Bahasa Indonesia sebagai Pembentuk Karakter
Muchlisan Putra ; Guru Bahasa Indonesia SSB Pidie, Aceh
|
MEDIA
INDONESIA, 02 November 2015
LAMA sudah Indonesia merdeka, 70 tahun sejak
1945. Lama sudah bahasa Indonesia dilahirkan, 87 tahun sejak 1928. Namun,
seperti apa kini nasib bahasa Indonesia? Di kalangan pemuda Indonesia, para
pemuda, terutama pelajar, seperti telah kehilangan kebanggaan terhadap bahasa
negara yang telah diamanatkan UUD 1945 Pasal 36 yang menyebutkan bahwa bahasa
negara ialah bahasa Indonesia.
Di sekolah, ada fenomena para pelajar kurang
tertarik dengan pelajaran bahasa Indonesia, selain karena gaya dan model guru
yang sangat monoton, juga akibat salah kaprah mendefinisikan ungkapan
‘menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar’. Mereka menganggap di
setiap tempat dan keadaan harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan EYD.
Sebagai seorang guru bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Sukma Bangsa
(SSB) Pidie, saya mendapati kekhawatiran itu pada siswa saya. Misalnya, di
awal-awal, mereka sangat takut berbicara dengan saya jika bertemu di jalan,
di kantin, atau bertemu di pasar. Mereka lebih memilih menghindar hanya
karena alasan tidak bisa berbicara baku dengan guru bahasa Indonesia.
Ketakutan itu memang agak berlebihan.
Selayaknya, ungkapan ‘menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar' terdiri atas dua definisi yang berbeda, yakni berbahasa
Indonesia yang baik dan berbahasa Indonesia yang benar.Berbahasa Indonesia
yang baik ialah menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan konteks,
tempat, waktu, dan lawan bicara. Sementara itu, berbahasa Indonesia yang
benar ialah menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah (tata bahasa)
bahasa Indonesia. Artinya, jika dalam keadaan santai, seseorang telah
dikatakan berbahasa Indonesia dengan baik jika bahasa yang digunakan juga
bahasa dalam ragam santai.
Demikian pula sebaliknya. Bayangkan saja,
sangat tidak lucu jika seorang yang ingin membeli sayur di pasar menggunakan
bahasa ragam resmi.Itu yang saya maksud salah kaprah mendefinisikan ungkapan
`menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar' dan menjadi momok yang
menakutkan bagi siswa sehingga mereka terkadang apriori, bahkan antipati
terhadap bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia vs
bahasa daerah
Di SSB Pidie, kami menerima siswa miskin dari
berbagai pelosok daerah terpencil di Aceh yang dibiayai yayasan atau donatur
lain. Ada sedikit kecemasan para guru dalam berkomunikasi dengan para siswa
tersebut. Mereka yang menggunakan bahasa pertamanya/bahasa ibu--bahasa daerah
(baca: Aceh)--sangat kesulitan memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar di sekolah, padahal jenjang pendidikan mereka sudah menengah (baca:
SMP dan SMA). Mau tidak mau, suka tidak suka, bahasa Indonesia sebagai
penghela dan pembawa ilmu pengetahuan--kalimat yang dituliskan di setiap
halaman pertama buku cetak kurikulum 2013--harus dengan sadar sepenuhnya
diterapkan dalam bahasa pengantar di sekolah-sekolah tingkat menengah.
Di SSB, untuk mendukung pembiasaan berbahasa
Indonesia, kami memiliki regulasi yang mengharuskan siswa tingkat menengah
untuk `mengharamkan' berbahasa daerah ketika berkomunikasi di lingkungan
kompleks SSB Pidie. Selain guru dan pihak asrama, pengurus OSIS dari kalangan
siswa pun membentuk sebuah bidang yang sering kami sebut dengan `polisi
bahasa'. Kebijakan itu bukan semata-mata berniat membunuh bahasa
daerah/bahasa ibu para siswa. Kami yakin, bahasa ibu tidak akan pernah hilang
dalam ingatan siswa, sekali pun mereka belajar bahasa kedua, ketiga, dst. Ini
sangat penting dilakukan sekolah (khususnya tingkat menengah) karena
mempertimbangkan persaingan di tingkat perguruan tinggi yang membutuhkan
keterampilan berbahasa ting kat tinggi. Sangat disayangkan jika di suatu
sekolah tingkat menengah guru masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar.
Dalam suatu diskusi di perkuliahan, saya menda
pati seorang guru bahasa Indonesia dengan jujur mengatakan bahwa bahasa
pengantar yang ia gunakan dalam mengajar bahasa Indonesia ialah 90%
menggunakan bahasa daerah. Ia pun menyadari betapa hasil yang diperoleh
anak-anak didiknya tersebut tidak lebih baik ketimbang kini ia mengajar
menggunakan hampir 100% bahasa pengantar bahasa Indonesia. Ini menambah bukti
empiris betapa pembiasaan berbahasa Indonesia dalam bahasa pengantar di kelas
sangat memengaruhi tingkat lulusan siswa dan tingkat kemampuan dalam menjawab
soal serta tingkat kemampuan berkomunikasi di tempat yang akan dia tuju
selanjutnya.
Pembentuk karakter
Salah satu tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia di setiap jenjang pendidikan ialah membentuk karakter Indonesia
pada diri peserta didik. Dengan memahami keterkaitan antara bahasa dan
berbagai karya sastra, tidak berlebihan jika bahasa dapat digunakan untuk
membentuk karakter bangsa. Siswa yang belajar bahasa melalui karya sastra
dapat dengan mudah memetik nilai-nilai dari cerita yang disampaikan. Katakanlah
ketika siswa membaca novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck karya Buya HAMKA. Siswa dapat secara mudah mengambil
nilai tentang arti kesetiaan dan kerja keras dari tokoh Zainuddin, siswa
belajar dari tokoh Aziz yang gagal karena kesombongannya, dsb.
Dalam buku Calak Edu 1, Esai-esai pendidikan 2008-2012 karya Ahmad Baedowi, mantan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kabinet Indonesia bersatu jilid II,
Muhammad Nuh, menyampaikan bahwa dunia pendidikan dan kebudayaan ialah dunia
yang kompleks, menantang, dan mulia. Kompleks mengingat spektrumnya sangat
luas; menantang, ka rena pendidikan menentukan masa depan; dan mulia, karena
pendidikan ialah upaya memanusiakan manusia. Poin ketiga dari pemaparan
menteri itu yang saya sebut ialah bahasa Indonesia sebagai pembentuk karakter
(baca: memanusiakan manusia).
Meskipun masih ada kekhawatiran tentang
minimnya pendidikan karakter yang memanfaatkan karya sastra serta rendahnya
kreativitas guru untuk menggali nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap mata
ajar, menggunakan bahasa Indonesia sebagai mediator pembentukan karakter
siswa dan guru ialah imperatif. Saya bersepakat dengan Ahmad Baedowi (Calak Edu 1: 2012), jangan-jangan
produk pendidikan kita semakin meneguhkan keyakinan bahwa ciri dan karakter
manusia Indonesia masih saja seperti yang pernah dikatakan Mukhtar Lubis 33
tahun silam, yaitu selalu menggemari jalan pintas dan kurang gigih dalam
berusaha.Selain itu, masih ada 10 ciri lain yang melekat dari manusia
Indonesia menurut versi Mukhtar Lubis, yaitu munafik; suka lempar batu
sembunyi tangan; suka hantu, paranormal, dan firasat; punya jiwa seni; boros,
senang berutang, dan senang pesta pora; suka iri, dengki, dan menggerutu; me
too; jemawa, sombong, atau belagu; feodal dan patriarkal; serta baik hati,
ramah, suka gotong-royong, dan bisa tertawa dalam penderitaan.
Nah, poin terakhir, yakni baik, ramah, dan
suka gotong-royong merupakan beberapa perilaku dan nilai yang bisa kita petik
dari pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pembentuk karakter bangsa,
terutama pemuda. Semoga momentum Sumpah Pemuda pada setiap 28 Oktober akan
terus menggema dan bergelora dalam melahirkan anak-anak Indonesia yang
mencintai bahasanya, bahasa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar