Rabu, 23 Juni 2021

 

Partai Peserta Pemilu

Moch Nurhasim ;  Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI

KOMPAS, 19 Juni 2021

 

 

                                                           

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVIII/2020 terkait Pengujian Materiil Pasal 173 Ayat (1) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap UUD 1945 telah mengubah aturan mengenai verifikasi parpol peserta pemilu (Kompas, 5/5/2021).

 

MK memberi tafsir baru bahwa partai-partai yang lolos ambang batas parlemen Pemilu 2019 tak perlu verifikasi faktual, Komisi Pemilihan Umum (KPU) cukup melakukan verifikasi administratif. Artinya, sembilan partai yang saat ini memiliki kursi DPR secara otomatis akan menjadi peserta Pemilu 2024. Putusan MK ini bisa dianggap kemunduran dibandingkan putusan MK sebelumya yang tetap mewajibkan partai yang memiliki kursi DPR tetap mengikuti verifikasi faktual oleh KPU.

 

Dalam khazanah teori politik, parpol merupakan organisasi utama dalam sistem demokrasi. Partai sebagai organisasi dalam keterhubungannya dengan pemilu bisa dikategorikan dalam dua tipe, yakni partai sebagai peserta pemilu dan partai yang bukan peserta pemilu. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, peserta pemilu tak selalu sama.

 

Peserta Pemilu 1955 adalah parpol, organisasi massa (ormas) dan calon perseorangan. Pemilihan anggota DPR diikuti 36 parpol, 34 ormas, 48 calon perorangan. Sedangkan pemilihan anggota Konstituante diikuti 39 parpol, 23 ormas dan 29 calon perorangan (Anri, 2019).

 

Model kepesertaan pemilu era Pemilu 1955 ini tak pernah digunakan kembali. Di era Orde Baru, peserta pemilu adalah partai dan organisasi fungsional (Sekber-Golkar). Sedangkan pada era Reformasi, peserta pemilu legislatif (DPR dan DPRD) adalah organisasi parpol. Konsep peserta perseorangan hanya untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan calon kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

 

Partai peserta pemilu di era Reformasi jumlahnya pun tidak ajek. Pada Pemilu 1999 sebanyak 48 partai sebagai peserta dan hanya 20 partai yang memiliki kursi di DPR. Pemilu kedua (2004) jumlah peserta pemilunya mengalami penurunan, hanya 24 partai. Dari jumlah itu, sebanyak 16 partai yang memiliki kursi di DPR.

 

Pemilu 2009 jumlah peserta pemilunya mengalami kenaikan menjadi 34 partai, dan hanya sembilan partai yang memiliki kursi. Demikian pula Pemilu 2014, sebanyak 12 partai sebagai peserta dan dua partai tidak lolos ambang batas parlemen. Terakhir pada Pemilu 2019, partai peserta pemilunya sebanyak 14, dan hanya sembilan yang memiliki perwakilan di DPR.

 

Fluktuasi peserta pemilu tersebut sebagai dampak dari reformasi sektor kepemiluan yang membedakan dua ranah partai, partai dalam proses pendirian dan partai sebagai peserta pemilu. Paradigma reformasi kepartaian di Indonesia menganut prinsip, kebebasan pendirian organisasi diwujudkan melalui pemberian kesempatan kepada setiap orang dalam mendirikan partai.

 

Pendirian partai di permudah, tetapi syaratnya mengalami pengetatan pada dua tingkat, syarat yang berat saat pendaftaran sebagai badan hukum dan saat menjadi peserta pemilu. Akibatnya, partai di Indonesia ada yang tergolong sebagai organisasi partai tak berbadan hukum (hanya partai papan nama), partai berbadan hukum tetapi tak pernah jadi peserta pemilu, dan partai berbadan hukum peserta pemilu.

 

Paradigma kepesertaan pemilu yang dianut ialah setiap partai yang ingin jadi peserta pemilu perlu memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan melalui verifikasi administratif dan faktual oleh KPU. Konsensus itu yang lebih dipilih sebagai konsekuensi substantif untuk memenuhi keadilan konstitusional terhadap partai lama dan partai baru.

 

Keadilan bagi partai lama dan partai baru juga berkaitan dengan jaminan atas kesiapan partai dalam memenuhi segala ketentuan dalam sistem kepartaian. Keterhubungan untuk menjamin bekerjanya sistem kepartaian dengan sistem pemilu melalui audit organisasi peserta pemilu. Audit ini selain untuk memenuhi unsur-unsur pelembagaan sistem kepartaian, juga untuk mengukur tingkat kelembagaan dan pelembagaan partai sebagai organisasi modern.

 

Meniadakan audit faktual melalui siklus lima tahunan pemilu untuk mengukur kesiapan organisasi partai sebagai peserta pemilu bisa berdampak memudarnya kinerja organisasi partai. Padahal, partai satu-satunya organisasi yang diberi amanat oleh UUD 1945 sebagai sumber kepemimpinan nasional dan pengisian jabatan-jabatan penting dalam kekuasaan kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Bisa dibayangkan apabila tak ada audit organisasi untuk memastikan kesiapan struktural, fungsional dan kelembagaan sebagai syarat minimal bagi bekerjanya organisasi partai yang diamanatkan konstitusi negara, organisasi partai bisa mengalami kemunduran. Asumsi bahwa kinerja elektoral partai, di mana partai yang lolos ambang batas parlemen secara otomatis akan menunjukkan kesiapan organisasi sebagai parpol, bisa dianggap asumsi yang “keliru”.

 

Mengapa demikian? Pertama, untuk memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu, selama ini partai-partai besar yang sudah berkali-kali lolos ambang batas parlemen pun “tertatih-tatih”, akibat manajemen organisasi partai yang dikelola secara apa adanya. Kedua, kalau mau jujur, hampir sebagian besar partai yang lolos ambang batas parlemen tak semua bisa lolos lubang jarum sebagai peserta pemilu jika KPU secara rigid dan sungguh-sungguh melakukan verifikasi administratif sekaligus faktual yang ketat.

 

Artinya, substansi verifikasi administratif dan faktual justru ingin mendorong agar pemilu bukan hanya sebagai “keranjang sampah” bagi parpol yang tak layak dan tak siap. Jaminan kesiapan organisasi, manajerial, personal (SDM), baik secara struktural maupun kultural sangat berarti bagi warga negara.

 

Tujuannya agar pemilu sebagai bagian utama sistem demokrasi memberikan kepastian bahwa partai yang diberi amanat oleh kedaulatan rakyat benar-benar memiliki performa kelembagaan dan pelembagaan sebagai organisasi partai politik, bukan sebagai organisasi yang “katanya partai politik”.

 

Hakikat ambang batas parlemen

 

Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) seyogianya hanya dimaknai sebagai jalan pintas untuk membatasi jumlah partai yang memiliki kursi parlemen. Belum ada satu kajian pun yang menyebut bahwa ambang batas parlemen berkaitan dengan kesiapan organisasi partai yang diwujudkan melalui terlembaganya atau pelembangaan organisasi partai.

 

Dalam sejarah pemilu di Indonesia, partai yang cenderung dikelola secara personal, catch all party, dan bukan partai kader (partyID) justru yang biasanya paling banyak mendulang suara. Tipe partai kader seperti PSI yang didirikan oleh Sutan Syahrir dengan mudah digeser posisinya oleh partai massa seperti PNI, PKI, Masyumi dan NU. Padahal, secara organisasi PSI jauh lebih matang dibandingkan dengan tipe partai massa lainnya.

 

Oleh karena itu, asumsi akademik para hakim MK yang menilai partai yang lolos ambang batas parlemen tak perlu diverifikasi secara faktual bisa jadi hambatan dalam mendorong modernisasi organisasi parpol yang lebih baik ke depan. MK idealnya bisa memberi tafsir progresif dalam pengujian ambang batas parlemen sebagai jalan konstitusional untuk membenahi organisasi parpol sekaligus memutus mata rantai pengelolaan partai secara personal, dan menghindarkan penguasaan partai oleh para oligark dan pemodal. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar