Rabu, 23 Juni 2021

 

Pudarnya Senyum Bahagia Anak-anak Metropolitan

Neli Triana ;  Wartawan (Penulis kolom “Catatan Urban”) Kompas

KOMPAS, 19 Juni 2021

 

 

                                                           

Celoteh anak-anak yang sulit dihentikan, tawa berderai diselingi pertikaian kecil, rumah tak pernah sepi dan susah rapi. Suasana ini mengakrabi orangtua sekaligus pekerja yang satu tahun terakhir mengalami masa bekerja dari rumah. Ribut dan ribet. Menyenangkan sekaligus merepotkan.

 

Namun, percayalah suasana itu menandakan anak-anak kita sehat jiwa raga dan bahagia. Kebahagiaan masa anak-anak menjadi amanat suci untuk terus dijaga agar ada dan berkembang menjangkiti anak-anak lain. Alasannya, perasaan bahagia makin menjauh dari anak-anak urban di masa pandemi ini.

 

Laporan hasil riset global yang diterbitkan Save The Children International berjudul ”The Hidden Impact of Covid-19 on Children in Urban Contexts: A Global Research Series” menunjukkan, hanya 22 persen anak-anak di kawasan perkotaan menyatakan dirinya bahagia dan 16 persen yang merasa santai. Angka ini berkorelasi dengan banyaknya anak yang merasa tegang, yaitu 53 persen, dan yang takut jatuh sakit mencapai 49 persen. Di perdesaan, anak-anak merasa lebih baik walau hanya beda tipis, yaitu lebih tinggi 4-10 persen untuk tiap kategori.

 

Penelitian ini dilaksanakan di 46 negara dengan pengambilan sampel pada 26 Mei-17 Juli 2020. Mereka yang berpartisipasi dalam riset ini adalah 31.683 orangtua dan pengasuh, serta 13.477 anak berusia 11-17 tahun. Sebanyak 55 persen dari responden dewasa dan 42 persen responden anak-anak berada atau tinggal di kawasan perkotaan. Sisa responden dari perdesaan. Sebagian responden sebelumnya telah terlibat dalam program Save the Children yang umumnya berfokus pada kawasan kumuh dan miskin.

 

Anak-anak yang terjebak dalam kondisi tidak nyaman berkorelasi dengan kondisi orangtua ataupun pengasuh mereka. Save the Children menjabarkan, ada 77 persen responden dewasa perkotaan merasa kurang bahagia. Di perdesaan, 64 responden merasakan hal sama.

 

Selain itu, 46 persen responden dewasa di kota merasa tidak berharga dan 50 persennya merasa kurang mampu dibandingkan saat sebelum pandemi. Di perdesaan, responden yang merasa tidak berharga hanya 27 dan yang tidak mampu 29 persen.

 

Serba merasa jauh dari bahagia dan kurang berkecukupan ini pun buntut cobaan lain yang menimpa para orangtua dan pengasuh di masa pandemi. Ada 82 responden di perkotaan yang kehilangan pendapatan dan 70 persennya mengalami pemotongan separuh dari pendapatan sebelum pandemi. Di kawasan urban, 49 responden bahkan kehilangan pekerjaannya. Responden perdesaan dengan situasi yang sama persentasenya lebih kecil.

 

Pendapatan yang berkurang maupun hilang membuat responden perkotaan makin sulit mengakses makanan yang bergizi seimbang, membiayai pendidikan, dan peralatan yang dibutuhkan. Sebagian responden dibayangi kekhawatiran terdepak dari tempat tinggalnya karena ketiadaan uang  membayar sewa atau cicilan rumah. Akibatnya, asupan makanan yang lebih sedikit dibandingkan sebelum pandemi dialami 39 persen responden anak-anak di kawasan urban.

 

Temuan kurang lebih sama ditunjukkan pula dari hasil riset Santi Kusumaningrum dan dua rekannya yang berjudul ”Children during the Covid-19 pandemic: children and young people’s vulnerability and wellbeing in Indonesia” (2021). Peneliti di Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) Universitas Indonesia tersebut menyatakan, meskipun anak-anak usia 0-18 tahun kurang berisiko tertular Covid-19 dibandingkan orang dewasa dan lanjut usia, anak-anak berisiko tinggi terganggu kehidupannya akibat pandemi. Mereka sangat terpengaruh oleh situasi dan kondisi di tempat mereka tumbuh dan berkembang.

 

Saat ini, jumlah populasi anak-anak mencapai sepertiga dari 270,2 juta jiwa penduduk di Indonesia. Dengan lebih dari 56 persen penduduk tinggal di wilayah urban, anak-anak pun kini lebih banyak menyesaki kota-kota di negeri ini. Sebagian dari anak-anak ini menjadi bagian dari keluarga miskin perkotaan.

 

Dari data hasil riset terdahulu yang dikutip Santi, sedikitnya 22 persen penduduk perkotaan masuk kategori miskin yang setara dengan sekitar 29 juta jiwa. Di Jakarta, 35 persen rumah tangga tinggal di daerah padat penduduk, dengan kondisi kurang akses terhadap air bersih dan sanitasi, perumahan tidak layak atau tanpa ruang publik terbuka. Sebanyak 28 persen penduduk Jakarta juga tinggal di hunian seluas kurang dari 7,2 meter persegi.

 

Dalam gambaran sebuah diagram, mereka yang tinggal di ruang-ruang sempit di kawasan padat selama ini beririsan cukup tebal dengan kelompok masyarakat miskin.

 

Di luar itu, secara umum masyarakat perkotaan yang miskin maupun tidak, juga banyak bekerja di sektor informal atau sektor usaha yang tidak berbadan hukum. Saat pandemi menerjang, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) gantungan hidup banyak keluarga banyak yang rontok. Padahal, mereka tidak memiliki jaringan pengaman sosial seperti yang mudah diakses oleh pekerja di perusahaan berbadan hukum. Hal ini menjauhkan tidak hanya orang dewasa yang kehilangan sumber rezeki, tetapi juga anak-anak tanggungan mereka, dari layanan kesehatan dan bantuan sosial yang diperlukan.

 

”Dalam skenario terburuk, tingkat kemiskinan akan meningkat menjadi 16,6 persen dengan tambahan 19,7 juta orang menjadi miskin (di Indonesia) dan 20 persen lagi terancam jatuh di bawah garis kemiskinan. Peningkatan kemiskinan ekstrem dapat menyebabkan risiko parah lainnya, termasuk kelaparan, kekerasan, eksploitasi, tunawisma, dan penyakit mental di antara anak-anak,” tulis Santi dalam jurnalnya.

 

Anak-anak yang tidak terjaga asupan gizi dan tertekan oleh situasi di sekitarnya amat mungkin terganggu pula kondisi fisiknya yang memudahkan berbagai penyakit menyerang mereka. Dalam kondisi demikian, anggapan bahwa anak-anak lebih tangguh menghadapi serbuan virus korona jenis baru pun bisa berangsur gugur. Pada Kamis (17/4/2021), kasus positif Covid-19 pada anak-anak di DKI saja mencapai 16 persen dari 4.144 kasus positif baru hari itu.

 

Di sisi lain, jika masih mampu menghalau Covid-19 pun, berbagai hal buruk lain masih menghantui anak-anak yang seharusnya menjadi tumpuan penerus bangsa.

 

Ancaman nyata terhadap anak-anak ini menandakan berbagai program penanggulangan dampak pandemi, baik yang resmi dari pemerintah maupun bantuan swasta atau dari sesama masyarakat, belum mampu mengatasi masalah yang terkait dengan orangtua, pengasuh, maupun anak-anak itu secara langsung. Save the Children maupun Santi dan rekan penelitinya menyatakan, ada indikasi program bantuan yang tidak tepat sasaran atau tidak menyentuh akar masalah, terutama di perkotaan.

 

Akhir Juni ini, kasus positif Covid-19 di Indonesia dan khususnya di perkotaan seperti di Jakarta dan sekitarnya serta kawasan urban lain di Jawa meningkat tajam. Kondisi ini hampir menyamai titik kritis di akhir 2020 hingga awal 2021, saat kasus naik diikuti tingginya jumlah kematian dan fasilitas kesehatan nyaris kolaps. Pemerintah dan masyarakat didorong melihat kembali perjalanan setahun terakhir serta bagaimana seharusnya sikap yang tepat agar korban tak terus berjatuhan.

 

Fokus penanganan pandemi secara serius dengan menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat ketat yang diikuti pengetesan, pelacakan kontak erat, dan menggelembungkan ketersediaan fasilitas kesehatan beserta tenaga kesehatannya, menjadi amanat yang tidak bisa dihindari. Tidak bisa lagi plinplan dan terlambat menyikapi kegentingan yang terjadi.

 

Di sisi lain, perlu segera evaluasi serius untuk memperbaiki data sasaran bantuan, bentuk bantuan, serta sistem distribusi bantuan kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan. Bagaimana agar orangtua atau orang dewasa terdampak pandemi mendapat bantuan memadai, baik dari sisi fisik maupun psikis.

 

Bukan masanya lagi bantuan terbatas paket sembako, uang tunai, atau pelatihan. Perlu ada pusat konseling dan program perawatan kesehatan mental yang mudah diakses akar rumput. Intervensi wajib dilakukan demi menyelamatkan anak-anak korban situasi buruk ini dengan melibatkan semua pihak, termasuk lembaga swasta serta para orangtua maupun orang dewasa di setiap lingkungan dengan anak-anak di dalamnya.

 

Riset berbasis hak anak-anak menjadi kunci untuk memastikan kebijakan dan respons terhadap pagebluk ini tidak akan melanggar pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam jangka panjang, ini tak lain memastikan pembangunan sesuai arah yang selama ini dianut, yaitu mengatasi kesenjangan struktural dan sosial-spasial.

 

Pemerintah pusat dan daerah perlu ditagih untuk menerapkan penataan ruang yang menjamin kesetaraan akses bagi semua lapisan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat, khususnya anak-anak, menjadi fokus kebijakan pembangunan, termasuk saat merencanakan dan mengimplementasikan mitigasi hingga pemulihan dari bencana.

 

Wabah global ini memang secara telak telah mencederai negara dan kota-kota kita. Menjadi orangtua, menjadi pemimpin, membuat kita wajib mengatasi kepanikan dan secara tepat melangkah mengatasi cedera. Langkah yang bisa menjamin senyum bahagia tetap berkembang sempurna di wajah anak-anak harapan bangsa, seperti celoteh riang mereka selama orangtuanya bekerja dari rumah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar