Kamis, 19 November 2015

Setahun Bersama Neoliberalisme?

Setahun Bersama Neoliberalisme?

Ronny P Sasmita  ;  Analis Ekonomi Politik Internasional Financeroll Indonesia
                                                    REPUBLIKA, 20 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Masih jelas dalam ingatan publik, 20 Okto­ber 2014, Joko­wi-JK me­ngam­­­­bil sumpah jabatan di gedung MPR-DPR sebagai pemegang estafet kekuasaan otoritatif demokratik dari pemerintahan sebe­lum­nya. Ketika itu pula slogan “Kerja, Kerja, dan Kerja” me­ne­mukan popularitas verbal pertamanya, karena hari itu adalah hari pertama dimana pe­doman strategis bagi selu­ruh jajaran ekse­kutif mun­cul dari mulut Jokowi da­lam kapasitasnya sebagai Pre­siden Republik Indone­sia.

Secara ekonomi, slo­gan “ker­ja, kerja, dan kerja” ber­makna “reformasi struk­tu­ral”. Dalam bahasa yang agak sedikit tendensius, isti­lah ini jamak dengan ter­mi­nologi teoritik yang di­per­kenalkan oleh Jhon Wil­liam­son untuk program ker­ja Bank Dunia dan IMF se­kitar tahun 1979 lalu, yak­ni Structural Adjus­ment Pro­grams (SAPs) atau ke­rab dikenal dengan istilah “Wang­­hington Consen­sus”.

Kawasan yang menjadi korban pertamanya adalah kawasan Amerika latin, yang sampai hari ini masih terlihat sesak nafas akibat utang yang menumpuk dan pergeseran struktural yang semula sangat apolitis alias tidak mengenal karakter rezim setempat, sehingga kegagalan demi kegagalan kerab kali menjadi gunjingan-gunjingan negative yang tak berkesudahan.

Bahkan faktanya, resep ekonomi dari John Wil­liam­son ini — yang diadopsi secara gamblang (boleh jadi juga secara gambling) oleh IMF dan Bank Dunia — pernah membuat negara-negara Amerika Latin me­ring­kuk dalam keter­puru­kan. Menurut penelitian Johnson dan Schafer (1997), selama tahun 1965-1995, perekonomian 48 dari 89 negara berkembang yang menerima bantuan IMF akhirnya  justru tidak menjadi lebih maju. Bah­kan, 32 dari 48 negara terse­but justru menjadi lebih miskin. Dan mangsa muta­hir dari program ini tentu saja masih kental dalam ingatan, yakni Yunani yang sukses membukukan utang jauh diatas Gross Domestik Productnya (GDP), bah­kan berhasil membuat zona eropa kebakaran jenggot sejak 2010 lalu.

Tahun 2012, Jonathan Stevenson menulis sebuah essay yang sangat representatif untuk mewakili kon­disi pelik yang dialami oleh Yunani waktu itu terkait dengan kegagalan jenis kebi­jakan ini. Menurutnya, krisis yang me­lan­da Yunani adalah pengu­langan sejarah kega­galan kebijakan penye­suaian struk­tural yang per­nah man­dul, bahkan des­truk­tif, saat di­terap­kan di daratan Ame­rika Latin pada era  1980-1990an. Karena kebijakan-kebijakan terse­but, Yunani pada akhirnya harus mene­lan pil pahit dengan mere­lakan hampir se­mua infrastrukturnya di­kuasai oleh pihak asing (baik institusi keuangan maupun negara-negara adi­kuasa), mulai dari bandara, pela­buhan, rel kere­ta api, jalan tol, sampai ke sistem pengelolaan kotoran/se­wage system (Wolrd De­­ve­l­op­­ment Movement, 2012).

Untuk Indonesia, lang­kah teknis pertama Jokowi-JK dalam kapastitasnya sebagai representator kebi­jakan penyesuaian struk­tural adalah penyesuaian harga jual BBM dalam negeri. Secara ekonomi, mau tak mau kebijakan ini berimbas pada pencabutan berbagai subsidi barang publik lain­nya, sebut saja misalnya pu­puk, tarif angkutan, kenai­kan pajak jalan tol, dan lain-lain. Namun bagai­mana­pun, alasannya cukup masuk akal ketika itu, yakni untuk memperlebar ruang fiskal pe­me­rintah. Sehingga pe­nga­lihan dana subsidi energi pada umumnya dan subsidi BBM pada khususnya bisa digunakan untuk menghu­jani sektor infrastruktur dengan likuiditas yang luma­yan memadai. Pasalnya, sek­tor ini adalah sektor yang dikeluhkan banyak pelaku usaha karena efek ekonomi berbiaya tinggi yang di­akibat­kanya.

Secara politik-fiskal, kebijakan ini tentu ter­verifi­kasi sangat rasional karena diperkirakan dengan keber­limpahan anggaran akibat pengalihan subsidi BBM bisa dipergunakan oleh pe­me­rintah untuk memenuhi janji-janjinya saat kampanye pilpres tempo hari dan me­mang sudah seharusnya demikian. Kemudian un­tuk menutupi imbas sosial eko­nomi yang akan ditang­gung masyarakat, peme­rintah ketika itu juga telah me­nyiap­kan berbagai ma­cam kartu ajaib yang sampai saat ini ternyata belum ter­lalu jelas juntrungannya.

Nah, kebijakan pera­li­han ini disinyalir menjadi sa­lah satu beban pemberat mengapa perlambatan eko­no­mi domestik akhirnya se­makin menjadi-jadi. Kenaikan har­ga BBM meng­gerus daya beli masyarakat lan­ta­ran kenaikan harga-harga ba­han pokok sehingga me­ne­kan angka konsumsi pu­blik, kemudian me­mang­­­­kas pro­yeksi pertum­buhan eko­no­mi dalam nege­ri yang se­mula memang sangat ber­gan­tung pada sisi konsumsi, yak­ni lebih dari 55% berdasarkan angka statistik 2014.

Imbas sosial eko­nomi­nya, biaya hidup masyarakat jadi meningkat namun tak diiringi dengan peningkatan pendapatan. Sementara itu, dari sisi korporasi, biaya produksi ikut mening­kat, namun permintaan justru menipis akibat daya beli yang melemahkan tingkat konsumsi dalam negeri. Celakanya, bergesernya stabilitas ekonomi makro mem­­buat tuntutan kenai­kan pendapatan pekerja juga semakin meninggi dan ten­tunya menjadi berita buruk bagi korporasi.

Selain itu, kebijakan yang rasanya kurang bermo­mentum tepat secara global ini membuat rupiah terus terjerumus ke jalur merah. Semula angka Rp. 13.000 tertembus, kemudian ber­lanjut ke level Rp. 13.500, dan sempa bertahan beberapa bulan. Angka paritas Rupiah terhadap dollar di level ini sudah cukup mere­sahkan pelaku pasar di sek­tor finansial, akibat me­ngen­dornya kepercayaan bisnis terhadap pemerintah yang dianggap kurang cakap dalam merawat kurs mata uang.

Sementara itu, pelaku usaha yang berbasiskan barang modal dan bahan baku impor benar-benar merasa terpukul akibat meng­gilanya biaya produksi disatu sisi dan tergerusnya nilai asset disisi yang lain. Setuju atau tidak, ini adalah salah satu penyebab menga­pa niatan pemerintah untuk menggenjot ekspor dibalik depresiasi Rupiah agak kurang mendapatkan energy riil dari ekonomi domestic ka­rena produksi di dalam negeripun ikut terganggu, selain faktor pelandaian harga komoditas global yang mengakibatkan penge­cilan porsi pendapatan eks­por. Maka akibatnya,  per­lam­batan ekonomi semakin nyata karena disisi yang lain tekanan-tekanan global yang sudah sedari masa akhir pemerintahan SBY justru semakin menggila.

Sampai akhirnya Ru­piah beringsut ke atas men­de­kati level Rp.15.000/USD. Paket ekonomi I-IV pun digelontorkan. Pengua­tan Rupiah mulai terjadi paska paket ekonomi jilid III diumumkan, karena be­be­rapa hari sebelumnya ternyata hasil pertemuan FOMC The Fed menunda rencana kenaikan suku bu­nga pinjaman AS dan harga komoditas global sempat tersundul naik akibat pernyataan petinggi OPEC yang bersedia berdiskusi lebih lanjut dengan para negara anggota dan AS ten­tang rencana pengurangan produksi minyak mentah untuk mengantisipasi penu­ru­nan harga lebih lanjut lantaran keberlimpahan pasokan global.

Namun nampaknya pe­ngua­tan mata uang Garuda belum bersifat permanen, karena kondisi ekonomi makro Amerika yang sema­kin membaik dan perlambatan ekonomi terbesar ke­dua dunia, Tiongkok. Kedua faktor global ini akan terus mengganggu eks­pek­tasi per­­ce­patan perbai­kan eko­nomi Nasional.

Pe­me­rintah yang baru berusia satu tahun ini tentu masih punya ba­nyak waktu untuk mem­buktikan diri, namun star­ting point yang jelas, stabil, dan cenderung mene­bar kenya­manan untuk se­mua pihak tentu jauh lebih baik ketim­bang titik awal yang penuh dengan kisruh dan relasi-relasi konflik­tual  yang jauh dari produk­tif. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar