelum ini, misalnya, muncul kehebohan akibat jurus "Rajawali Ngepret" yang diperankan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya. Bukan rahasia umum, "kepretan" Menko Bidang Maritim dan Sumber Daya itu secara sengaja ditujukan untuk mencederai menteri/pejabat tinggi lainnya.

Mungkin saja publik masih mafhum dengan perilaku erratic tersebut. Pasalnya, mayoritas publik ternyata masih cukup puas dengan kepemimpinan Jokowi-Kalla, seperti yang dibuktikan oleh berbagai survei.

Kita mafhum Kabinet Kerja merupakan hasil kompromi yang kurang sempurna karena sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi tokoh-tokoh/partai-partai yang tergabung di dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Tidak mustahil kompromi politik yang harmonis tidak akan pernah tercapai sampai selesainya pemerintahan ini tahun 2019.

Sekali lagi, suka atau tidak, publik menginginkan Presiden, sebagai pejabat tertinggi pemerintahan, mengungkapkan kebenaran akhir peristiwa "papa minta saham" ini. Presiden tak perlu khawatir karena publik tampaknya masih yakin Presiden out of the loop (tidak terlibat) meminta saham Freeport.

Dan, apa pun alasannya, tidak etis bagi siapa pun mencatut nama Presiden atau Wapres. Terlebih lagi jika pencatutan nama itu berhubungan dengan kepentingan korporasi asing yang telah berpuluh-puluh tahun beroperasi dalam dunia bisnis-politik yang kerap kurang transparan di negeri ini.

Kita lega mendengarkan gurauan Presiden yang mengaku mengikuti trending topic tentang "papa minta saham". Ini reaksi manusiawi Presiden yang dikemukakan tanpa tedeng aling-aling.

Kita juga lega Wapres menyatakan tekad akan menempuh jalur hukum. Ada baiknya Presiden mengikuti jejak Wapres melaporkan pencatutan nama ini kepada pihak yang berwajib.

Perhatian Presiden dan Wapres terhadap masalah ini menunjukkan kesungguhan pemerintah yang baru berjalan sekitar setahun ini untuk "bersih-bersih". Ini langkah yang penting untuk membasmi kongkalikong antara para pejabat publik dan korporasi raksasa lokal ataupun internasional.

Toh, sebelum ini sudah ada gebrakan terhadap Petral yang kini dalam proses pembubaran, yang menjadi preseden penting pembasmian kongkalikong. Sudah tiba saatnya kita menjaga dan mengeksplorasi sumber daya alam, khususnya minyak dan tambang, untuk kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Sedikit catatan: kita prihatin dengan apa yang dialami oleh Ketua DPR. Harap dicamkan bahwa ia masih dalam posisi belum terbukti bersalah secara hukum dan masih menunggu proses pemeriksaan etika oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Kita prihatin Ketua DPR, salah seorang wakil pilihan rakyat di cabang kekuasaan legislatif, menjadi bahan gunjingan negatif. Suka atau tidak, itulah berkah dari keterbukaan yang menempatkan media massa/sosial yang telanjur menjadi "bintang demokrasi".

Kita, publik, sedang menjalani perubahan sosial penting, yakni menjalani dengan tekun fungsi kontrol sosial yang kritis terhadap kekuasaan. Kontrol itu hari demi hari semakin terbuka dan, bahkan, sering kurang jinak.

Pasalnya, kita juga "punya saham" dalam kekuasaan ketika memberikan suara untuk eksekutif dan legislatif melalui pemilihan anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). Oleh karena itu, kita berhak "minta saham" kepada mereka agar dengan terang benderang menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dalam peristiwa "papa minta saham" dan agar pejabat publik bersikap ksatria mundur dari jabatan karena jelas melanggar etika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar