Selasa, 10 November 2015

Bahasa Indonesia sebagai Pembentuk Karakter

Bahasa Indonesia sebagai Pembentuk Karakter

Muchlisan Putra  ;  Guru Bahasa Indonesia SSB Pidie, Aceh
                                           MEDIA INDONESIA, 02 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

LAMA sudah Indonesia merdeka, 70 tahun sejak 1945. Lama sudah bahasa Indonesia dilahirkan, 87 tahun sejak 1928. Namun, seperti apa kini nasib bahasa Indonesia? Di kalangan pemuda Indonesia, para pemuda, terutama pelajar, seperti telah kehilangan kebanggaan terhadap bahasa negara yang telah diamanatkan UUD 1945 Pasal 36 yang menyebutkan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia.

Di sekolah, ada fenomena para pelajar kurang tertarik dengan pelajaran bahasa Indonesia, selain karena gaya dan model guru yang sangat monoton, juga akibat salah kaprah mendefinisikan ungkapan ‘menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar’. Mereka menganggap di setiap tempat dan keadaan harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan EYD. Sebagai seorang guru bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Sukma Bangsa (SSB) Pidie, saya mendapati kekhawatiran itu pada siswa saya. Misalnya, di awal-awal, mereka sangat takut berbicara dengan saya jika bertemu di jalan, di kantin, atau bertemu di pasar. Mereka lebih memilih menghindar hanya karena alasan tidak bisa berbicara baku dengan guru bahasa Indonesia. Ketakutan itu memang agak berlebihan.

Selayaknya, ungkapan ‘menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar' terdiri atas dua definisi yang berbeda, yakni berbahasa Indonesia yang baik dan berbahasa Indonesia yang benar.Berbahasa Indonesia yang baik ialah menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai dengan konteks, tempat, waktu, dan lawan bicara. Sementara itu, berbahasa Indonesia yang benar ialah menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah (tata bahasa) bahasa Indonesia. Artinya, jika dalam keadaan santai, seseorang telah dikatakan berbahasa Indonesia dengan baik jika bahasa yang digunakan juga bahasa dalam ragam santai.

Demikian pula sebaliknya. Bayangkan saja, sangat tidak lucu jika seorang yang ingin membeli sayur di pasar menggunakan bahasa ragam resmi.Itu yang saya maksud salah kaprah mendefinisikan ungkapan `menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar' dan menjadi momok yang menakutkan bagi siswa sehingga mereka terkadang apriori, bahkan antipati terhadap bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia vs bahasa daerah

Di SSB Pidie, kami menerima siswa miskin dari berbagai pelosok daerah terpencil di Aceh yang dibiayai yayasan atau donatur lain. Ada sedikit kecemasan para guru dalam berkomunikasi dengan para siswa tersebut. Mereka yang menggunakan bahasa pertamanya/bahasa ibu--bahasa daerah (baca: Aceh)--sangat kesulitan memahami bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah, padahal jenjang pendidikan mereka sudah menengah (baca: SMP dan SMA). Mau tidak mau, suka tidak suka, bahasa Indonesia sebagai penghela dan pembawa ilmu pengetahuan--kalimat yang dituliskan di setiap halaman pertama buku cetak kurikulum 2013--harus dengan sadar sepenuhnya diterapkan dalam bahasa pengantar di sekolah-sekolah tingkat menengah.

Di SSB, untuk mendukung pembiasaan berbahasa Indonesia, kami memiliki regulasi yang mengharuskan siswa tingkat menengah untuk `mengharamkan' berbahasa daerah ketika berkomunikasi di lingkungan kompleks SSB Pidie. Selain guru dan pihak asrama, pengurus OSIS dari kalangan siswa pun membentuk sebuah bidang yang sering kami sebut dengan `polisi bahasa'. Kebijakan itu bukan semata-mata berniat membunuh bahasa daerah/bahasa ibu para siswa. Kami yakin, bahasa ibu tidak akan pernah hilang dalam ingatan siswa, sekali pun mereka belajar bahasa kedua, ketiga, dst. Ini sangat penting dilakukan sekolah (khususnya tingkat menengah) karena mempertimbangkan persaingan di tingkat perguruan tinggi yang membutuhkan keterampilan berbahasa ting kat tinggi. Sangat disayangkan jika di suatu sekolah tingkat menengah guru masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.

Dalam suatu diskusi di perkuliahan, saya menda pati seorang guru bahasa Indonesia dengan jujur mengatakan bahwa bahasa pengantar yang ia gunakan dalam mengajar bahasa Indonesia ialah 90% menggunakan bahasa daerah. Ia pun menyadari betapa hasil yang diperoleh anak-anak didiknya tersebut tidak lebih baik ketimbang kini ia mengajar menggunakan hampir 100% bahasa pengantar bahasa Indonesia. Ini menambah bukti empiris betapa pembiasaan berbahasa Indonesia dalam bahasa pengantar di kelas sangat memengaruhi tingkat lulusan siswa dan tingkat kemampuan dalam menjawab soal serta tingkat kemampuan berkomunikasi di tempat yang akan dia tuju selanjutnya.

Pembentuk karakter

Salah satu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di setiap jenjang pendidikan ialah membentuk karakter Indonesia pada diri peserta didik. Dengan memahami keterkaitan antara bahasa dan berbagai karya sastra, tidak berlebihan jika bahasa dapat digunakan untuk membentuk karakter bangsa. Siswa yang belajar bahasa melalui karya sastra dapat dengan mudah memetik nilai-nilai dari cerita yang disampaikan. Katakanlah ketika siswa membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya HAMKA. Siswa dapat secara mudah mengambil nilai tentang arti kesetiaan dan kerja keras dari tokoh Zainuddin, siswa belajar dari tokoh Aziz yang gagal karena kesombongannya, dsb.

Dalam buku Calak Edu 1, Esai-esai pendidikan 2008-2012 karya Ahmad Baedowi, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kabinet Indonesia bersatu jilid II, Muhammad Nuh, menyampaikan bahwa dunia pendidikan dan kebudayaan ialah dunia yang kompleks, menantang, dan mulia. Kompleks mengingat spektrumnya sangat luas; menantang, ka rena pendidikan menentukan masa depan; dan mulia, karena pendidikan ialah upaya memanusiakan manusia. Poin ketiga dari pemaparan menteri itu yang saya sebut ialah bahasa Indonesia sebagai pembentuk karakter (baca: memanusiakan manusia).

Meskipun masih ada kekhawatiran tentang minimnya pendidikan karakter yang memanfaatkan karya sastra serta rendahnya kreativitas guru untuk menggali nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap mata ajar, menggunakan bahasa Indonesia sebagai mediator pembentukan karakter siswa dan guru ialah imperatif. Saya bersepakat dengan Ahmad Baedowi (Calak Edu 1: 2012), jangan-jangan produk pendidikan kita semakin meneguhkan keyakinan bahwa ciri dan karakter manusia Indonesia masih saja seperti yang pernah dikatakan Mukhtar Lubis 33 tahun silam, yaitu selalu menggemari jalan pintas dan kurang gigih dalam berusaha.Selain itu, masih ada 10 ciri lain yang melekat dari manusia Indonesia menurut versi Mukhtar Lubis, yaitu munafik; suka lempar batu sembunyi tangan; suka hantu, paranormal, dan firasat; punya jiwa seni; boros, senang berutang, dan senang pesta pora; suka iri, dengki, dan menggerutu; me too; jemawa, sombong, atau belagu; feodal dan patriarkal; serta baik hati, ramah, suka gotong-royong, dan bisa tertawa dalam penderitaan.

Nah, poin terakhir, yakni baik, ramah, dan suka gotong-royong merupakan beberapa perilaku dan nilai yang bisa kita petik dari pembelajaran bahasa Indonesia sebagai pembentuk karakter bangsa, terutama pemuda. Semoga momentum Sumpah Pemuda pada setiap 28 Oktober akan terus menggema dan bergelora dalam melahirkan anak-anak Indonesia yang mencintai bahasanya, bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar