Rabu, 23 Juni 2021

 

Mimpi Siang Bolong

Bre Redana ;  Penulis Kolom “UDAR RASA” Kompas Minggu

KOMPAS, 20 Juni 2021

 

 

                                                           

Pada awal pandemi dengan pengetahuan bahwa dunia tidak akan lagi seperti sebelumnya, saya mengira banyak hal bakal berubah. Dunia yang bergerak terlampau cepat membawa serta manusia mengingini segala hal melampaui kebutuhannya akan mengatur ulang dirinya. Istilah digitalnya reset, reboot, restart, dan semacamnya.

 

Harmonisasi diri karena harus tinggal di rumah bersama keluarga akan lebih menciptakan keselarasan, termasuk selaras dengan jalannya alam. Siapa tahu untuk memenuhi kebutuhan paling dasar, yakni bahan makanan, kembali ke apa yang bisa dihasilkan oleh lingkungan terdekat. Tidak lagi menyerahkan hidup mati pada jaringan supermarket, restoran waralaba, makanan cepat saji yang tidak kita pedulikan sumbernya, pendeknya semata-mata takluk pada kapitalisme global.

 

Pendidikan saya bayangkan hanya akan menekankan tiga hal: pertanian, olahraga, kesenian. Yang pertama, pertanian, selain moda untuk bertahan hidup juga janji untuk kembali ke alam sebagai sumber ilmu pengetahuan. Yang kedua, olahraga, mengolah diri sehat jasmani rohani, syukur sampai ke yang eksistensial, menemukan kesadaran. Eling ring raga.

 

Yang ketiga, kesenian, menjadi jalan untuk mencapai kemuliaan hidup. Meninggikan peradaban, membangun kehidupan baru yang lebih baik, memelihara kebudayaan, memayu hayuning bawana.

 

Dugaan tersebut dengan segera saya sadari tidak saja keliru, tapi juga tak lebih mimpi siang bolong.

 

Sejak lama kita dikuasai oleh cengkeraman sosialisasi gaya hidup yang mendikte keseharian hidup kita. Susah untuk merebut kembali ruang dan waktu yang telah dikuasai lingkungan sosial mutakhir, dari pranata sosial, politik, ekonomi, sistem kepercayaan, gaya hidup, sampai banjir informasi yang memorakporandakan otak.

 

Dalam masa pandemi pada sejumlah tempat muncul kafe, restoran, arena rekreasi, dan tempat bersantai baru. Ramai setengah mati.

 

Individuasi yang saya bayangkan akan menandai cara hidup di tengah pandemi ternyata tidak terjadi. Kebiasaan reriungan bertahan, disertai emblem identitas baru, seperti antara lain kelompok-kelompok pesepeda yang menguasai jalanan. Sepedanya bagus-bagus. Pakaian pembungkus pemakainya juga bagus, umumnya beberapa nomor lebih kecil dari ukuran tubuh berlemak si pemakai.

 

Belum lagi kelompok-kelompok lain dengan merek mobil sama, motor dengan jenis sama, dan lain-lain. Yang bukan merek sama tak boleh ambil bagian. Mereka tengah merayakan era post poverty.

 

Dalam hal makanan, kelas menengah histeris terhadap menu cepat saji yang dikemas dengan kekenesan industri pop. Kardus pembungkusnya pun kalau perlu ditelan melintang—untal malang.

 

Dunia pendidikan formal berlangsung seperti sebelumnya, bedanya cuma sekarang secara daring. Tidak ada yang peduli bahwa dengan medium berbeda, pesan dengan sendirinya berbeda. The medium is the message. Bukan salah guru. Penentu kebijakan pendidikan nasional yang konon milenial pun tidak menjangkau bahwa beda medium beda implikasi.

 

Mungkin medium ini pula yang membuat generasi sekarang lebih menyukai dogma (baca agama) daripada pikiran kritis. Masa depan sains dibangkitkan dengan promosi ala jual jamu. Meski minus tradisi membaca dan penelitian, katanya kita akan jadi pusat sains dunia.

 

Hanya para penulis yang terbiasa hidup dengan individuasi dan sepi. Penulis tidak bisa ditolong atau menolong siapa-siapa. Ia bisa menolong atau ditolong untuk menerbitkan buku, memublikasikan karya, membikinkan teks pidato agar si pembaca pidato tidak kelihatan kosong isi kepalanya, tapi mustahil penulis bisa membuat orang lain jadi penulis. Dunia penulisan bukan jabatan, melainkan jalan.

 

Berbeda dengan penguasa. Enak jadi penguasa, terlebih di negeri di mana hukum bisa ditekak-tekuk sesuai kehendak penguasa. Dunia penguasa bukan dunia individuasi, melainkan persekongkolan.

 

Banyak orang ingin jadi penguasa. Sekali kekuasaan didapat, bisa dan dengan mudah menolong orang lain entah itu anak, keponakan, menantu, saudara, teman, antek, menjadi penguasa juga, dengan hierarki lebih rendah.

 

Bagi yang berminat, bahkan sekadar memberi dukungan, saya ucapkan selamat mendukung. Ada doa mutakhir: insya Allah jadi wakil, menteri, komisaris, dan jabatan lain apa saja. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar