TPP, Adakah Urgensinya bagi Indonesia?
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Ekonomi Internasional,
Universitas Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 02 November 2015
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi)
dalam pernyataannya seusai bertemu Presiden Barack Obama menyatakan Indonesia
berniat masuk Trans Pacific Partnership
(TPP). Pernyataan Presiden Jokowi sungguh mengejutkan.
Terlebih pernyataan tersebut
bertentangan dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada 2012
menyatakan Indonesia akan berhati-hati untuk tergabung dalam TPP.
TPP adalah perjanjian
perdagangan yang beranggotakan 12 negara di Pasifik Rim yang terdiri atas
Amerika Serikat (AS), Australia, Kanada, Jepang, Malaysia, Meksiko, Peru,
Vietnam, Cile, Brunei, Singapura, dan Selandia Baru. Cikal bakal TPP dimulai
pada 2005 dengan penandatanganan perjanjian yang disebut Trans Pacific Strategic Economic Partnership Agreement oleh
Brunei, Cile, Selandia Baru, dan Singapura. Pada 2008 negara lain bergabung
dalam diskusi yang menghasilkan TPP.
Perjanjian TPP diselesaikan
pada 5 Oktober 2015 setelah perundingan selama 7 tahun. Teks perjanjian TPP
itu sendiri sulit untuk didapat. Berselancar di dunia maya pun tidak
tersedia. Sulitnya mendapatkan teks perjanjian TPP dikeluhkan banyak pihak
karena diperlakukan sebagai dokumen rahasia. Hanya pejabat-pejabat dari
negara-negara yang tergabung dalam TPP yang memiliki akses.
Bagi AS, sebagaimana dimuat
dalam laman Kantor Perdagangan AS (US
Trade Representative) di https://ustr.gov/tpp/, TPP dianggap akan
menguntungkan para pelaku usahanya yang melabel produknya made in America. Ini karena akan ada
penghapusan 18 ribu jenis pajak dan hambatan perdagangan di negara-negara
tujuan yang tergabung dalam TPP.
AS mengklaim TPP merupakan
perjanjian yang sangat diwarnai dengan kepentingan AS. Ini dilakukan karena
banyak perjanjian perdagangan yang tidak memperhatikan kepentingan AS dan
dapat mengancam lapangan kerja di AS. TPP akan berpihak kepada para pekerja
AS karena standar buruh di negara-negara anggota TPP harus berada pada
standar in ternasional yang antara lain memperhatikan HAM dan standar upah
minimum. Ini berarti produk AS akan mampu bersaing dengan produk dari negara
TPP lainnya karena biaya produksi akan sama.
TPP juga tidak membolehkan
BUMN mendapat perlakuan yang istimewa. Bahkan dalam TPP diatur tentang forum
penyelesaian sengketa antara penanam modal dan pemerintah (investor state dispute settlement).
Saat ini pemerintah AS, meski sudah menandatangani, belum meratifikasinya.Di
Kongres masih terjadi perdebatan pro dan kontra. Partai Republik menentang
ratifikasi perjanjian TPP yang dimotori oleh Presiden Obama yang berasal dari
Partai Demokrat.
Pasar dan tempat produksi
Dalam berbagai perjanjian
perdagangan bebas, ada dua hal penting dalam melihat suatu negara.Pertama,
negara sebagai pasar (market).
Kedua, negara sebagai tempat produksi (production
base). Bagi negara-negara yang memiliki pelaku usaha, pasar negara lain
tanpa hambatan (non-barrier)
berarti suatu keuntungan.Pelaku usaha di suatu negara dapat merambah pasar
dari negara yang turut dalam perjanjian perdagangan bebas.
Ekspansi pasar merupakan hal
penting di dunia saat ini. Dunia tidak lagi disibukkan dengan ekspansi
wilayah (territorial expansion)
sebagaimana terjadi sebelum Perang Dunia II dan ekspansi pengaruh (influence expansion) yang memunculkan
Blok Barat dan Blok Timur.
AS tergolong sebagai negara
yang memiliki pelaku usaha yang menginginkan ekspansi atas produk-produknya.
Pasar dalam negeri sudah dianggap jenuh. Akan tetapi, pada saat bersamaan AS
juga merupakan negara dengan pasar yang menjanjikan mengingat jumlah penduduk
dan daya beli masyarakatnya (purchasing
power).
Sementara itu karakteristik
negara TPP lain seperti Singapura bukanlah negara yang memiliki pasar besar. Meski
demikian, Singapura merupakan negara yang memiliki pelaku usaha yang mampu
melakukan ekspansi. Di samping itu, Singapura dijadikan tempat
perusahaan-perusahaan mancanegara sebagai markas. Ini karena Singapura
menawarkan berbagai insentif, termasuk pajak. Bahkan menjadikan dirinya hub
bagi pelaku usaha mancanegara yang melakukan ekspansi usaha di Asia Tenggara.
Berbeda pula karakteristik
negara TPP seperti Vietnam. Meski pasar Vietnam belum mapan, yang diharapkan
oleh negara seperti Vietnam masuk dalam TPP ialah negaranya dijadikan sebagai
tempat berproduksi. Vietnam memang ideal sebagai tempat produksi mengingat
pemerintahnya sangat mendorong agar investor asing berinvestasi di negerinya.
Di samping itu, Vietnam
memiliki karakteristik Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. Politik
yang stabil meski demokrasi tidak tumbuh. Kebijakan pemerintah pusat diikuti
oleh pemerintah daerah. Bahkan standar gaji buruh pun sangat bersaing.
Intinya sebagai tempat produksi biaya produksi pelaku usaha dapat ditekan.
Tidak ada urgensi
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia
memang pasar yang besar, tetapi bukanlah tempat produksi. Pasar Indonesia
besar karena paling tidak empat hal; pertama, memiliki jumlah penduduk yang
besar. Kedua, penduduk sebagai konsumen memiliki kesukaan (preference) yang mudah diubah.
Mengubah kesukaan penduduk di Indonesia dilakukan melalui iklan. Ketiga,
konsumen memiliki daya beli. Terakhir, pemerintah kerap kurang cerdas
memainkan ketentuan-ketentuan dalam hukum perdagangan internasional untuk
memproteksi pasarnya.
Di lain sisi, Indonesia tidak
dianggap sebagai tempat produksi yang ideal bagi para penanam modal
mancanegara. Iklim investasi di Indonesia dikeluhkan sebagai tidak kondusif.
Ada paling tidak enam alasan; pertama, minimnya SDM yang berpendidikan dan
terampil.Kedua, tidak adanya kepastian berusaha dan kepastian hukum karena
kebijakan pemerintah yang kerap berubah-ubah. Selain itu, lembaga peradilan
yang tidak bercirikan pada putusan yang dapat diprediksi (predictibility).
Ketiga, kurangnya realisasi
tawaran yang menarik dari pemerintah. Keempat, infrastruktur yang kurang
memadai, khususnya listrik.Kelima, masih dirasakan birokrasi yang tidak
bersih dan terbebas dari berbagai pungutan liar dan semiliar. Terakhir,
penegakan hukum yang masih lemah, utamanya di bidang kekayaan intelektual.
Ini berarti di negara seperti
Indonesia tidak ada korelasi pasar yang besar dan menjanjikan keuntungan
dengan pembukaan lapangan kerja. Pelaku usaha yang tergabung dalam TPP akan
melihat Indonesia sebagai pasar, tetapi mereka enggan untuk berinvestasi di sini.
Mereka akan lebih suka untuk menjadikan negara seperti Vietnam sebagai tempat
produksi, atau negara seperti Si ngapura untuk menjadi markas mereka dalam mengendalikan
ekspansi ke Indonesia.
Dengan melihat fakta ini
tidak dapat dimungkiri bahwa Indonesia tidak banyak diuntungkan bila masuk
dan menjadi anggota TPP. Indonesia akan dibanjiri barang-barang impor. Pelaku
usaha Indonesia harus bersaing ketat dengan produk-produk pelaku usaha dari
negara anggota TPP untuk merebut pasar di negerinya sendiri. Bila mereka
tidak mampu bersaing, jelas akan segera gulung tikar. Ini berarti penciutan
lapangan kerja.
Di samping alasan di atas,
Indonesia bukanlah negara yang ikut dalam proses pembentukan perjanjian TPP.
Artinya, Indonesia tidak memberi warna pada perjanjian tersebut. Kepentingan
Indonesia tidak terakomodasi dalam TPP. Bila bergabung dalam TPP, Indonesia
berarti hanya mengikuti segala aturan yang telah disepakati oleh
negara-negara asli (original members)
TPP.
TPP juga tidak berpihak
terhadap kepentingan Indonesia karena TPP tidak memperbolehkan perlakuan
istimewa kepada BUMN. Padahal menurut Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, pemerintah
bisa saja memberikan monopoli kepada BUMN sepanjang jenis usahanya menguasai
hajat hidup orang banyak.
Alasan lain mengapa TPP tidak
menguntungkan Indonesia karena adanya mekanisme penyelesaian sengketa antara
pelaku usaha asing dan pemerintah. Bagi Indonesia, penyelesaian sengketa
jenis ini telah menjadi beban. Lembaga yang saat ini kerap dimanfaatkan oleh
penanam modal asing ialah International
Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID). Biaya yang harus
dikeluarkan oleh pemerintah tidak sedikit. Belum lagi pemerintah memiliki
potensi untuk dikalahkan karena tidak tertib dalam menyimpan dokumen. Padahal
dokumen ini kelak akan menjadi bukti dalam memperkuat posisi.
Untuk diketahui, saat ini
pemerintah sedang mengupayakan Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan
Penanam Modal (P4M) yang tidak secara otomatis merujuk ke ICSID bagi
penyelesaian sengketa antara penanam modal dan pemerintah.Masuknya Indonesia
dalam TPP dikhawatirkan justru melemahkan, bahkan mematahkan, upaya
pemerintah ini.
Urgensi pun semakin tidak ada
mengingat Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Pemerintah belum sepenuhnya siap menghadapi MEA. Bila dalam waktu dekat ini
Indonesia akan bergabung dengan TPP, beban Indonesia akan semakin berat.
Kaji mendalam
Indonesia perlu mengkaji
lebih mendalam untuk ikut dalam TPP. Jangan sampai kepentingan nasional
bahkan pembukaan lapangan kerja terkendala karena keikutsertaan Indonesia
dalam TPP. Keberadaan TPP perlu mendapat kajian apakah telah sesuai dengan
UUD. Ini penting agar jangan sampai hukum tertinggi bukan lagi UUD di
Indonesia, melainkan perjanjian internasional. Bila ini terjadi, akan banyak
produk legislasi nasional yang menerjemahkan ketentuan dalam TPP yang
berpotensi dilakukan uji materi.
Perlu juga dipahami bahwa
pasar yang besar dari negara-negara anggota yang tergabung dalam TPP sebagai
`iming-iming' tidak akan banyak berarti bagi Indonesia, mengingat pelaku
usaha Indonesia belum banyak yang mampu untuk melakukan ekspansi atas
produknya. Tentu perlu dipertanyakan siapakah yang memberi masukan kepada
Presiden agar Indonesia ikut dalam TPP? Apakah pembisik tersebut telah
melakukan kajian yang mendalam dan menyimulasikan bila Indonesia bergabung
dalam TPP? Ataukah niatan Indonesia untuk bergabung dalam TPP hanyalah
pernyataan Presiden untuk menenangkan AS yang akhir-akhir ini mencurigai
kebijakan luar negeri Indonesia yang dianggap condong ke Tiongkok? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar