Ihwal Surat Edaran Kapolri dalam Ujaran Kebencian
Agus Riewanto ; Doktor Ilmu Hukum, Dosen Fakultas Hukum
dan Program Pascasarjana Ilmu
Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 November 2015
KEPOLISIAN Republik Indonesia (Polri) baru
saja menerbitkan Surat Edaran Kapolri No SR/6/ X/2015 tentang Penanganan
Ujaran Kebencian (SE Kapolri). Tujuan utama SE ini adalah untuk menjaga dan
mengawal kehidupan sosial yang harmonis dalam masyarakat yang majemuk, juga
untuk mencegah sejak dini setiap potensi kerusuhan horizontal yang disebabkan
oleh provokasi dari ujaran kebencian.(Media Indonesia, 3 November 2015).
Adapun yang dimaksud ujaran kebencian menurut
SE Kapolri ini adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan
tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong, dan
semua tindakan di atas yang memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak
diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
SE Kapolri dan UU ITE
Sesungguhnya kehadiran SE Kapolri ini bukan
merupakan sesuatu yang baru jika dilihat dari aspek perkembangan hukum pidana
mutakhir yang diakibatkan oleh suatu ujaran kebencian melalui media sosial
dan elektronika. Sebelumnya, kita telah memiliki UU N 11 Tahun 2011 tentang
Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) yang merupakan UU Pokok tentang
pengaturan aneka masalah delik pidana yang diakibatkan oleh pemanfaatan
teknologi informasi berbasis elektronik atau internet. Itu sebabnya UU ini
dianggap merupakan produk paling mutakhir dari upaya negara untuk merespons
perilaku kejahatan dalam dunia maya (cybercrimes)
di Indonesia, di akhir abad ke-21 yang dulu tak pernah terbayangkan oleh para
perancang KUHP dan KUHAP.
SE Kapolri ini hanyalah merupakan bentuk imbauan
hukum kepada para pihak yang memublikasikan secara online maupun offline
tentang kata-kata atau ujaran yang bersifat kebencian, yang diduga dapat
menyulut konflik antarorang, kelompok, golongan, suku, agama, maupun subjek
hukum lainnya.
SE Kapolri ini tidak dapat dijadikan sebagai
dasar hukum melakukan penegakan hukum dalam kasus-kasus tindak pidana di
dunia maya (cyber) sebab dari hierarki peraturan perundangan yang termuat
dalam UU No 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Surat Edaran (SE) bukan merupakan produk hukum yang mengikat untuk penegakan
hukum. UU No 12/2012 ini menempatkan posisi tertinggi dasar hukum, yakni UUD
1945, Tap MPR, UU, perppu, PP, perpres, perda provinsi, dan perda
kabupaten/kota.
SE Kapolri dan HAM
Itulah sebabnya, terbitnya SE Kapolri ini
lebih merupakan panduan bersifat teknis bagi aparat kepolisian dalam
merespons adanya potensi konflik horizontal akan adanya ujaran-ujaran
kebencian di tengah masyarakat yang dapat merusak sendi-sendi harmonisasi
sosial dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).
Jika dikaitkan dengan konsep HAM di Indonesia,
sesungguhnya bukan menganut paham HAM yang mutlak/liberal, melainkan HAM yang
dibatasi nilai-nilai luhur sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa“,
yang menempatkan kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dilandasi oleh
nilai-nilai religius yang terkandung dalam semangat `ketuhanan', yakni
menghormati dan memuliakan martabat orang lain serta tidak mengutamakan
kebebasan yang se bebas-bebasnya, sebagaimana konsep HAM dalam liberalisme
Barat.
Di titik ini, kehadiran SE merupakan respons
yang bernilai positif bagi masa depan HAM di Indonesia.Negara melalui
kepolisian yang merupakan komponen penting dalam menjaga tertib sosial (social order) telah memainkan
fungsinya secara inheren, dengan potensi-potensi konflik yang akan hadir di
tengah masyarakat majemuk.
Polri mitra masyarakat
SE Kapolri ini akan dapat bernilai positif
dalam menangani potensi konflik horizontal akibat dari adanya ujaran-ujaran
kebencian, apabila Polri mampu menempatkan dirinya sebagai mitra masyarakat
dalam upaya menegakan hukum tentang ujaran kebencian. Polri harus mampu
memonitori dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di
masyarakat, melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran
kebencian. Lalu, mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian
dengan korban ujaran kebencian, mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak
yang bertikai, dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari
ujaran kebencian di masyarakat.
Namun sebaliknya, jika tindakan aparat Polri
dalam menangani ada nya ujaran kebencian di masyarakat ini tidak mengutamakan
tindakan preventif dan edukatif, SE ini berpotensi menjadi momok yang
menakutkan masyarakat, karena bisa saja aparat Polri bertindak layak intel
atau mata-mata (spionase) kekuasaan politik. Seperti terjadi di era Orde Baru
(Orba) yang tecermin dengan didirikannya Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban) pada 10 Oktober 1965, sepekan setelah pemberontakan
G/30/S/PKI.
Kopkamtib ini diberi mandat oleh Orba untuk
seolah-olah mengawasi semua perilaku dan gerak-gerik ma syarakat menuju
masyarakat yang tertib (social order). Namun, sejatinya hanya untuk mengintai
lawan-lawan politik kekuasaan saat itu. Jika sikap dan tindakan Polri dengan
SE ini seperti Kopkamtib, tentu menjadi sangat membahayakan hak asasi manusia
(HAM) yang telah dijamin dalam Pasal 27 UUD 1945 Pascaamendemen.
Zaman telah berubah dan dinamika konflik
masyarakat kian bertambah, maka watak dan perangai aparat Polri juga harus
berubah supaya tidak bersedia dimanfaatkan kekuasaan tertentu untuk mengintai
dan memberangus lawan-lawan politik kelompok tertentu. Ciri negara hukum yang
demokratis adalah negara yang mampu melindungi warganya dari ancaman
ketakutan perilaku kejam aparat negara untuk berekspresi atau berwacana
melalui media-media publik.
Menurut Gurcan Kocan (2008) dalam Model of Public Sphere in Political
Philosophy, mengingatkan bahwa dalam demokrasi harus tersedia ruang-ruang
yang bebas bagi masyarakat (public
sphere), untuk digunakan berekspresi tanpa harus merasa diintervensi
aparat negara. Ciri masyarakat dewasa adalah masyarakat yang secara ha kiki
mampu untuk mengontrol dirinya sendiri atas produk kebebasan berekspresi,
baik melalui upaya saling memahami, berdialog, dan bertukar gagasan sebagai
bentuk pengejawantahan hak asasi manusia (HAM) secara alamiah.
Harus elegan
Polri dalam menjalankan SE ini seharusnya
secara elegan, yakni hanya dalam tataran untuk memberikan jalan bagi
kemudahan masyarakat agar tidak mudah dijerat dengan UU ITE yang telah banyak
menelan korban. Perbuatan pencemaran nama baik, paling tidak sejak UU ITE
diterapkan pada medio 2008-2015 ini telah menelan korban sebanyak 166 orang.
(Editorial, Media Indonesia, 3 November 2015).
Cara lain agar SE ini dapat produktif dalam
menyokong HAM, dan bahkan akan dapat berpotensi mengurangi jumlah orang yang
melakukan ujaran kebencian dalam bentuk orasi kegiatan kampanye, spanduk atau
banner, termasuk dalam jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka
umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa cetak atau elektronik,
pamflet, maka aparat Polri perlu melakukan sosialisasi yang masif terhadap SE
ini. Dengan menggandeng tokoh agama, masyarakat, pemuda, organisasi
masyarakat sipil, dan perguruan tinggi, sebagai bentuk tanggung jawab negara
dalam upaya melindungi jatuhnya korban sia-sia akibat pertikaian dan konflik
horizontal terkait ujaran provokatif yang mengandung kebencian.
Polri perlu tetap mengutamakan pencegahan
dalam upaya mengantisipasi muncul potensi konflik atau kerusuhan sosial
akibat provokasi ujaran kebencian. Penegakan hukum hendaknya menjadi pilihan
terakhir dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak salah
sasaran. Ini semata-mata dimaksudkan agar tidak melahirkan multitafsir yang
tak produktif atas hadirnya SE ini. Apalagi, jika muncul anggapan spekulatif
bahwa SE ini didesain dan dipersiapkan untuk membungkam rakyat yang kritis
terhadap pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar