Jumat, 18 Juni 2021

 

Bahaya Infodemi dan Covid-19

Syafiq Basri Assegaff ;  Dokter dan Pengajar di Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR, Jakarta

KOMPAS, 17 Juni 2021

 

 

                                                           

Ini tentang infodemi. Terma tentang fenomena adanya ”wabah informasi kesehatan”, yang belakangan dipenuhi fakta palsu menyesatkan.

 

Banyak bukti menunjukkan dampak negatifnya, seperti pengingkaran realitas ancaman virus atau manfaat vaksinasi. Akibatnya, muncul berbagai pelanggaran protokol kesehatan sebagai intervensi nonmedis atau menolak vaksinasi yang efeknya merugikan masyarakat luas.

 

Diperkirakan setengah kematian akibat Covid-19 di Amerika Serikat di masa awal pandemi seharusnya bisa dicegah kalau saja intervensi nonmedis (yakni menjaga jarak dan tetap tinggal di rumah) dilaksanakan para penderita satu pekan sebelumnya. Itu disampaikan Leonardo Bursztyn dari University of Chicago dan beberapa koleganya dalam kertas kerja, September 2020.

 

Infodemi terkait kesehatan

 

Ketika dokter asal Kanada, Gunther Eysenbach, mendedahkan kata infodemi (infodemic) pertama kali pada 2002, mungkin ia tak menyangka istilah itu dua dasawarsa kemudian diadopsi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

 

Bahkan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres pada 14 April 2020 mencuitkan pentingnya memerangi infodemi dengan fakta dan bukti nyata. PBB mengkhawatirkan wabah informasi terkait kesehatan yang bahayanya bersaing dengan virus korona sendiri.

 

Eysenbach kecewa. Twitter belakangan menerbitkan aturan yang di antaranya tak mengizinkan organisasi sains dan penerbit jurnal ilmiah menyiarkan kontennya di situ karena dianggap sebagai ”konten yang tak layak” (inappropriate content). Ini sebuah realitas salah kelola terhadap infodemi di media sosial. ”Padahal tersedia kesempatan bagi para ahli kesehatan masyarakat untuk mengelola infodemi berikutnya, yang kita hadapi segera setelah tersedianya vaksin,” tulis Eysenbach di Journal of Medical Internet Research, Juni 2020.

 

Kekhawatiran Eysenbach sangat beralasan. Kita semua menyaksikan banyaknya misinformasi, disinformasi, ataupun hoaks yang kini dikonsumsi orang dari media konvensional dan medsos. Sebuah studi Cornell University yang dimuat di New York Times, September 2020, menyebut adanya 38 juta artikel di dunia yang menunjukkan Presiden Donald Trump adalah sumber terbesar munculnya misinformasi global.

 

Agustus 2020, Facebook menghapus 7 juta unggahan yang mengandung misinformasi tentang Covid-19. Amazon pada Februari 2020 juga menghapus lebih dari 1 juta produk yang ditawarkan dengan klaim bisa mengobati atau melindungi orang dari virus korona.

 

Sebagai orang pertama yang menggagas istilah infodemi (dari infodemiology atau the epidemiology of misinformation) di American Journal of Medicine (2002), Eysenbach mendefinisikannya sebagai ”sebuah disiplin riset baru dan metodologi”.

 

Dalam bingkai Eysenbach, istilah infodemiologi menjadi cara untuk mengidentifikasi area-area tempat adanya kesenjangan (gap) pada knowledge translation, yakni celah antara bukti-bukti ilmiah terbaik yang diketahui para ahli dari hasil risetnya dan praktik tenaga kesehatan di lapangan.

 

Tak pelak lagi akibat meledaknya informasi terkait pandemi itu banyak orang yang bingung, gundah, cemas, bahkan stres. Bila infodemi berkaitan dengan kesehatan, sebenarnya kita juga menghadapi infobesity, yakni fenomena kelewat banyaknya informasi tentang segala hal yang kita hadapi, tak hanya urusan kesehatan.

 

Fenonema infobesity (dari info-obesity, alias kelebihan beban informasi) itu terjadi ketika ribuan atau jutaan informasi menyeruak ke gawai kita setiap saat, sejak pagi hingga saat tidur. Situasinya diperparah oleh munculnya sejumlah orang yang mengalami gejala fear of missing out (FOMO). Mereka ini takut ketinggalan informasi dan ingin tampil sehingga buru-buru menyebarkan dan menerusulangkan (forward) informasi yang diterimanya tanpa menyaringnya lebih dulu.

 

Kita mengenal tiga jenis istilah terkait ”penyakit informasi” (information disorder) ini. Pertama, misinfomasi. Ia punya ”pasangan” yang dinamakan disinformasi. Keduanya sama-sama mengandung informasi yang tak benar (false atau fake), tetapi bedanya misinformasi disebarkan oleh orang yang meyakini bahwa itu benar, sedangkan aktor penyebar disinformasi tahu bahwa info itu palsu tetapi sengaja menyebarkannya.

 

Dengan kata lain, penyebar misinformasi tak punya niat jahat sehingga disebut honest mistake. Dosanya tak sebesar pelantun disinformasi yang sengaja membohongi korban yang hendak disesatkannya.

 

Itu sebabnya disinformasi dinamakan deliberate lie to mislead. Sering kali terorganisasikan dan diperkuat teknologi yang diotomatisasi agar mudah merebak luas. Biasanya disinformasi menyasar mereka yang punya banyak pengaruh atau pengikut (follower) di medsos. Disinformasi ini mirip (atau dipakai sebagai alat) propaganda, tetapi pada propaganda jauh lebih manipulatif.

 

Walakin, barangkali dosa terbesar ada pada penyebar hoaks, kepalsuan yang sengaja diciptakan agar seolah tampak sebagai sebuah kebenaran (deliberately fabricated faleshood, made to masquerade as truth).

 

Serupa dengan tipuan atau trick, secara etimologi hoax berasal dari kata hocus (yang muncul pada abad ke-18), yang berarti ”mengelabui”—dan kita tahu ini kerap digunakan dalam dunia sihir. Sering dipakai untuk menyesatkan pembaca demi keuntungan finansial atau politik, banyak berita hoaks bernuansa sensasional, deseptif, atau merekayasa judul (seperti clickbait, umpamanya).

 

Targetnya adalah meningkatkan jumlah pembaca, dengan harapan masuknya fulus (seperti perolehan pendapatam iklan) ke kantong penggagas.

 

Adapun jenis ketiga adalah ”malinformasi”. Barangkali termasuk yang paling membahayakan, realitas informasi yang dikandung malinformation ini bisa mengandung kebenaran atau sebagian benar. Namun, masalahnya ia digunakan untuk menimbulkan bahaya atau keburukan pada pihak lain.

 

Parahnya, hal ini kadang dipakai untuk menyerang negara lain. Sebuah contoh malinformasi adalah ketika lebih dari 20.000 e-mail pribadi kandidat presiden Perancis, Emmanuel Macron, diretas dan ditebar menjelang pemilihan presiden ronde kedua, 7 Mei 2017.

 

Meski sebagian e-mail itu dianggap asli, belakangan ia diramu dengan banyak informasi palsu dan diberai-beraikan di banyak platform medsos demi merusak nama baik presiden termuda dalam sejarah Perancis sejak Napoleon itu.

 

Keracunan informasi

 

Banyak pakar, termasuk psikolog menjelaskan bahwa kelebihan beban informasi (information overload) atau ledakan informasi (information explosion) bisa menjadikan kita keracunan infomasi (infoxication). Akibat pesatnya teknologi informasi, terjadi peningkatan jumlah informasi yang luar biasa, bagaikan sebuah tsunami.

 

Ini kemudian memunculkan kecemasan (information anxiety) yang menyebabkan kita susah memahami perkara yang ada dan sulit mengambil keputusan. Jika input melebihi kapasitas otak memproses, kata Roetzel (2019), maka information overload itu—apalagi bila informasi itu rumit, kompleks, dan saling kontradiksi—menyebabkan kualitas keputusan menurun atau menyebabkan kita sulit ambil keputusan.

 

Alvin Toffler (1970) dan Bertram Gross (1964) juga menegaskan dampak information overload ini.

 

Penjelasan lebih detail diungkapkan George Armitage Miller. Penggagas psikologi kognitif dan Guru Besar Princeton itu berpendapat, kapasitas memori jangka-pendek otak manusia hanya bisa menyerap dan mengolah tujuh plus minus dua (yakni 5-9) ”bongkah” informasi pada satu saat.

 

Bagi Miller, otak manusia itu mirip dengan komputer: memproses informasi dalam empat tahap: memaparkan diri pada informasi (membaca, menyimak), mengodifikasi, menyimpan, dan mengungkapkannya kembali (retrieve). Jika beban otak lebih dari kapasitasnya, orang jadi bingung dan akhirnya mengambil keputusan yang kurang tepat atau salah.

 

Walakin, angka tujuh terlalu besar, kata Nicholas Carr. Menurut Carr, memori kita hanya memiliki kapasitas maksimum tiga hingga empat elemen.

 

Carr yang menulis ”The Shallows: What The Internet Is Doing To Our Brains” mengatakan bahwa ledakan keinginan mencari informasi baru itu menyebabkan orang kecanduan informasi sehingga memunculkan hambatan berpikir secara mendalam (obstructing deep thinking), mencegah pemahaman, dan makin sulit dalam belajar. Ini disebutnya sebagai cognitive overload.

 

Empat kunci lawan hoaks

 

Kalau Eysenbach menganjurkan penelitian konten terkait kesehatan sebagai infoveillance, kita bisa menyelidiki dan menanggulangi hoaks bagi informasi secara umum melalui empat cara praktis ini.

 

Pertama dan terpenting, cek keterandalan (reliability) sumber informasi. Dari mana ia berasal. Informasi dari media arus utama (Kompas, Tempo, Reuters, BBC) lebih dapat dijamin ketimbang kutipan dari platform jejaring sosial seperti Facebook. Telitilah nama penulis dan institusi pembuat informasi itu: pemerintah, aktivis politik, atau siapa?

 

Ingat, tidak semua yang ”viral” dijamin benar dan sering kali pencipta hoaks mengutip pihak lain untuk menyesatkan, sedangkan nama penulis sendiri tidak ada di situ.

 

Kedua, pertanyakan konten yang terasa aneh karena kemungkinan memang ia sebuah kepalsuan. Jika isinya sesuatu yang amat penting atau berita besar, mengapa tidak ada di media arus utama? Gunakan intuisi Anda: jika perasaan kita meragukannya, mungkin memang ”palsu”. Kita harus makin waspada bila informasi itu sebuah forward dari tempat lain.

 

Ketiga, waspadai ”bias diri”. Kebencian atau cinta berlebihan pada seorang tokoh, biasanya di dunia politik menjelang pemilu, sering kali menjadi pemicu munculnya kebohongan. Jangan mudah percaya atau ingin dianggap hebat (akibat FOMO), misalnya dengan buru-buru menekan tombol share atau forward. Boleh jadi Anda ikut menanggung dosa kalau itu fitnah.

 

Keempat, tengarai ciri-ciri kepalsuan. Salah ketik, tata bahasa yang kacau, atau tidak ada nama penulis dalam sebuah utas informasi sangat mencurigakan sebagai palsu. Patut diingat bahwa banyak konstruksi berita merupakan sebuah rekayasa untuk tujuan tertentu.

 

Itu sebabnya di media arus utama, para redaksi mengedit dan meneliti semua tulisan yang akan dipublikasikan. Itulah di antara fungsi gatekeeper (penjaga gawang) di media, sesuatu yang absen pada media sosial.

 

Gunakanlah situs untuk meneliti adanya hoaks. Banyak yang malas, padahal kita bisa meneliti sebentar melalui kanal seperti Factcheck.org, situs Kominfo, NewsGuard, dan cekfakta.com, sebuah laman yang muncul pada 2018 dan secara gotong royong dikurasi oleh 22 media massa seperti Kompas, Liputan6, Jakarta Post, Tirto, dan Detik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar