Rabu, 23 Juni 2021

 

”Buron”, ”Buronan”, atau ”Buruan”?

Nur Adji ;  Penyelaras Bahasa Kompas

KOMPAS, 19 Juni 2021

 

 

                                                           

Sejak digunakan bertahun-tahun lalu, bahasa Indonesia memiliki bentuk bersaing. Kedua kata yang bersaing itu punya kedudukan yang sama kuat di masyarakat.

 

Salah satu contoh kata bersaing yang masih beradu kuat untuk tampil sebagai pemenang adalah kata buron dan buronan. Kata ini mengikuti jejak kata-kata lain yang lebih dulu bersaingan. Masjid bersaingan dengan mesjid, jemaah dengan jamaah, genteng dengan genting, pimpinan dengan pemimpin, dan seterusnya.

 

Yang menang akhirnya menjadi lema yang diterima dalam kamus besar, sedangkan yang keok diberi status ”bentuk yang tidak baku”. Yang menang berstatus kata formal, yang kalah berstatus tidak formal.

 

Yang formal biasanya dianggap sebagai kata yang ”berderajat tinggi” karena dipakai oleh ”orang yang tahu bahasa”. Sebaliknya, yang tidak formal dianggap sebagai kata yang ”berderajat kurang tinggi” karena dipakai oleh ”orang yang tidak tahu bahasa”.

 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata buron menjadi bentuk baku dengan kata buruan sebagai bentuk yang tidak baku. Akan halnya buronan, kata ini menjadi lema, tetapi diacu ke buron.

 

Dengan kata lain, kata buronan dianggap sebagai kata yang belum sepenuhnya baku karena untuk mengetahui maknanya, pemakai bahasa akan mendapatkannya pada kata buron. Sudah jelas kepada kita, jika kita membuka kamus, kata-kata yang mempunyai maknalah yang dianggap sebagai kata baku.

 

Dalam KBBI kata buron bermakna ’orang yang (sedang) diburu (oleh polisi); orang yang melarikan diri’. Makna ini pun dilekatkan pada kata buruan sebagai makna kedua. Makna buruan yang pertama adalah ’binatang yang diburu’, di samping ada makna ketiga ’terburu-buru’ (cakapan). Karena diacukan kepada buron, makna kata buronan pun menjadi sama dengan buron.

 

Penyebab kata buron mempunyai makna yang sama dengan buruan terkait dengan proses pembentukan katanya. Buron merupakan bentuk lain dari buruan.

 

Kita tahu bahwa buruan merupakan hasil dari pengimbuhan -an pada kata buru (buru + -an). Akhiran -an yang melekat pada kata buru merupakan pembentuk kata benda. Dalam hal ini pengimbuhan -an  menyebabkan munculnya makna ’yang biasa dikenai tindakan; yang di’. Jadi, kata buruan bermakna ’yang diburu’.

 

Gejala bahasa

 

Kemunculan kata buron boleh jadi merupakan cara pemakai bahasa memendekkan kata yang dianggap terlalu panjang. Ketimbang buruan, mereka lebih senang menggunakan buron yang lebih singkat.

 

Gejala bahasa yang menunjukkan pemakai bahasa memendekkan kata sudah lama ada. Kata satai, misalnya dipendekkan menjadi sate, cabai menjadi cabe, gulai menjadi gule.

 

Namun, dalam kasus ini, bentuk pendeknya (sate, cabe, gule) masih ditandai dengan cak (yang berarti bahasa percakapan). Ketiganya belum betul-betul dianggap seratus persen sebagai kata baku.

 

Untuk kasus buruan menjadi buron, bisa juga karena pemakai bahasa menggunakannya berdasarkan bentuk yang sudah ada (analogi). Dulu kita pernah mendengar atau menemukan kata keratuan dan kedatuan sebelum menjadi keraton dan kedaton.

 

Keratuan dan kedatuan masing-masing dibentuk dari kata ratu dan datu yang mendapat imbuhan ke- + -an. Ratu dan datu bermakna ’permaisuri’ dan ’raja/ratu’. Keratuan dan kedatuan merupakan tempat tinggal ratu dan raja.

 

Baik keratuan/kedatuan maupun keraton/kedaton hidup berdampingan dengan mesra di KBBI. Keduanya tercatat sebagai lema baku bahasa Indonesia.

 

Berbeda dengan keratuan/kedatuan dan keraton/kedaton, kata buronan belum diterima sepenuhnya oleh KBBI. Hal itu terbukti dari perlakuan yang berbeda terhadap kata-kata tersebut. Jika keratuan/kedatuan, keraton/kedaton—dan buron atau buruan—sudah disertai dengan makna masing-masing, kata buronan belum diberi makna.

 

Penyebabnya kemungkinan ialah kata buronan merupakan bentuk yang lewah. Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa kata buron berasal dari kata buruan, yang merupakan hasil pemendekan atau analogi.

 

Penambahan -an pada buron (buronan) menyebabkan ada dua kali penambahan imbuhan -an. Jadi, kata buronan berasal dari kata buru dengan dua akhiran -an (buru + -an + -an). Ini bentuk lewah. Mubazir.

 

Selain itu, penambahan akhiran -an yang kedua itu tidak berpengaruh terhadap makna buron (buruan). Maknanya tetap sama, yaitu ’orang yang diburu polisi’. Jadi, -an yang terakhir itu tidak ada gunanya. Sebab, baik dengan maupun tanpa -an, makna buron tidak berubah.

 

Dalam kalimat, kata buron bisa menduduki posisi apa saja. Bisa subyek, predikat, juga obyek. Contoh: Polisi sudah menangkap sepuluh buron. Buron kejaksaan itu kebanyakan ditangkap di luar negeri. Mereka jadi buron bertahun-tahun lalu.

 

Apakah kata seperti buronan yang lewah ini akan berkembang terus, atau malah mati, tergantung penggunanya. Namun, kecermatan memilih kata dan tahu proses pembentukannya sangat dibutuhkan dalam pengembangan bahasa.

 

Bahasa yang memiliki proses pembentukan kata yang jelas akan mempermudah penggunanya jika menemukan kasus-kasus kebahasaan lain yang sejenis. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar