Kamis, 26 November 2015

Budaya Malu Politisi

Budaya Malu Politisi

Ikrar Nusa Bhakti  ;  Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
                                           MEDIA INDONESIA, 23 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

L AIN padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya, lain negara lain pula budayanya. Di negara-negara yang menjunjung tinggi etika dan hukum, politikus yang melakukan tindakan tidak terpuji, apakah itu skandal seks atau korupsi, langsung mengundurkan diri. Di Inggris, misalnya, seorang menteri yang ternyata memiliki hubungan di luar nikah dan disorot publik karena adanya pemberitaan di media massa langsung menyatakan mengundurkan diri. Seorang menteri di Jepang mengundurkan diri karena dia lupa melaporkan adanya bantuan dari seorang pendukung pada masa kampanye pemilu yang jumlahnya hanya 50 ribu yen atau sekitar Rp5 juta!

Ketua Parlemen Korea Selatan, Park Hee-Tae, dari Partai berkuasa Grand National Party, memutuskan mengundurkan diri akibat adanya pengakuan dari salah satu anggota parlemen dari partai itu yang mengatakan menerima sogokan pada pemilihan ketua partai pada 2008.

Namun, ada juga seorang PM Jepang, Kakuei Tanaka, yang dipaksa mundur dan diajukan ke pengadilan serta ditahan karena skandal suap pembelian pesawat Lockheed L-1011 pada 1976. Meskipun Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger mencoba menutupi skandal tersebut demi menjaga hubungan baik antara AS dan Jepang, anggota parlemen Jepang Takeo Miki mendesak agar Diet (Parlemen Jepang) mendapatkan maklumat lanjut dari Senat AS.

Meski seseorang menduduki jabatan sangat penting dan berasal dari partai penguasa, kalau diduga dan terbukti bersalah, tiada ampun dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, mundur, dan kemudian mengikuti proses hukum. Jika itu terjadi di Indonesia, ceritanya pasti lain!

Skandal Freeportgate

Skandal pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dilakukan Ketua DPR RI Setya Novanto untuk mendapatkan 20% saham Freeport, yang katanya 11% buat presiden dan 9% buat wakil presiden, serta permintaan 49% saham untuk proyek listrik yang akan dibangun PT Freeport Indonesia di Timika Papua, tidak membuat sang ketua DPR dari Partai Golkar itu mundur.

Setya Novanto tetap tenang seakan tidak melakukan kesalahan apa pun. Hal yang lebih menakjubkan, ia memutarbalikkan informasi seakan apa yang ia lakukan ialah demi negara dan bangsa dan demi rakyat Papua.

Lebih mengejutkan lagi ialah ucapannya yang menyatakan bahwa sebagai kader Partai Golkar yang mendapatkan mandat menjadi ketua DPR RI, itu ialah tugas dia untuk memperjuangkan kepentingan negara, bangsa, dan menjaga muruah Presiden dan Wakil Presiden sebagai lambang negara.

Setya Novanto hanya mengucapkan kata `maaf' kepada publik karena yang dia lakukan telah menimbulkan kegaduhan politik di Indonesia dan tidak menyatakan diri mundur dari jabatannya. Kantor berita Inggris Reuters yang mendapatkan telepon dari seorang senior Partai Golkar, Fahmi Idris, sempat memberitakan bahwa Setya Novanto sudah menyatakan mundur. Namun, beberapa menit kemudian, Reuters memberitakan kembali pernyataan dari salah seorang petinggi Golkar bahwa Novanto belum mundur.

Pro dan kontra politisi

Skandal Freeportgate atau lebih dikenal dengan `papa minta saham' dan meniru penipuan `mama minta pulsa' yang baru saja ditangani polisi itu tidak menyebabkan politisi dari Partai Golkar menyatu untuk mendesak Novanto mundur.

Padahal, yang dilakukan Setya Novanto, jika terbukti benar, akan sangat memalukan Partai Golkar dan menghinakan muruah partai. Lebih menarik lagi, Novanto malah mendapatkan dukungan dari para Wakil Ketua DPR yang lintas partai itu. Kita belum tahu apa hasil dari pertemuan para petinggi partai di Koalisi Merah Putih (KMP) di rumah kediaman Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, pada Jumat, 20 November 2015. Apakah mendesak Novanto mundur ataukah mendesak agar Novanto melawan balik Menteri ESDM Sudirman Said.

Terbetik berita bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melaporkan Menteri ESDM ke Mabes Polri karena menyebarkan surat laporan atas kasus Novanto kepada pers. Ini dianggap melanggar kesepakatan antara Menteri ESDM dan MKD agar persoalan itu tidak sampai ke publik alias ada usaha untuk menutup-nutupi skandal ini.

Kita patut bertanya ada apa dengan DPR dan khususnya anggota MKD. Mengapa meributkan bocornya surat laporan Menteri ESDM dan bukan membahas esensi atau substansi ini dari laporan Menteri ESDM itu. Ada pula  yang mempertanyakan mengapa pembicaraan antara Setya Novanto, Mohammad Reza Chalid dan Dirut PT Freeport Indonesia Ma'roef Sjamsoeddin direkam? Mereka lupa bahwa Ma'roef pernah menjadi Waka BIN yang tentunya memiliki insting intelijen untuk melakukan perekaman jika ada hal-hal yang dapat dikategorikan mengarah pada permufakatan jahat yang membahayakan Presiden, Wakil Presiden, dan negara.

Suatu yang aneh bin ajaib ialah pernyataan dari salah seorang Wakil Ketua MKD dari PDIP Junimart Girsang yang menyatakan bahwa tidak ada aturan di UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) yang )y y g menyatakan bahwa Ketua DPR harus mundur apabila menghadapi suatu kasus yang sedang ditangani MKD. Di mata publik, ini bukan soal ada tidaknya aturan agar seorang Ketua DPR mundur sementara jika menghadapi skandal, melainkan soal etika seorang anggota DPR yang sudah mengucapkan sumpah untuk tidak menggunakan posisi jabatannya untuk menerima apa pun dari siapa pun. Apakah ia tidak memiliki rasa malu atas perbuatannya yang bukan saja mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden, melainkan juga membahayakan negara. Apalagi, upaya mendapatkan saham yang aduhai banyaknya itu dilakukan terhadap sebuah perusahaan tambang yang sedang berusaha keras mendapatkan perpanjangan kontrak karya penambangan di Papua sampai 2041.

Masih ada anggota DPR yang masih menunjukkan rasio nalitas dan menjunjung tinggi etika pejabat. Ruhut Sitompul, misalnya, dengan gayanya yang khas selalu menyatakan bahwa kasus Setya Novanto ini menambah buruk citra DPR di mata rakyat yang berujung pada ketidakpercayaan rakyat. Ruhut sangat paham mengenai sepak terjang Setya Novanto, termasuk berbagai kasus hukum yang pernah menyangkut Novanto yang selalu lolos.

Bagi Ruhut yang dulu juga merupakan kader Golkar sebelum pindah ke Partai Demokrat, Novanto orang yang licin bagai belut. Desmond Mahesa, anggota DPR dari Gerinda, memiliki pandangan yang hampir sama dengan Ruhut, yang memandang Setya Novanto bukan lagi tokoh yang menjadi aset DPR, melainkan seorang yang dapat menghancurkan nama baik lembaga DPR.

Hal yang sama juga diutarakan Taufiqul Hadi dari NasDem. Tidak sedikit pula anggota DPR yang menilai bahwa MKD jangan main-main dengan skandal Freeportgate ini.

Bukan hanya di DPR Setya Novanto memiliki pendukung. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan walau nada pernyataannya seakan netral, itu mengandung konotasi dukungan ketika ia menyatakan bahwa ia tidak marah namanya disebut-sebut dan dicatut Novanto dalam pertemuannya dengan Dirut Freeport, Ma'roef Sjamsoeddin. Luhut juga menyatakan bahwa apa yang mereka bicarakan bukanlah hal yang serius, melainkan hanya obrolan ringan biasa (petty talk).

Kita tahu bahwa negosiasi bisnis bisa saja dilakukan dengan obrolan ringan walau yang dinegosiasikan bisnis yang besar. Namun, yang terjadi saat itu bukanlah petty talk karena dilakukan selama tiga kali! Gaya negosiasi bisa santai penuh tawa dan canda sepert ketika Novanto menyatakan “bikin beliau happy kita juga happy. Kumpul-kumpul main golf, beli pesawat private jet yang representative.“

Namun, mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden bukanlah suatu hal yang biasa, melainkan suatu yang serius yang bukan saja menyangkut muruah dan nama baik presiden/wakil presiden, melainkan bisa menghancurkan bangsa dan negara ini. Bayangkan jika seorang Ketua DPR dianggap biasa mencatut nama Presiden dan atau Wakil Presiden? Bagaimana jika itu juga dilakukan pejabat, politisi, atau orang lain?

Tuntaskan

Publik yang gemas dengan skandal ini terus mendesak agar skandal ini 
dituntaskan bukan saja melalui MKD, melainkan juga pengadilan. Mereka juga membuat tiga petisi agar Novanto mundur.

Publik dan anggota DPR yang rasional dan menjaga etika juga khawatir akan kemungkinan MKD masuk angin karena itu sudah terjadi pada kasus Trumpgate, yaitu kasus Setya Novanto dan Fadli Zon bertemu dengan salah seorang capres dari Partai Republik Donald Trump di AS. Kasus Freeportgate bukan skandal biasa, melainkan amat serius. Penyelesain skandal ini akan menyelamatkan nama negara, Presiden, Wakil Presiden, dan tentunya lembaga DPR. Jika ternyata Setya Novanto lolos di MKD, ini akan menambah daftar betapa ia bagaiikan orang sakti yang selalu lolos dari kasus-kasus yang menjeratnya.

Ini bukan soal apakah politisi kita tidak punya rasa malu, melainkan apakah masih ada persamaan hukum di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar