Selasa, 10 November 2015

Para Pejuang Bahasa

Para Pejuang Bahasa

Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 02 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

APA hikmah terbesar bangsa Indonesia yang sudah berusia lebih dari 70 tahun kemerdekaannya? Jawabannya ialah bahasa Indonesia. Dalam naskah Sumpah Pemuda, ikrar bertanah air dan berbangsa yang satu bisa jadi sangat sulit untuk mengukur dan membuktikannya. Namun, berbahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia, sangat mudah membuktikannya karena hampir semua wilayah kepulauan Indonesia mengenal bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.
Karena itu, jika ada anggapan Indonesia akan hilang dari bumi Nusantara suatu ketika, hal yang paling mungkin untuk mengikatnya agar tidak cerai-berai ialah bahasa.

Memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bisa dilihat dari beragam perspektif. Secara politis, keberadaan bahasa Indonesia sebagai pelekat dan pemersatu bangsa sebenarnya agak cukup aneh. Nurcholis Madjid pernah berurai suatu ketika, bahwa salah satu modal besar bangsa Indonesia secara budaya dan politik ialah ditetapkannya bahasa Indonesia dari akar bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Bayangkan, secara politis dan keragaman budaya, juga jika dikaitkan dengan banyaknya populasi, harusnya bahasa Jawa yang menjadi bahasa nasional. Namun, mengapa justru bahasa Melayu yang minoritas ditetapkan sebagai bahasa pemersatu?

Jika ditambah dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity), kita sesungguhnya malah harus lebih bersyukur karena upaya untuk tetap memelihara kesatuan menjadi lebih kuat. Sebagai sebuah strategi, Bhinneka Tunggal Ika merupakan jalan tengah yang bahasa Indonesia dengan sendirinya menjadi alat untuk mempertahankan keragaman itu. Jika kebijakan tentang politik berbahasa dimaksudkan untuk mempertahankan keragaman, sebuah bangsa dijamin akan memiliki kekuatan spiritual yang berjangka panjang dalam mempertahankan teritorinya. Dapat dibayangkan, apa jadinya jika bahasa Jawa yang dijadikan bahasa nasional, jelas politik bahasa pemerintah akan sangat represif, terutama terhadap masa depan keragaman budaya, etnik, dan agama.

Tradisi sastra 

Para pejuang bangsa seperti M Yamin, Soekarno, Ki Mangun Sarkoro, Buya Hamka, dan HB Jassin, ketika hidupnya, sangat menyadari arti penting bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan dan bahasa pemersatu. Buya Hamka dan HB Jassin misalnya, dikenal tajam cara berpikir dan bertindaknya karena kemampuannya dalam berbahasa secara indah. Karya sastra mereka berjumlah ribuan, terserak dalam rak-rak perpustakaan nasional hingga mancanegara.Saya terkagum-kagum ketika sempat menjadi anggota The Congress Library di Washington DC, mendapati begitu banyak karya sastra orang Indonesia seperti Hamka, HB Jassin, dan Hasbi Ash-Shiddiqy menjadi bagian dari koleksi perpustakaan tersebut.

Tradisi sastra yang dibangun oleh Buya HAMKA, HB Jassin, Armin Pane, Chairil Anwar, Pramudya Ananta Tur, hingga Rendra sesungguhnya menunjukkan keagungan tradisi bahasa Indonesia. Dengan menulis, para pejuang bahasa tersebut seolah ingin menunjukkan bahwa bahasa memang layak diperjuangkan sebagai alat komunikasi yang etis dan bermanfaat. Karya-karya mereka tetap dikenang hingga saat ini dan dijadikan rujukan tentang pola dan ragam penggunaan kosakata yang merujuk pada nilai-nilai budaya. Bahkan melalui beberapa karya, perdebatan tentang isi buku menjadi salah satu cara dan saluran untuk mendudukkan setiap perkara secara sahih dan bertanggung jawab.Pramudya pernah menuduh Buya Hamka sebagai penyadur tentang buku Tenggelamnya Kapan van Der Wijck, misalnya. Namun, seiring berjalannya waktu ikatan silaturahim mereka, meskipun berbeda ideologi, tetap dipersatukan oleh komitmen kebangsaan melalui sebuah bahasa.

Namun, mari kita lihat bagaimana bahasa Indonesia hari ini digunakan oleh para siswa kita di sekolah. Selain minim dalam mengapresiasi sastra, anak-anak kita juga terjebak penggunaan bahasa Indonesia yang dirusak dengan beragam istilah tak baku yang datang dari komunitas orang-orang yang tak bertanggung jawab.Di media sosial, penggunaan bahasa Indonesia yang rusak ini dikenal dengan bahasa alay, yakni kosakata dibuat secara serampangan dan tak memiliki kedalaman makna dari sebuah kata. Kata menjadi seloroh semata bahkan terkesan memiliki makna yang selalu negatif dan cenderung destruktif terhadap bangunan budaya dan tradisi bangsa.

Kondisi ini bukan omong kosong, jika relasinya ialah pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Meskipun dalam kurikulum kita bahasa dianggap memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Namun, pembelajaran bahasa di sekolah sangatlah minim dalam menghargai dan mengapresiasi sastra. Siswa seperti tak dituntun untuk mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain melalui sebuah gagasan sastra sehingga mereka memiliki kemampuan analitis dan imajinatif dalam dirinya.

Politik bahasa 

Ketimbang profesi di bidang selain bahasa yang terus berkembang, saat ini tak cukup banyak anak kita yang ber cita-cita menjadi penyair atau sastrawan. Sangat jarang kita jumpai di sekolah, ada anakanak yang dengan penuh semangat mendeklarasikan cita-cita mereka untuk menjadi penulis, penyair atau sastrawan. Bahkan esais muda kita seperti Nukila Amal lahir bukan dari pendidikan formal kebahasaan, tapi lebih banyak dari pengalaman keluarga dan masa kecilnya di kampung halaman.

Pendek kata, bahasa menjadi kata kunci teramat penting dan tidak bisa dilepaskan dari politik bahasa dan kebijakan sebuah negara. Beruntunglah kita, karena sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai penyatu seluruh keragaman budaya, etnik, dan agama.Bahasa Indonesia menjadi alat pengantar komunikasi tidak hanya di sekolah, tetapi juga di pasar, kantor, dan berbagai tempat lainnya. Dengan bahasa Indonesia, sesungguhnya kita dihadapkan pada fakta bahwa bahasa, jika dipelihara kemurniannya dan dikembangkan kosakata serta penambahan maknanya, akan tetap mampu memelihara rasa kesatuan sebagai sebuah bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar