Rabu, 23 Juni 2021

 

Model Koalisi 2024

Djayadi Hanan ;  Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina; Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)

KOMPAS, 19 Juni 2021

 

 

                                                           

Sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019, koalisi pemilihan presiden (KPP) atau presidential election coalition  di Indonesia terbentuk dengan satu pola: calon presidennya dicari dahulu, baru ditentukan koalisinya.

 

Jarak ideologis dan program antar partai (kecuali isu agama) memang cenderung cair, sehingga pengikat antar partai untuk berkoalisi yang lebih kuat adalah figur calon presidennya. Selain itu, kepemilikan suara tiap partai juga cenderung terfragmentasi (tidak ada partai dengan suara dominan), sehingga perlu dicari tokoh lintas partai yang bisa menjadi ikatan koalisi.

 

Pemilu 2019 yang dilaksanakan secara serentak (concurrent) sebetulnya memberi kesempatan untuk terbentuknya koalisi partai dengan pola kedua: partai-partai membentuk koalisi dahulu, baru calon presidennya ditentukan kemudian. Namun karena ada figur dominan calon presiden (Jokowi Widodo dan Prabowo Subianto), maka koalisi 2019 lebih mencerminkan pola pertama. Partai-partai berkumpul atas dasar ikatan mereka dengan calon presiden.

 

Berbeda dengan 2019, Pemilu 2024 ditandai oleh dua hal. Pertama, tidak ada petahana untuk pilpres. Kedua, hasil riset opini publik berbagai lembaga yang kredibel menunjukkan kemungkinan pilpres yang kompetitif. Sampai Juni 2021 belum terlihat bakal calon yang dominan. Bahkan belum ada bakal calon yang memiliki elektabilitas 30 persen atau lebih dalam simulasi semi terbuka atau banyak nama dalam berbagai survei tersebut. Jadi belum ada nama bakal calon presiden yang bisa menjadi pengikat lintas partai hingga saat ini.

 

Di sisi lain, partai-partai, terutama yang ada di DPR, sudah bisa membentuk koalisi berdasarkan persentase suara atau kursi yang mereka miliki. Maka, pembentukan koalisi sangat mungkin juga menggunakan pola kedua tersebut.

 

Tiga model koalisi

 

Karena dua pola pembentukan koalisi itu mungkin terjadi di Pemilu 2024, maka bisa terjadi tiga model koalisi. Model-model yang akan saya bahas berikut adalah contoh penerapan yang mungkin dari dua pola itu. Tentu saja kita bisa membuat model penerapan yang lain. Model pertama, partai-partai sudah punya persyaratan sekaligus calon presiden dan wakil presidennya. Model ini tampaknya sedang diusahakan PDI Perjuangan (PDI-P) dan Gerindra.

 

Dari segi persyaratan, kedua partai ini menguasai total 206 kursi DPR (35,8 persen). Keduanya juga punya alasan historis dan kedekatan personal-organisasi untuk membentuk koalisi. Megawati dan Prabowo pernah maju sebagai pasangan capres-cawapres (2009), keduanya juga dekat secara pribadi, dan ada sejarah "Perjanjian Batu Tulis" yang mendekatkan mereka. Bakal capres dan cawapresnya juga sudah ada, Prabowo dan Puan Maharani. Namun, mengingat elektabilitas Prabowo hingga saat ini masih belum dominan meskipun cenderung unggul, keberlangsungan terbentuknya koalisi ini masih akan tergantung dinamika elektabilitas tersebut.

 

Model kedua adalah sejumlah partai membuat kesepakatan berkoalisi lalu secara bersama mencari capres-cawapres. Bila koalisi PDI-P dan Gerindra terbentuk, secara matematis masih mungkin terbentuk tiga koalisi lagi (misalnya Golkar-PAN, PKB-Nasdem, dan Partai Demokrat (PD)-PKS-PPP). Tentu saja kemungkinan matematis ini secara politik tak mudah terwujud.

 

Yang lebih logis secara politik, partai-partai di luar PDI-P dan Gerindra bisa membentuk dua koalisi lagi. Membentuk koalisi bisa karena relatif saling berdekatan (seperti PDI-P dan Gerindra), bisa juga karena sama-sama relatif berjauhan dengan potensi lawan. Misalnya, dari tujuh partai ini, ada tiga partai yang tidak pernah berkoalisi dengan PDI-P dalam pilpres sejak 2004 yaitu PAN, PD, dan PKS. Maka bisa saja ini terjadi lagi di 2024. PDI-P sudah memberikan sinyal bahwa sulit baginya untuk berkoalisi dengan PD dan PKS.

 

PD memang sejak dulu punya halangan untuk lebih dekat dengan PDI-P, antara lain karena hubungan Susilo Bambang Yudhoyono-Megawati yang kurang baik. PKS memang cenderung punya jarak paling jauh dengan PDI-P dalam soal-soal menyangkut hubungan Islam dan negara. Maka mungkin saja koalisi PAN-PD-PKS terbentuk. Selain kesamaan sejarah, ketiga partai ini juga belum punya calon sendiri. Ada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari PD, tapi untuk sementara elektabilitasnya masih belum kompetitif sebagai capres.

 

Empat partai lagi, Golkar, PKB, Nasdem, dan PPP, tidak punya halangan yang berarti untuk membentuk koalisi satu lagi. Keempatnya juga belum punya capres sendiri meskipun ada aspirasi di Golkar dan PKB untuk memprioritaskan ketua umum masing-masing. Jadi tidak ada halangan dari mereka untuk bersama-sama mencari capres-cawapres.

 

Tentu saja, seperti partai lainnya, keempatnya punya pilihan lain, misalnya bergabung dengan PDI-P-Gerindra, atau dengan poros PAN-PD-PKS, atau pilihan-pilihan lainnya. Keempat partai ini tidak punya halangan untuk bergabung dengan poros PAN-PD-PKS. Bergabung dengan PDI-P-Gerindra juga tak ada halangan berarti, kecuali Nasdem. Ketua umum Nasdem mungkin agak sulit berkoalisi dengan Gerindra mengingat rivalitas dengan Prabowo sejak mereka sama-sama di Golkar dulu.

 

Model ketiga koalisi adalah seperti pilpres sebelumnya, sejak 2004. Partai-partai membangun silaturahmi politik seluas-luasnya baik antar partai maupun dengan figur potensial capres-cawapres sambil menunggu perkembangan elektabilitas mereka. Ketika dinamika elektabilitas sudah mulai mengerucut ke dua atau tiga nama, partai-partai mulai akan mengerucutkan pilihan koalisinya berdasar pilihan-pilihan atas nama-nama potensial itu.

 

Koalisi model pertama dan kedua, akan lebih banyak mengurangi ketidakpastian dan bisa membuat partai dan capres-cawapres lebih fokus bekerja. Koalisi model kedua dan ketiga memerlukan lebih banyak waktu untuk terbentuk. Tingkat ketidakpastian di model ketiga adalah yang paling tinggi, sangat mungkin terjadi saling salip di jalan dan saling sikut di tikungan.

 

Pilihan tentu saja terpulang semua ke partai, karena pilpres di Indonesia, terutama pencalonan, sangat bergantung pada partai. Konstitusi tidak memungkinkan adanya calon independen.

 

Konvensi bersama

 

Yang menarik, bila partai-partai memutuskan membentuk koalisi terlebih dahulu (pola kedua), bagaimanakah cara mereka menentukan capres-cawapres. Pasti banyak pilihan. Tapi salah satu pilihan yang menarik dan baik adalah melakukan konvensi bersama.

 

Pilihan teknis untuk pelaksanaannya juga banyak. Konvensi bisa dilakukan secara terbuka dengan memberi kesempatan semua figur/pihak baik dari partai maupun bukan untuk ikut berkompetisi. Bisa juga semi terbuka dengan memberi kesempatan pada kader partai dan figur-figur yang secara khusus diundang oleh koalisi partai untuk ikut konvensi.

 

Pilihan lainnya dilakukan secara tertutup hanya diikuti oleh kader-kader partai dalam koalisi. Intinya ada banyak pilihan, termasuk siapa yang punya hak suara dalam proses konvensi.

 

Ada banyak keuntungan dari melakukan konvensi secara bersama. Pertama, karena sudah jelas koalisi partainya, maka ada kepastian tentang nasib pemenang konvensi bahwa mereka akan dicalonkan nanti. Konvensi yang sudah dilaksanakan dalam beberapa kali pilpres lalu memiliki masalah dari segi kepastian ini. Pemenang konvensi belum tentu jadi calon sebab masih tergantung proses pembentukan koalisi partai.

 

Kedua, konvensi bersama berarti juga koordinasi antar partai anggota koalisi, sampai tingkat akar rumput. Ini bukan saja akan membantu konsolidasi masing-masing partai menjelang pemilu, tapi juga membuat anggota koalisi bisa melihat berbagai strategi bersama yang mungkin dalam mengikuti pemilu legislatif. Ini penting karena pilpres dan legislatif dilaksanakan serentak.

 

Koordinasi dan strategi bersama diperlukan agar efek ekor jas (coattail effect) dapat membantu semua partai anggota koalisi. Analisis yang kami lakukan terhadap Pemilu 2019 lalu menunjukkan bahwa hanya tiga partai di koalisi Jokowi-Amin yang memperoleh efek positif dari ekor jas yaitu PDI-P, PKB, dan Nasdem.

 

Partai anggota koalisi lainnya tidak memperoleh efek positif secara signifikan. Bahkan dua partai (PPP dan PBB) memperoleh efek negatif ekor jas. Koordinasi dan strategi bersama dalam pemilu legislatif di antara anggota koalisi dapat membantu agar efek ekor jas lebih merata dampak positifnya.

 

Ketiga, konvensi bersama bisa menjadi medium atau cara yang baik untuk mengomunikasikan proses yang dilakukan partai dalam penentuan calon pemimpin nasional kepada masyarakat. Bila dilakukan secara terbuka, konvensi juga memberi kesempatan bagi aspirasi masyarakat yang menginginkan figur di luar partai untuk diuji potensinya menjadi pemimpin nasional bersama-sama dengan figur-figur dari dalam partai. Konvensi memberi ruang yang lebih besar bagi transparansi proses politik.

 

Kembali ke pola pembentukan koalisi, pola kedua dapat memberi jalan bagi partai-partai politik untuk memperkuat sistem kepartaian, sehingga tidak selalu tergantung pada figur personal calon presiden. Pola kedua ini juga dapat menjadi jalan untuk membentuk pola koalisi yang lebih panjang. Bila ini terjadi, meskipun jumlah partai kita tetap banyak di parlemen, tapi pola koalisinya bisa lebih sederhana. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar