Jumat, 18 Juni 2021

 

Fobia Pengurangan Stimulus AS

Anton Hendranata ;  Chief Economist PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, Research Director of BRI Research Institute)

KOMPAS, 17 Juni 2021

 

 

                                                           

Dalam satu atau dua bulan terakhir, kita terusik, waswas, dan ketakutan akan dampak langkah pengurangan stimulus moneter atau tapering off yang mungkin akan segera dilakukan Bank Sentral AS yang dikenal dengan sebutan The Fed.

 

Tapering off yang dilakukan oleh The Fed adalah pengurangan pembelian surat berharga secara bertahap. The Fed mencoba mengurangi stimulus moneternya atau tetap menyuntik dollar AS ke dalam sistem keuangan ekonomi AS, tetapi dengan kadar yang lebih kecil. Injeksi uang beredar yang masif dan berlimpah untuk memulihkan perekonomian AS saat dilanda krisis ekonomi, akan dikurangi besarannya, sesimpel itu sebenarnya.

 

Tapering off seakan-akan telah menodai perekonomian global yang sedang berbulan madu, yang lagi asyik-asyiknya menikmati pemulihan setelah resesi ekonomi tahun 2020. Tapering off membuat dunia serasa hampir kiamat saja, bagi orang yang tidak siap lahir batin.

 

Seharusnya kata tapering off disikapi dengan wajar, bijak, dan hati-hati. Secara harfiah tapering off artinya berangsur-angsur berkurang. Hal ini eksplisit mencerminkan penurunan atau pengurangan secara perlahan, bertahap, dan gradual. Bukan dadakan, bukan pengurangan secara drastis, yang semestinya tidak menimbulkan gejolak signifikan atau shock dalam perekonomian.

 

”Taper tantrum” 2013

 

Namun, kenapa tapering off cenderung distempel super negatif oleh sebagian besar investor dan analis? Hal ini tidak lain karena pengalaman buruk taper tantrum—koreksi terhadap periode quantitative easing di mana bank sentral membeli aset keuangan bank komersial dan institusi swasta lain sehingga menambah suplai uang dalam perekonomian AS tahun 2013—yang menimbulkan trauma sampai sekarang.

 

Mari kita lihat kejadian persisnya sebelum taper tantrum 2013 terjadi. Krisis ekonomi AS pada 2008/2009 menyebabkan The Fed mengambil langkah ekstrem dalam kebijakan moneternya untuk menyelamatkan dan memulihkan perekonomian AS. The Fed tak tanggung-tanggung memberikan dua antibiotik sekaligus.

 

Pertama, suku bunga rendah mendekati nol persen dengan menurunkannya dari 4,25 persen per Desember 2007 menjadi 0,25 persen pada Desember 2008. Turun 4,0 persen hanya dalam kurun setahun. Suku bunga rendah 0,25 persen dipertahankan selama tujuh tahun hingga November 2015.

 

Sementara yang kedua kebijakan quantitative easing/QE (pembelian surat berharga milik pemerintah dan swasta oleh The Fed) yang super masif. Likuiditas dollar AS saat itu diguyurkan ke perekonomian AS. Dollar AS yang digelontorkan sekitar 3,607 miliar dollar AS selama 2008-2014. Akibatnya, aset The Fed naik signifikan 405 persen dari 891 miliar dollar AS tahun 2007 menjadi 4.498 miliar dollar AS tahun 2014.

 

Kedua antibiotik ini ternyata cukup ampuh mengobati perekonomian AS yang resesi tahun 2008/2009. Perekonomian AS berangsur pulih bertahap, pada saat itulah The Fed mencoba mengurangi dosis antibiotik QE-nya, disebut sebagai taper tantrum 2013. Pasar tak menduga secepat itu The Fed melakukan tapering off pada Desember 2013. Pro dan kontra menyelimuti kebijakan ini. Akibatnya, pasar finansial global bergejolak, aliran modal asing berlarian dari Emerging Markets ke AS.

 

Dampak ke Indonesia

 

Kondisi ini sangat mengguncang pasar finansial Indonesia. Imbal hasil obligasi RI tenor 10 tahun mengalami tekanan sangat dalam. Rata-rata imbal hasil obligasi 10 tahun sekitar 5,4 persen pada periode sebelum tapering off (Desember 2012-Mei 2013). Kemudian naik signifikan 2,4 persen ke 7,8 persen pada Juni-November 2013. Dan semakin tertekan lagi pada periode tapering off (Desember 2013-Oktober 2014), dengan rata-rata imbal hasil 8,3 persen.

 

Guncangan juga terjadi di pasar saham, tetapi tak sedahsyat di pasar obligasi. Rata-rata indeks harga saham 4.709 pada periode sebelum tapering off (Desember 2012-Mei 2013). Selanjutnya turun signifikan dari 4,7 persen ke 4.490 pada Juni-November 2013. Kemudian indeks pulih ke 4.813 saat tapering off (Desember 2013-Oktober 2014). Gejolak di pasar obligasi dan saham menyebabkan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah signifikan sekitar 20,8 persen dari Rp 9.698 ke Rp 11.814. Tekanan ini terus berlanjut setelah tapering off ke Rp 13.236 AS pada periode November 2014-Desember 2015.

 

Melihat kondisi ini dan gejolak yang terjadi di pasar obligasi, saham, dan nilai tukar rupiah, wajar dampak negatif taper tantrum 2013 sangat membekas dan menimbulkan traumatik ke perekonomian nasional.

 

Pertanyaannya, mengapa taper tantrum 2013 membuat pasar finansial global dan Indonesia mengalami tekanan yang dalam dan sangat berfluktuatif? Bukankah makna tapering off secara harfiah adalah penurunan stimulus moneter secara bertahap, tak dadakan? Kami duga penyebabnya ada perbedaan persepsi yang signifikan antara analisis di pasar dan keputusan The Fed terkait pemulihan ekonomi AS. Di satu sisi, The Fed cukup yakin perekonomian AS pulih dengan sangat solid. Sementara analisis di pasar sepertinya meragukan itu.

 

Jika ditelusuri tren indikator perekonomian AS secara rinci, baik dari sisi permintaan, suplai, tenaga kerja, maupun inflasi, maka terbukti pemulihan ekonomi AS tidaklah solid, tetapi cenderung bergerak mix antarsatu variabel dengan variabel makro-ekonomi lainnya. Contohnya, dari sisi permintaan, tren pertumbuhan penjualan eceran cenderung melambat dari 6,7 persen pada Desember 2010 ke 3,5 persen pada Desember 2013. Sementara penjualan kendaraan bermotor meningkat dari 12,4 juta ke 15,5 juta. Dari sisi inflasi, sangat jelas permintaan domestiknya belum begitu kuat, tercatat masih jauh di bawah 2 persen pada Desember 2013.

 

Bagaimana dengan kondisi sekarang? jika The Fed akan kembali melakukan tapering off dalam waktu dekat. Rasanya kondisi perekonomian AS saat ini, jauh berbeda dengan taper tantrum 2013. Kami kira dampak negatif tapering off, tak sedasyat taper tantrum 2013. Titik krusialnya tergantung pada komunikasi Gubernur Bank Sentral AS Jeremy Powell.

 

Jika ini bisa dikomunikasi dengan baik ke pelaku pasar dan jelas pesannya, kami kira dampak buruknya bisa dimitigasi banyak negara, termasuk negara berkembang (Indonesia). Komunikasi adalah sangat penting dan ini seni tingkat tinggi. Komunikasi adalah bagian dari kebijakan yang tidak bisa dipisahkan dari kebijakan itu sendiri.

 

Pemulihan AS sangat solid

 

Berbagai indikator makro-ekonomi AS akhir-akhir ini menunjukkan tren perkembangan data yang sangat jelas dan pemulihan ekonomi yang sangat solid. Pertama, dari sisi permintaan. Pertumbuhan penjualan ritel naik signifikan dari 2,3 persen di Desember 2010 ke 51,2 persen pada April 2021. Penjualan kendaraan bermotor sangat tinggi 16,3 juta pada Desember 2020 dan naik lagi ke 17 juta pada Mei 2021. Indeks Kepercayaan Konsumen juga menunjukkan optimisme selama dua bulan terakhir, yaitu 117 pada April dan Mei 2021, dari pesimisme 87,1 pada Desember 2020.

 

Kedua, dari penawaran. Pertumbuhan produksi industri meningkat tajam dari minus 3,2 persen Desember 2020 ke 16,5 persen April 2021. PMI komposit (manufaktur dan jasa) dari 55,3 di Desember 2020 ke 68,7 pada Mei 2021 (berada di zona ekspansif), dan utilisasi kapasitas produksi di kisaran 74 persen selama periode Desember 2020-April 2021.

 

Ketiga, dari sisi pasar tenaga kerja. Tingkat pengangguran turun signifikan dari 6,7 persen di Desember 2020 menjadi 5,8 persen pada Mei 2021. Begitu juga, klaim pengangguran awal (initial jobless claims) turun tajam dari 763 ke 385 pada periode sama. Sementara laju pembukaan pekerjaan baru meningkat dari 4,5 persen menjadi 5,3 persen.

 

Keempat, tren data output gap yang mencerminkan perbedaan output aktual dan output potensial. Jika output gap negatif, ini berarti output aktual berada di bawah output potensialnya. Sebaliknya, output gap positif artinya output aktual di atas output potensialnya. Perekonomian yang baik dan dalam tren positif adalah output gap menuju ke arah positif. Terbukti output gap AS cenderung bergerak ke arah positif. Output gap AS tercatat minus 10,1 persen pada triwulan II-2020, diperkirakan akan membaik pada triwulan III-2021 sekitar minus 1,3 persen, dan terus membaik ke minus 0,8 persen di triwulan IV-2022.

 

Berdasarkan data yang sangat komprehensif, kami berpendapat pelaku pasar sudah mulai mengantisipasi (price in) bahwa tapering off AS akan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Dampak negatif tapering off seharusnya tak seburuk taper tantrum 2013. Namun, sekali lagi, tergantung komunikasi yang mulus dan efektif dari The Fed, kapan tapering off akan dilakukan?

 

Pemerintah, otoritas moneter, dan pelaku usaha tetap harus berhati-hati dengan risiko yang tak terduga dari tapering off. Tapering off pasti akan terjadi, karena ini tindakan normal. Jadi bereaksilah secara normal dan terukur. Antibiotik QE memang harus dicabut, agar perekonomian bisa tumbuh secara natural dan berkesinambungan, bukan terus-terusan diberikan ’doping’. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar