Rabu, 23 Juni 2021

 

Memosisikan Pancasila

M Nurul Fajri ;  Pengajar Hukum Tata Negara, Alumni Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Erasmus Scholarship pada Radboud University, Belanda

KOMPAS, 18 Juni 2021

 

 

                                                           

Apabila ditarik secara historis, menurut para pendiri negara dan perdebatan akademik setelah itu, Pancasila dipahami sebagai sumber nilai dan haluan yang disatukan dalam satu dokumen hukum, yaitu UUD 1945. Meskipun para pendiri negara Indonesia telah menyepakati bahwa Pancasila, pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh dan penjelasan UUD 1945 dalam periode yang terpisah, tetapi pada saat UUD 1945 ditetapkan sebagai konstitusi Indonesia pada 18 Agustus 1945, keseluruhannya dipandang dan dinyatakan sebagai satu kesatuan dokumen konstitusi.

 

Pancasila diletakkan pada alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 yang mana bagian pembukaan tersebut berisikan nilai dasar sekaligus cita-cita didirikannya negara Indonesia. Hingga 1999, ketika dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 sampai tahun 2002, para pengubah konstitusi juga bersepakat untuk tidak mengubah bagian dari pembukaan UUD 1945.

 

Antara hukum dan doktrin

 

Sebagai negara hukum yang sangat terpengaruh tradisi civil law, ajaran legisme dalam penyelenggaraan negara sangatlah kental dalam tradisi hukum Indonesia. Segala tindakan organ negara, khususnya pemerintah, harus berdasarkan atas hukum. Praktik ini terus ditata lewat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang puncaknya ada pada UUD 1945.

 

Artinya juga berdasarkan kepada Pancasila, karena Pancasila secara normatif ditemukan pada pembukaan UUD 1945. Selain itu, Pasal 2 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan secara eksplisit bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.

 

Sekalipun Pancasila telah menyatu dalam konstitusi, sayangnya ada yang memaknai Pancasila sebagai entitas yang terpisah dengan konstitusi itu sendiri. Pembuktian akan hal itu tidak sulit untuk ditemukan. Karena dari waktu ke waktu, perdebatan akan finalitas Pancasila terus ada.

 

Sudut pandang yang memisahkan entitas Pancasila sebagai bagian dari konstitusi dan sebagai konsepsi sejatinya amat berbahaya. Bahkan patut diduga menjadi dasar atau pintu masuk bagi kendali politik atas implementasi Pancasila. Diarahkan ke zona abu-abu. Lima sila yang klausulnya sangat umum, tetapi kaya nilai. Memungkinkan berbagai macam tafsir atas Pancasila lahir. Sebuah keadaan rentan terhadap tafsir atas Pancasila dibuat atau dikendalikan berdasarkan relasi kuasa atau dominasi mayoritas.

 

Apalagi lima nilai yang terkandung dalam kelima sila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan) bersifat sangat umum sehingga ada jarak yang sangat luas antara bagaimana menurunkan nilai kelima sila tersebut ke dalam praktik. Sementara itu, untuk menjelaskan dan menemukan titik pandangan yang sama terhadap nilai-nilai dari kelima sila tersebut masih dimungkinkan terjadi perdebatan yang sangat luas dan panjang.

 

Institusionalisasi nilai Pancasila ke dalam pembentukan hukum juga tidak menjamin sebagai instrumen menciptakan sebuah tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi sampai harus bertanya, ”Apakah benar Pancasila terkandung di dalam seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia?”

 

Jarak yang sangat luas antara nilai dan praktik tersebutlah menghadirkan masalah terhadap penerapan Pancasila. Konsepsi nilai Pancasila yang masih abstrak membuka kesempatan penafsiran yang sangat bergantung pada situasi politik. Tidak mengherankan jika dalam sejarahnya, Pancasila kerap dijadikan alat kekuasaan untuk menyerang lawan politiknya dengan merepresi dan labelisasi.

 

Apabila ditarik mundur, baik kelahiran maupun perdebatan akademik, lima konsep atau nilai dasar Pancasila tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan adalah konsepsi yang sangat terbuka dan mengandung semangat universalisme. Dalam sejarahnya pun, para pendiri negara yang berdebat merumuskan Pancasila memang bermaksud memberikan satu konsep yang dapat memayungi semua perbedaan yang ada di Indonesia.

 

Sekalipun pada waktu itu para pendiri negara menekankan nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai yang bukan versi Barat, melainkan keluasan makna dalam kelima sila Pancasila, membuat berbagai macam nilai sejatinya dapat dipromosikan dengan Pancasila sebagai dasar dan acuannya. Apalagi sejak awal, konstitusi Indonesia tidak mengenal pembedaan apa pun terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan.

 

Karena proses persiapan kemerdekaan yang amat singkat, bisa dimaknai bahwa konstitusi yang dibentuk—dalam arti juga Pancasila—memang dipersiapkan untuk menghindari perdebatan yang terlalu lama. Karena itu, dipilihlah diksi atau klausul yang dapat menjadi jalan tengah.

 

Aktualisasi

 

Seyogianya, solusi atas bagaimana penerapan Pancasila itu terletak pada bagaimana negara dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan, terutama menyangkut pemenuhan dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara. Aspek ini tentu akan sangat tecermin lewat arah kebijakan politik, khususnya lewat undang-undang yang dibentuk.

 

Sayangnya, hal itu selama ini masalah itu hanya dipandang sebagai proses teknis legislasi. Barulah beberapa waktu terakhir, persoalan pembentukan undang-undang menjadi sorotan serius setelah beberapa paket pembentukan undang-undang dinilai telah menabrak aturan hukum bahkan prinsip-prinsip dasar dalam demokrasi.

 

Dalam pembentukannya sangat sulit mengatakan bahwa undang-undang yang dihasilkan memiliki legitimasi akademik yang mumpuni dan legitimasi aspirasional yang kuat apabila disandingkan dengan sifat erga omnes undang-undang. Karena terjadi simplifikasi dalam metode perumusan naskah akademik dan pembahasan pasal demi pasal, yang berkaitan dengan ruang atau kesempatan dalam partisipasi masyarakat.

 

Sebab, diskusi kelompok terfokus (FGD), seminar, diskusi publik, lokakarya, dan lainnya sejatinya tidak cukup mumpuni memberikan gambaran akan kebutuhan hukum masyarakat dalam sebuah negara dengan lebih dari 200 juta penduduknya. Bagaimana mungkin kegiatan sebagaimana tersebut mampu menjawab legitimasi keterwakilan kebutuhan hukum dan kecocokan dengan undang-undang yang bersifat erga omnes? Khususnya menyangkut hak atau kewajiban sebagai warga negara.

 

Untuk itu, sulit menjelaskan bagaimana dan di mana nasib aspirasi masyarakat dalam sebuah proses pembentukan undang-undang yang telah dilakukan. Meskipun ini dapat dikategorikan sebagai kritik atas metodologi dalam pembentukan undang-undang, tetapi hal tersebut merupakan wujud untuk memastikan jaminan hak konstitusional warga negara. Baik terlibat dalam pemerintahan atau bisa masuk ke dalam klasifikasi hak prosedural dalam pembentukan undang-undang.

 

Dengan kata lain, dalam konteks negara hukum, implementasi Pancasila dalam pembentukan hukum sebagai penjabaran lebih lanjut dari Pancasila nyatanya sangat tergantung pada dinamika politik kekuasaan. Bukan terhadap dinamika aspirasional masyarakat itu sendiri sebagai wujud dari nilai-nilai yang hidup.

 

Secara nilai dan konsep, Pancasila sangat relevan dan terbuka dengan segala zaman, termasuk mempromosikan nilai-nilai yang mungkin selama ini dianggap tabu. Namun, untuk menjawab kebutuhan tersebut menuntut adanya pergeseran paradigma. Pancasila hanyalah sebatas terminologi tentang haluan negara, tetapi secara konsep ia telah menyatu dengan konstitusi sehingga yang mesti diperkuat adalah konstitusionalisme. Tidak lagi menempatkan Pancasila seolah-olah entitas yang berbeda dengan UUD 1945. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar