Rabu, 23 Juni 2021

 

Keadilan Sosial dalam Pembiayaan Pendidikan

Anita Lie ;  Guru Besar Unika Widya Mandala Surabaya

KOMPAS, 21 Juni 2021

 

 

                                                           

”Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Demikian bunyi Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945. Sejak kemerdekaan Indonesia, negara sudah berupaya memenuhi kewajiban menyediakan layanan dasar pendidikan bagi semua anak secara bertahap. Berbagai kebijakan dalam beberapa periode pemerintahan menggerakkan peningkatan akses terhadap pendidikan dasar.

 

Sejak awal 2000-an, penambahan anggaran pendidikan telah meningkatkan angka partisipasi sekolah sampai 31 persen melalui penambahan 10 juta siswa sekolah dasar dan menengah (Bank Dunia, The Promise of Education, 2020).

 

Di balik berbagai capaian ini, pendidikan di Indonesia dinilai masih membutuhkan banyak perbaikan. Lamanya belajar di sekolah tak sama dengan capaian kemampuan belajar. Walaupun rata-rata anak Indonesia belajar selama 12,4 tahun, kemampuan rata-ratanya hanya setara dengan belajar 7,8 tahun (Human Capital Index, 2020).

 

Di tengah gambaran ini, kebocoran RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) memicu polemik terkait rencana Pajak Penambahan Nilai (PPN) atas jasa pendidikan. Isu keadilan sosial dalam pembiayaan pendidikan jadi salah satu tantangan berat untuk mewujudkan pemerataan akses pendidikan bermutu bagi semua anak Indonesia. Artikel ini menyoroti disparitas layanan pendidikan dan harapan terhadap perwujudan nilai keadilan sosial dalam pembiayaan pendidikan.

 

Kesenjangan pendidikan

 

Keterbelahan digital (digital divide) makin tampak nyata selama masa pandemi Covid-19. Berbagai survei menemukan mayoritas siswa menyatakan tak ada interaksi yang dilakukan guru selama kegiatan belajar dari rumah di tengah pandemi.

 

Penelitian kami secara mendalam menggali pengalaman dan perspektif guru di empat provinsi menemukan ada spektrum yang sangat variatif dalam pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi (Lie dkk, PDUPT, Kemenristek-BRIN, 2020).

 

Ada guru yang sudah terampil menggunakan sistem kelola pembelajaran (learning management system) beserta dengan perangkat konferensi audio-video dan saluran komunikasi. Bahkan, selama 2,5 semester masa PJJ, ada akselerasi sebagian kecil guru dalam penguasaan teknologi PJJ.

 

Sebagian masih mengandalkan buku paket yang dibawa siswa pulang dan saluran komunikasi, seperti Whatsapp dan Line, yang sebenarnya tergolong primitif untuk keperluan PJJ, tetapi menjadi satu-satunya pilihan karena keterbatasan infrastruktur.

 

Lebih parah lagi, beberapa guru mengakui PJJ tak terjadi karena siswa tak punya gawai serta akses jaringan (termasuk akses ke TVRI) dan rumah mereka berjauhan. Sebagai guru berdedikasi, mereka mengungkapkan rasa penyesalan dan frustrasi atas ketidakberdayaan mereka mengatasi situasi ini.

 

Disparitas layanan pendidikan ini terjadi bukan hanya antardaerah, melainkan juga di dalam satu daerah dan menjadi cermin kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat Indonesia.

 

Pada sebagian sekolah yang menampung anak-anak dari kelas menengah dan atas, PJJ justru membuka banyak cakrawala pembelajaran dan memungkinkan mereka menikmati pembelajaran kelas dunia dengan menembus batas kurikulum, ruang, dan waktu melalui penggunaan jaringan telekomunikasi yang sudah menjadi kebutuhan pokok yang bisa dijangkau. Ironisnya, pada banyak sekolah, PJJ tidak terjadi karena hambatan akses.

 

Faktor penandanya bukan negeri atau swasta, urban atau rural, dan sekolah penerima atau nonpenerima dana BOS, melainkan kelas sosial-ekonomi orangtua siswa. Yang perlu dicatat, pandemi ini bukan faktor penyebab disparitas layanan pendidikan, melainkan jadi kaca pembesar yang membuat permasalahan keadilan sosial di sektor pendidikan jadi lebih gamblang.

 

Peserta didik yang tertinggal selama pandemi adalah anak-anak yang juga berpotensi tersisih dalam lintasan pacu di luar masa pandemi.

 

Sebagian anak-anak ini kemungkinan juga tersisih dalam seleksi sekolah-sekolah negeri dengan kapasitas terbatas dan harus ditampung di sekolah-sekolah swasta yang berjuang memadukan antara dana BOS dan SPP yang sering tersendat dengan pengeluaran sekolah, termasuk gaji guru yang minim.

 

Sementara anak-anak dari keluarga kaya justru menikmati pendidikan gratis tanpa PPN di sekolah negeri unggulan karena berbagai prestasi yang dipacu oleh privilese dari keluarga.

 

Harapan keadilan sosial

 

Pengenaan PPN multitarif terhadap jasa pendidikan mengandung nilai mulia keadilan sosial. Tebersit harapan cita-cita pemerataan mutu pendidikan bagi semua anak Indonesia bisa diperjuangkan melalui prinsip solidaritas dan subsidiaritas.

 

Keluarga kaya membayar lebih bagi pendidikan anaknya, sementara alokasi anggaran pendidikan yang berdiferensiasi bisa tepat sasaran agar anak keluarga miskin juga menikmati pendidikan bermutu melalui penyetaraan mutu guru, ketersediaan sarana-prasarana di sekolah (negeri atau swasta) yang bisa menampung anak-anak yang berpotensi tersisih.

 

Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 tentang hak pendidikan bagi setiap warga negara diikuti dengan Ayat (2) tentang kewajiban pemerintah untuk membiayainya dan Ayat (3) yang berbunyi, ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”, serta Ayat (4) yang merumuskan anggaran pendidikan 20 persen.

 

Target pemenuhan kewajiban Pasal 31 ini secara superfisial telah memacu peningkatan angka partisipasi sekolah yang dibanggakan oleh pemerintah pusat dan daerah.

 

Namun, dunia mencatat capaian angka partisipasi dan besarnya anggaran yang sudah digelontorkan untuk sistem pendidikan ternyata belum berhasil mendongkrak mutu pendidikan dengan indikator kemampuan dan keterampilan peserta didik. Selain itu, alokasi anggaran pendidikan yang tidak berdiferensiasi di lapangan telah memunculkan ketidakadilan dalam pembiayaan pendidikan.

 

Rencana pengenaan PPN multitarif terhadap jasa pendidikan memang masih harus dimatangkan dan disempurnakan. Kebijakan publik yang efektif tidak cukup bersumber dari suatu nilai mulia, tetapi perlu memikirkan hilir implementasinya. The devil is in the details of implementation.

 

Sebaliknya, membenturkan itikad mewujudkan keadilan sosial dalam pembiayaan pendidikan dengan Pasal 31 UUD 1945 dan melabelinya inkonstitusional pada tahap yang masih sangat dini berpotensi membuat kita terjebak dalam kubangan pencapaian minimalis amanah undang-undang.

 

Selain itu, kewajiban negara dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan seyogianya tak menutup ruang peran dan tanggung jawab masyarakat untuk bergotong royong mewujudkan solidaritas dan subsidiaritas untuk kebaikan bersama.

 

Kita berharap polemik yang terjadi seputar PPN multitarif atas jasa pendidikan bisa mengalir dan berkembang menjadi diskursus konstruktif nonpartisan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam pembiayaan pendidikan agar anak Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan bermutu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar