Selasa, 10 November 2015

Ihwal Surat Edaran Kapolri dalam Ujaran Kebencian

Ihwal Surat Edaran Kapolri dalam Ujaran Kebencian

Agus Riewanto  ;  Doktor Ilmu Hukum, Dosen Fakultas Hukum
dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 05 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) baru saja menerbitkan Surat Edaran Kapolri No SR/6/ X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (SE Kapolri). Tujuan utama SE ini adalah untuk menjaga dan mengawal kehidupan sosial yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk, juga untuk mencegah sejak dini setiap potensi kerusuhan horizontal yang disebabkan oleh provokasi dari ujaran kebencian.(Media Indonesia, 3 November 2015).

Adapun yang dimaksud ujaran kebencian menurut SE Kapolri ini adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong, dan semua tindakan di atas yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.

SE Kapolri dan UU ITE

Sesungguhnya kehadiran SE Kapolri ini bukan merupakan sesuatu yang baru jika dilihat dari aspek perkembangan hukum pidana mutakhir yang diakibatkan oleh suatu ujaran kebencian melalui media sosial dan elektronika. Sebelumnya, kita telah memiliki UU N 11 Tahun 2011 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) yang merupakan UU Pokok tentang pengaturan aneka masalah delik pidana yang diakibatkan oleh pemanfaatan teknologi informasi berbasis elektronik atau internet. Itu sebabnya UU ini dianggap merupakan produk paling mutakhir dari upaya negara untuk merespons perilaku kejahatan dalam dunia maya (cybercrimes) di Indonesia, di akhir abad ke-21 yang dulu tak pernah terbayangkan oleh para perancang KUHP dan KUHAP.

SE Kapolri ini hanyalah merupakan bentuk imbauan hukum kepada para pihak yang memublikasikan secara online maupun offline tentang kata-kata atau ujaran yang bersifat kebencian, yang diduga dapat menyulut konflik antarorang, kelompok, golongan, suku, agama, maupun subjek hukum lainnya.

SE Kapolri ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum melakukan penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak pidana di dunia maya (cyber) sebab dari hierarki peraturan perundangan yang termuat dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Surat Edaran (SE) bukan merupakan produk hukum yang mengikat untuk penegakan hukum. UU No 12/2012 ini menempatkan posisi tertinggi dasar hukum, yakni UUD 1945, Tap MPR, UU, perppu, PP, perpres, perda provinsi, dan perda kabupaten/kota.

SE Kapolri dan HAM

Itulah sebabnya, terbitnya SE Kapolri ini lebih merupakan panduan bersifat teknis bagi aparat kepolisian dalam merespons adanya potensi konflik horizontal akan adanya ujaran-ujaran kebencian di tengah masyarakat yang dapat merusak sendi-sendi harmonisasi sosial dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Jika dikaitkan dengan konsep HAM di Indonesia, sesungguhnya bukan menganut paham HAM yang mutlak/liberal, melainkan HAM yang dibatasi nilai-nilai luhur sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa“, yang menempatkan kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dilandasi oleh nilai-nilai religius yang terkandung dalam semangat `ketuhanan', yakni menghormati dan memuliakan martabat orang lain serta tidak mengutamakan kebebasan yang se bebas-bebasnya, sebagaimana konsep HAM dalam liberalisme Barat.

Di titik ini, kehadiran SE merupakan respons yang bernilai positif bagi masa depan HAM di Indonesia.Negara melalui kepolisian yang merupakan komponen penting dalam menjaga tertib sosial (social order) telah memainkan fungsinya secara inheren, dengan potensi-potensi konflik yang akan hadir di tengah masyarakat majemuk.

Polri mitra masyarakat

SE Kapolri ini akan dapat bernilai positif dalam menangani potensi konflik horizontal akibat dari adanya ujaran-ujaran kebencian, apabila Polri mampu menempatkan dirinya sebagai mitra masyarakat dalam upaya menegakan hukum tentang ujaran kebencian. Polri harus mampu memonitori dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat, melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian. Lalu, mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian, mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai, dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.

Namun sebaliknya, jika tindakan aparat Polri dalam menangani ada nya ujaran kebencian di masyarakat ini tidak mengutamakan tindakan preventif dan edukatif, SE ini berpotensi menjadi momok yang menakutkan masyarakat, karena bisa saja aparat Polri bertindak layak intel atau mata-mata (spionase) kekuasaan politik. Seperti terjadi di era Orde Baru (Orba) yang tecermin dengan didirikannya Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) pada 10 Oktober 1965, sepekan setelah pemberontakan G/30/S/PKI.
Kopkamtib ini diberi mandat oleh Orba untuk seolah-olah mengawasi semua perilaku dan gerak-gerik ma syarakat menuju masyarakat yang tertib (social order). Namun, sejatinya hanya untuk mengintai lawan-lawan politik kekuasaan saat itu. Jika sikap dan tindakan Polri dengan SE ini seperti Kopkamtib, tentu menjadi sangat membahayakan hak asasi manusia (HAM) yang telah dijamin dalam Pasal 27 UUD 1945 Pascaamendemen.

Zaman telah berubah dan dinamika konflik masyarakat kian bertambah, maka watak dan perangai aparat Polri juga harus berubah supaya tidak bersedia dimanfaatkan kekuasaan tertentu untuk mengintai dan memberangus lawan-lawan politik kelompok tertentu. Ciri negara hukum yang demokratis adalah negara yang mampu melindungi warganya dari ancaman ketakutan perilaku kejam aparat negara untuk berekspresi atau berwacana melalui media-media publik.

Menurut Gurcan Kocan (2008) dalam Model of Public Sphere in Political Philosophy, mengingatkan bahwa dalam demokrasi harus tersedia ruang-ruang yang bebas bagi masyarakat (public sphere), untuk digunakan berekspresi tanpa harus merasa diintervensi aparat negara. Ciri masyarakat dewasa adalah masyarakat yang secara ha kiki mampu untuk mengontrol dirinya sendiri atas produk kebebasan berekspresi, baik melalui upaya saling memahami, berdialog, dan bertukar gagasan sebagai bentuk pengejawantahan hak asasi manusia (HAM) secara alamiah.

Harus elegan

Polri dalam menjalankan SE ini seharusnya secara elegan, yakni hanya dalam tataran untuk memberikan jalan bagi kemudahan masyarakat agar tidak mudah dijerat dengan UU ITE yang telah banyak menelan korban. Perbuatan pencemaran nama baik, paling tidak sejak UU ITE diterapkan pada medio 2008-2015 ini telah menelan korban sebanyak 166 orang. (Editorial, Media Indonesia, 3 November 2015).

Cara lain agar SE ini dapat produktif dalam menyokong HAM, dan bahkan akan dapat berpotensi mengurangi jumlah orang yang melakukan ujaran kebencian dalam bentuk orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, termasuk dalam jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa cetak atau elektronik, pamflet, maka aparat Polri perlu melakukan sosialisasi yang masif terhadap SE ini. Dengan menggandeng tokoh agama, masyarakat, pemuda, organisasi masyarakat sipil, dan perguruan tinggi, sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam upaya melindungi jatuhnya korban sia-sia akibat pertikaian dan konflik horizontal terkait ujaran provokatif yang mengandung kebencian.

Polri perlu tetap mengutamakan pencegahan dalam upaya mengantisipasi muncul potensi konflik atau kerusuhan sosial akibat provokasi ujaran kebencian. Penegakan hukum hendaknya menjadi pilihan terakhir dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak salah sasaran. Ini semata-mata dimaksudkan agar tidak melahirkan multitafsir yang tak produktif atas hadirnya SE ini. Apalagi, jika muncul anggapan spekulatif bahwa SE ini didesain dan dipersiapkan untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar