Rabu, 23 Juni 2021

 

Project Multatuli, Sebuah Janji Inovasi

Ignatius Haryanto ;  Pengajar Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara

KOMPAS, 20 Juni 2021

 

 

                                                           

Awal Juni kemarin, hadirlah sebuah situs berita baru di Indonesia bernama Project Multatuli (projectmultatuli.org). Salah satu pendirinya, Evi Mariani, yang pernah menjadi redaktur pelaksana di koran The Jakarta Post, mengatakan bahwa nama Multatuli dipilih karena ia sosok yang mengangkat kisah orang pinggiran, kisah orang yang tak bisa bersuara untuk didengar di permukaan.

 

Multatuli adalah nama pena Eduard Douwes Dekker, penulis buku Max Havelaar. Dia seorang humanis yang simpati pada penderitaan masyarakat Hindia Belanda atas kolonialisasi yang dilakukan negeri asalnya.

 

Pada situs web Project Multatuli tertuliskan manifesto: ”Project Multatuli ini adalah sebuah inisiatif jurnalisme yang ingin melayani publik dengan mengangkat suara-suara dipinggirkan, komunitas-komunitas yang diabaikan, dan isu-isu mendasar yang disisihkan”.

 

Evi Mariani dalam pidato pembukaannya juga menyebutkan, ”Project Multatuli adalah sebuah gerakan jurnalisme publik yang dibangun saat pandemi, di tengah meningkatnya polarisasi politik dan konservatisme, dan kemunduran demokrasi. Kami lahir sebagai otokritik terhadap industri media di Indonesia yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha yang dekat dengan penguasa dan didominasi praktik-praktik jurnalisme yang disetir pasar yang memaksa jurnalis mengejar klik semata sehingga abai terhadap jurnalisme yang berkualitas. Industri media di Indonesia adalah bagian dari status quo yang lebih banyak melayani elite, dan didominasi perspektif laki-laki serta bias perkotaan.”

 

Hari ketiga bulan Juni tersebut, Project Multatuli ini resmi menerbitkan liputannya dan ditandai dengan webinar dengan menggamit akademisi dari Australia, serta aktivis dari kelompok pemuda adat Nusantara, serta aktivis dari masyarakat miskin kota. Pada hari itu para pembaca sudah bisa mencecap jurnalisme seperti apa yang ditawarkan oleh  Project Multatuli ini.

 

Ada dua liputan yang sudah terbit. Pertama, esai foto tentang warga Baduy menjaga diri terhadap Covid-19. Kedua adalah liputan terhadap seorang perempuan pengemudi ojek daring yang justru bekerja pada hari Idul Fitri. Dua topik ini menggambarkan sebuah dunia yang jarang diliput media. Media yang meliput selama ini hanya tertarik pada kulit permukaan saja (masalah merger dua perusahaan start up raksasa, konflik antara pengemudi dan pengelola jasa daring terkait soal tarif layanan, kesejahteraan) sedangkan untuk masalah masyarakat adat, ia ada tetapi  sering dianggap tak ada.

 

Kearifan lokal yang sering menjadi pembicaraan di seminar-seminar dibuktikan langsung dengan melihat di lapangan, bagaimana kearifan lokal itu justru melindungi masyarakat Baduy dari terpaan virus Covid-19. Kita di wilayah Jabodetabek mungkin kerap menertawakan jika di jalan melihat dua orang berpakaian hitam dengan ubel di kepala bertelanjang kaki menyusuri jalan aspal. Mereka terlihat khas dengan tas tradisional anyaman, serta botol berisikan madu alam, hendak menemui pembeli. Itulah wajah orang Baduy yang sejauh ini dikenali ”orang Jakarta”.

 

Liputan soal perempuan pengemudi ojek daring (”Lebaran bersama Latifah, Menempuh 184 Km Mengantar Paket”) adalah contoh bagaimana ”jurnalisme sol sepatu” (istilah yang digunakan Sindhunata dalam kata pengantar buku Kartono Riyadi, dan juga istilah yang digunakan Paus Fransiskus dalam Hari Komunikasi Sosial Mei 2021) sungguh dilakukan untuk mendapatkan gambaran sejelas-jelasnya di lapangan.

 

Tulisan ini sendiri tergolong mewah. Tulisan sepanjang lebih dari tiga ribu kata ini adalah suatu kemewahan yang makin sukar ditemui dalam produk jurnalistik hari ini. Panjang tulisan yang demikian memberikan kita kepuasan atas detail-detail yang dihadapi oleh seorang perempuan orangtua tunggal dari lima anak untuk mengantar paket ke sudut-sudut Jabodetabek. Kita sebagai pembaca perlu bersabar untuk tidak buru-buru mengklik halaman lain sebuah situs. Penulis dan fotografer membuntuti Latifah selama hari pertama Lebaran kemarin dan perjalanan sehari itu ternyata mencapai 184 Km.

 

Di sini penulis jadi teringat dengan majalah Pantau, majalah yang pernah terbit pada tahun 2001-2004, dan sempat menjadi salah satu oase untuk sebuah liputan-liputan panjang. Sayang media ini tak bertahan lama, tetapi tulisan panjang yang pernah dimuat Pantau, tetap dikenang walau telah ditulis hampir dua dekade yang lalu.

 

Dalam percakapan di webinar awal Juni itu, Evi Mariani mengatakan bahwa Project Multatuli menganut prinsip slow journalism, sebagai lawan jurnalisme yang serba cepat, instan, tanpa detail penjelasan ataupun reportase yang cukup, dan berhubung buru-buru, apa yang disampaikan sering salah juga. Dengan pendekatan slow journalism, Project Multatuli berharap bisa menawarkan kedalaman dalam liputannya. Persis inilah jurnalisme yang diharapkan saat ini.

 

Dukungan publik

 

Tanpa malu Project Multatuli mengatakan bahwa mereka membutuhkan dukungan publik dalam arti donasi, berlangganan, selain mengharapkan dana dari donor, ataupun dari hasil jual jasa para pengelolanya.

 

Dalam hal dukungan publik seperti ini memang akan bisa menjadi tantangan besar. Seperti ada pemeo di kalangan masyarakat: yang ada di internet itu semuanya gratis. Padahal sesungguhnya tidak demikian juga. Barang yang berkualitas dan dihasilkan lewat kerja keras ya memang harus dihargai, dan barang seperti ini tidak tersedia di banyak tempat. Oleh karena itu, menghargai kerja jurnalistik semacam ini untuk menghasilkan informasi yang baik dan berguna tentu harus didukung.

 

Sama seperti banyak media mulai menerapkan pembayaran untuk masyarakat mengakses beritanya, berangkat dari pengandaian yang sama: apa yang ditawarkannya berbeda dari media kebanyakan. Ia menawarkan konten yang lebih dalam, lebih analitis, lebih eksklusif. Banyak model bisnis media di dunia menuju arah ke sana, walau Reuters Institute pernah mengingatkan dalam laporan Digital News Report tahun 2019 bahwa pembaca bisa dilanda subscription fatigue, kejenuhan untuk berlangganan.

 

Dukungan publik akan sukses sejauh ada kepercayaan (trust) dari masyarakat terhadap media tersebut, dan dari situ publik diharapkan tergerak untuk mendukungnya. Seberapa model bisnis seperti ini akan sukses di Indonesia, waktu pulalah yang akan mengujinya. Namun untuk sementara ini, kita berharap karya jurnalistik yang baik serta memberi ruang kepada mereka yang termarjinalkan akan terus kita dapat dari Project Multatuli.

 

Kita tentu berharap inisiatif seperti Project Multatuli ini akan berumur panjang, dan inisiatif serupa lebih banyak, dan pada akhirnya publik juga yang akan dapat manfaat dari hadirnya karya-karya jurnalistik yang berkualitas. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar