Selasa, 01 Juni 2021

 

Tanggung Jawab Negara Melindungi

Sasmini ; Doktor Hukum Internasional dan Nasional Indonesia, Dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

KOMPAS, 31 Mei 2021

 

 

                                                           

Tanggal 18 Mei 2021 jadi momen penting konsep ”responsibility to protect” atau tanggung jawab untuk melindungi. Dalam Sidang Ke-75 Majelis Umum PBB itu, berlangsung sidang pleno yang membahas responsibility to protect (RtoP).

 

Lebih dari 70 persen negara yang hadir mendukung RtoP menjadi agenda tahunan Majelis Umum dan meminta Sekjen PBB melaporkan perkembangan RtoP setiap tahun sesuai Resolusi Majelis Umum PBB A/75/L82.

 

RtoP adalah tanggung jawab negara untuk mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan kemanusiaan. Saat ini RtoP didukung oleh 115 negara, 28 abstain, dan 15 menentang.

 

Sayangnya Indonesia termasuk salah satu negara yang menolak resolusi tersebut, selain Belarus, Bolivia, Burundi, China, Kuba, Korea Utara, Mesir, Eritrea, Kirgistan, Nikaragua, Rusia, Suriah, Venezuela, dan Zimbabwe.

 

Konsep RtoP

 

Konsep RtoP muncul 2001 dalam laporan International Commission on Intervention and State Sovereignty (ICISS) berjudul ”Responsibility to Protect”. Konsep ini menekankan tanggung jawab negara melindungi populasinya dari ancaman serius krisis kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan merupakan upaya terakhir ketika semua upaya preventif gagal.

 

RtoP muncul sebagai reaksi atas kegagalan masyarakat internasional mencegah genosida di Rwanda tahun 1994 dan di Srebrenica 1995. Juga intervensi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Kosovo tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB yang memicu perdebatan tentang legalitas dan legitimasi intervensi kemanusiaan yang bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara, nonintervensi, dan larangan penggunaan kekuatan.

 

Konsep RtoP mendapat sambutan masyarakat internasional lagi dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB 2005 yang secara eksplisit memasukkan RtoP dalam dokumen hasil KTT Dunia, khususnya pada Paragraf 138, 139, dan 140. Ini yang kemudian diadopsi melalui Resolusi Majelis Umum PBB A/60/I tanggal 24 Oktober 2005.

 

RtoP mengandung pengertian bahwa setiap negara bertanggung jawab melindungi populasinya dari kejahatan massal. Masyarakat internasional juga bertanggung jawab membantu dan membangun kapasitas negara yang bersangkutan. Jika negara gagal melaksanakan tanggung jawabnya, tanggung jawab beralih kepada masyarakat internasional. Mekanismenya mengacu pada Bab VI, VII, dan VIII Piagam PBB.

 

Berdasarkan pengertian tersebut, Sekjen PBB Ban Ki-moon merumuskan RtoP terdiri atas tiga pilar: tanggung jawab perlindungan pada negara (the protection responsibilities of the state); bantuan internasional dan pembangunan kapasitas (international assistance and capacity-building); dan respons yang tepat waktu dan tegas (timely and decisive response).

 

Pilar ketiga RtoP kemudian menimbulkan perdebatan dan sering dipahami sebagai intervensi kemanusiaan karena pilar ketiga membolehkan intervensi kemanusiaan.

 

Setelah diterimanya RtoP dalam Dokumen Hasil KTT Tahun 2005, topik RtoP ini terus menjadi diskusi. Doktrin ini beberapa kali dikuatkan dan dilaksanakan oleh DK PBB untuk merespons krisis kemanusiaan di beberapa negara.

 

Sejak 2009, Sekjen PBB juga membuat laporan tahunan untuk mempromosikan doktrin RtoP. Untuk mendukung pengembangan doktrin ini dibentuk tim penasihat khusus untuk Sekjen PBB terkait pencegahan genosida dan RtoP. Rapat pleno pada Sidang Ke-75 Majelis Umum PBB Tahun 2021 adalah kali keempat RtoP resmi masuk agenda Majelis Umum.

 

Posisi Indonesia

 

Indonesia merupakan salah satu anggota ASEAN yang masih enggan menerima RtoP. Padahal, pada KTT Dunia, 14-16 September 2005, Presiden RI kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono, resmi menerima dan mendukung RtoP.

 

Dapat dikatakan Indonesia secara resmi telah menerima tanggung jawab RtoP dan ketiga pilarnya. Meski demikian, rupanya Indonesia bersikap hati-hati dalam pelaksanaan pilar III RtoP. Hal tersebut tampak dari posisi abstain Indonesia.

 

Indonesia memandang pilar I RtoP sebagai yang terpenting, seperti disampaikan Duta Besar RI untuk PBB dalam Sidang Pleno Ke-97 Majelis Umum PBB, Juli 2009. Posisi yang sama atas RtoP juga ditekankan Indonesia dalam beberapa forum internasional lain.

 

Intinya, penerimaan Indonesia atas RtoP fokus pada upaya pencegahan, bantuan internasional, dan penguatan kapasitas. RtoP tidak boleh untuk menurunkan kedaulatan negara mana pun dan Indonesia percaya bahwa kedaulatan negara harus tetap dihormati sesuai Piagam PBB.

 

Keputusan Indonesia menolak Resolusi MU A/75/L82 pada Sidang Ke-75 MU ini bisa dibilang langkah mundur atas penerimaan RtoP, atas komitmen perlindungan HAM, dan atas perlindungan umat manusia dari kekejaman massal.

 

Perlu mendukung

 

Indonesia perlu mendukung RtoP di forum internasional dan melaksanakannya di tingkat nasional dengan alasan filosofis, yuridis, dan faktual.

 

Pertama, secara filosofis, nilai-nilai yang melandasi kehidupan bangsa Indonesia berkesesuaian dengan nilai-nilai RtoP. Kehidupan bangsa Indonesia bersendikan ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, dan kerakyatan yang tertuang dalam Pancasila.

 

Kedua, dari sisi hukum, konstitusi dan peraturan perundang-undangan di Indonesia mengakui dan mengamanatkan perlindungan HAM setiap individu. Tanggung jawab negara melindungi HAM ada dalam Pasal 28I UUD 1945 dan Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 selaras dengan pilar I RtoP yang meletakkan tanggung jawab utama pada pemerintah untuk melindungi penduduknya dari kejahatan massal.

 

Tanggung jawab memberi bantuan internasional dan mendorong negara membangun kapasitas untuk mencegah dan menghentikan kekejaman massal sebagaimana pilar II dan III RtoP selaras dengan tanggung jawab negara merealisasikan nilai-nilai kemanusiaan yang secara bebas-aktif ”ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” sebagaimana alinea 4 Pembukaan UUD 1945.

 

Ketiga, secara faktual, Indonesia merupakan negara rentan konflik dan pernah mengalami peristiwa pelanggaran HAM berat yang masuk lingkup kejahatan RtoP, di antaranya tragedi pembantaian 1965-1966, kekerasan di Timor Timur, dan konflik Papua.

 

Seharusnya Indonesia dapat mendukung dan mengimplementasikan RtoP, khususnya pilar I dan II, dengan membangun kebijakan yang lebih melindungi populasinya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar