Rabu, 23 Juni 2021

 

Kesadaran Kebencanaan dan Kesehatan Kota

Nirwono Joga ;  Pusat Studi Perkotaan

KOMPAS, 22 Juni 2021

 

 

                                                           

Pandemi Covid-19 belum mampu membangun kesadaran masyarakat terhadap bencana kesehatan dan lingkungan. Lalu ancaman bencana apa yang lebih ditakuti masyarakat, apakah banjir, krisis air bersih, kekeringan, kebakaran hutan, limbah sampah, polusi udara, gempa bumi, atau penularan Covid-19? Mengapa bencana kesehatan lebih menakutkan dibandingkan dengan bencana lingkungan?

 

Penyebaran virus yang cepat ke seluruh dunia, ragam virus varian yang terus bermutasi, jumlah penularan yang meningkat, angka kematian yang tinggi, meski jumlah pasien yang sembuh jauh lebih banyak, telah memenuhi ruang publik masyarakat. Dampak yang diakibatkan jauh lebih masif melampaui batas negara, memasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat.

 

Ancaman penyebaran virus telah mengungkap kerapuhan globalisasi dan memunculkan sikap glokalisasi. Ketakutan berlebih pada Covid-19 (coronaphobia) muncul. Negara/kota/wilayah menutup diri, melakukan proteksi (karantina/isolasi) dan fokus pada diri sendiri. Mereka semakin ego dengan ekspresi nasionalisme dan xenofobia dengan tujuan untuk melindungi warganya terlebih dahulu. Pengawasan ketat terhadap mobilitas penduduk dengan melakukan karantina dan melarang masuk warga dari luar wilayah.

 

Lalu langkah apa yang harus dilakukan? Pertama, pandemi Covid-19 memiliki dampak mikro dan makro dalam kehidupan manusia yang mencapai titik transformasi kultural pada momen terciptanya ketakutan. Semakin tinggi angka kematian, maka semakin meningkat kesadaran warga untuk melindungi diri dan memilih arah kesadaran akan kesehatan.

 

Imaji sosiologis terhadap virus yang mematikan telah memandu masyarakat untuk mengubah perilaku secara radikal dalam waktu singkat. Kepanikan merupakan salah satu kata yang disematkan pada situasi ketika manusia memiliki keterbatasan dalam bertindak saat menghadapi ancaman.

 

Kedua, kesadaran kesehatan masyarakat meningkat sementara kesadaran lingkungan tidak berubah. Tata kelola penanganan Covid-19 difokuskan pada regulasi kesehatan masyarakat serta dilakukan secara maksimal untuk menekan laju penyebaran virus, jumlah korban, jumlah kematian, dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional.

 

Kekuatan media sosial terhadap penyebaran virus memberikan tekanan kognitif dan psikologis, serta menimbulkan demarkasi kesadaran selama pandemi sehingga kesehatan menjadi prioritas utama dibandingkan kesadaran ekologis. Perubahan paling signifikan ialah kesadaran masyarakat meningkat akan pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan kala pandemi.

 

Ketiga, tata kelola kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan tergolong rendah. Kesadaran ekologis dianggap sebagai agenda seremonial, tidak terkait dengan perputaran ekonomi dan ancaman kematian yang setiap saat dapat terjadi. Jika bencana lingkungan muncul dalam waktu singkat dan berdampak signifikan terhadap politik ekonomi nasional/global, bisa jadi kesadaran lingkungan akan meningkat.

 

Berita ada 200 ton limbah medis tidak terolah dengan baik setiap hari (Ombudsman Indonesia, 2021), peningkatan volume sampah medis (April 2020-Januari 2021) sekitar 12.785 ton yang berasal dari rumah tangga, fasilitas kesehatan, dan rumah sakit (Nababan, 2021), serta limbah masker APD mencemari muara Sungai Cilincing, Marunda, dan Teluk Jakarta (Ruhyani, 2020) belum menjadikan kesadaran lingkungan tengah terancam.

 

Keempat, peningkatan kesadaran kesehatan masyarakat ditunjukkan dengan kedisiplinan menerapkan 5M. Warga wajib memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan/keramaian, serta membatasi mobilitas keluar rumah. Pola hidup bersih dan sehat dilakukan dengan makan makanan sehat, bergizi, dan higienis, olahraga teratur, istirahat cukup, dan menghindari stres. Hasilnya ialah imunitas meningkat, kesehatan terjaga, dan modal sosial semakin kuat.

 

Belajar, bekerja, berniaga, dan beribadah dari rumah merupakan bagian dari membatasi mobilitas. Penerapan kebijakan ganjil genap, kawasan rendah emisi (bebas kendaraan bermotor), pemeriksaan perjalanan, dan penyekatan di perbatasan bertujuan menekan penyebaran virus. Hasilnya tampak pada perbaikan kualitas lingkungan, seperti penurunan polusi udara, langit lebih cerah, lalu lintas lebih lancar, stres di perjalanan berkurang.

 

Kelima, pembenahan struktur ruang kota sebagai pembentuk budaya kesehatan dan lingkungan. Peremajaan perumahan dan permukiman didukung pusat pelayanan lingkungan, transportasi massal terpadu, infrastruktur jalan (trotoar, jalur sepeda, jalur evakuasi), jaringan utilitas (air bersih, gas, listrik, internet), sanitasi komunal, pengolahan sampah dan limbah, taman dan kebun pangan.

 

Kesadaran nilai budaya baru untuk berjalan kaki atau bersepeda aktivitas harian dalam jarak dekat, menggunakan transportasi massal untuk bepergian jauh, hemat air, hemat listrik, kebersihan lingkungan, kohesi sosial. Kualitas ruang kota terjaga, kota semakin humanis. Kesadaran hidup sehat dan peduli lingkungan akan meningkat dan mewujud dalam peradaban ekologis kota. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar