Para Pejuang Bahasa
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 November 2015
APA hikmah terbesar bangsa Indonesia yang
sudah berusia lebih dari 70 tahun kemerdekaannya? Jawabannya ialah bahasa
Indonesia. Dalam naskah Sumpah Pemuda, ikrar bertanah air dan berbangsa yang
satu bisa jadi sangat sulit untuk mengukur dan membuktikannya. Namun,
berbahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia, sangat mudah membuktikannya
karena hampir semua wilayah kepulauan Indonesia mengenal bahasa Indonesia
sebagai bahasa pemersatu.
Karena itu, jika ada anggapan Indonesia akan
hilang dari bumi Nusantara suatu ketika, hal yang paling mungkin untuk
mengikatnya agar tidak cerai-berai ialah bahasa.
Memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa
pemersatu bisa dilihat dari beragam perspektif. Secara politis, keberadaan
bahasa Indonesia sebagai pelekat dan pemersatu bangsa sebenarnya agak cukup
aneh. Nurcholis Madjid pernah berurai suatu ketika, bahwa salah satu modal
besar bangsa Indonesia secara budaya dan politik ialah ditetapkannya bahasa
Indonesia dari akar bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Bayangkan, secara
politis dan keragaman budaya, juga jika dikaitkan dengan banyaknya populasi,
harusnya bahasa Jawa yang menjadi bahasa nasional. Namun, mengapa justru
bahasa Melayu yang minoritas ditetapkan sebagai bahasa pemersatu?
Jika ditambah dengan konsep Bhinneka Tunggal
Ika (unity in diversity), kita sesungguhnya malah harus lebih bersyukur
karena upaya untuk tetap memelihara kesatuan menjadi lebih kuat. Sebagai
sebuah strategi, Bhinneka Tunggal Ika merupakan jalan tengah yang bahasa
Indonesia dengan sendirinya menjadi alat untuk mempertahankan keragaman itu.
Jika kebijakan tentang politik berbahasa dimaksudkan untuk mempertahankan
keragaman, sebuah bangsa dijamin akan memiliki kekuatan spiritual yang
berjangka panjang dalam mempertahankan teritorinya. Dapat dibayangkan, apa
jadinya jika bahasa Jawa yang dijadikan bahasa nasional, jelas politik bahasa
pemerintah akan sangat represif, terutama terhadap masa depan keragaman
budaya, etnik, dan agama.
Tradisi sastra
Para pejuang bangsa seperti M Yamin,
Soekarno, Ki Mangun Sarkoro, Buya Hamka, dan HB Jassin, ketika hidupnya,
sangat menyadari arti penting bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan dan
bahasa pemersatu. Buya Hamka dan HB Jassin misalnya, dikenal tajam cara
berpikir dan bertindaknya karena kemampuannya dalam berbahasa secara indah.
Karya sastra mereka berjumlah ribuan, terserak dalam rak-rak perpustakaan
nasional hingga mancanegara.Saya terkagum-kagum ketika sempat menjadi anggota
The Congress Library di Washington DC, mendapati begitu banyak karya sastra
orang Indonesia seperti Hamka, HB Jassin, dan Hasbi Ash-Shiddiqy menjadi
bagian dari koleksi perpustakaan tersebut.
Tradisi sastra yang dibangun oleh Buya HAMKA,
HB Jassin, Armin Pane, Chairil Anwar, Pramudya Ananta Tur, hingga Rendra
sesungguhnya menunjukkan keagungan tradisi bahasa Indonesia. Dengan menulis,
para pejuang bahasa tersebut seolah ingin menunjukkan bahwa bahasa memang
layak diperjuangkan sebagai alat komunikasi yang etis dan bermanfaat.
Karya-karya mereka tetap dikenang hingga saat ini dan dijadikan rujukan
tentang pola dan ragam penggunaan kosakata yang merujuk pada nilai-nilai
budaya. Bahkan melalui beberapa karya, perdebatan tentang isi buku menjadi
salah satu cara dan saluran untuk mendudukkan setiap perkara secara sahih dan
bertanggung jawab.Pramudya pernah menuduh Buya Hamka sebagai penyadur tentang
buku Tenggelamnya Kapan van Der Wijck, misalnya. Namun, seiring berjalannya
waktu ikatan silaturahim mereka, meskipun berbeda ideologi, tetap
dipersatukan oleh komitmen kebangsaan melalui sebuah bahasa.
Namun, mari kita lihat bagaimana bahasa
Indonesia hari ini digunakan oleh para siswa kita di sekolah. Selain minim
dalam mengapresiasi sastra, anak-anak kita juga terjebak penggunaan bahasa
Indonesia yang dirusak dengan beragam istilah tak baku yang datang dari
komunitas orang-orang yang tak bertanggung jawab.Di media sosial, penggunaan
bahasa Indonesia yang rusak ini dikenal dengan bahasa alay, yakni kosakata
dibuat secara serampangan dan tak memiliki kedalaman makna dari sebuah kata.
Kata menjadi seloroh semata bahkan terkesan memiliki makna yang selalu
negatif dan cenderung destruktif terhadap bangunan budaya dan tradisi bangsa.
Kondisi ini bukan omong kosong, jika relasinya
ialah pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Meskipun dalam kurikulum kita
bahasa dianggap memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual,
sosial, dan emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan dalam
mempelajari semua bidang studi. Namun, pembelajaran bahasa di sekolah
sangatlah minim dalam menghargai dan mengapresiasi sastra. Siswa seperti tak
dituntun untuk mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain melalui
sebuah gagasan sastra sehingga mereka memiliki kemampuan analitis dan
imajinatif dalam dirinya.
Politik bahasa
Ketimbang profesi di bidang selain
bahasa yang terus berkembang, saat ini tak cukup banyak anak kita yang ber
cita-cita menjadi penyair atau sastrawan. Sangat jarang kita jumpai di
sekolah, ada anakanak yang dengan penuh semangat mendeklarasikan cita-cita
mereka untuk menjadi penulis, penyair atau sastrawan. Bahkan esais muda kita
seperti Nukila Amal lahir bukan dari pendidikan formal kebahasaan, tapi lebih
banyak dari pengalaman keluarga dan masa kecilnya di kampung halaman.
Pendek kata, bahasa menjadi kata kunci teramat
penting dan tidak bisa dilepaskan dari politik bahasa dan kebijakan sebuah
negara. Beruntunglah kita, karena sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah
menetapkan bahasa Indonesia sebagai penyatu seluruh keragaman budaya, etnik,
dan agama.Bahasa Indonesia menjadi alat pengantar komunikasi tidak hanya di
sekolah, tetapi juga di pasar, kantor, dan berbagai tempat lainnya. Dengan
bahasa Indonesia, sesungguhnya kita dihadapkan pada fakta bahwa bahasa, jika
dipelihara kemurniannya dan dikembangkan kosakata serta penambahan maknanya,
akan tetap mampu memelihara rasa kesatuan sebagai sebuah bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar