Minggu, 13 Juni 2021

 

Ruang Publik yang Kian Pengap

Budiman Tanuredjo ;  Wartawan Senior Kompas

KOMPAS, 12 Juni 2021

 

 

                                                           

Sambil berolahraga pagi, seorang teman bertanya. ”Ada apa lagi, Pak. Kok tiba-tiba sekarang muncul isu  pasal penghinaan presiden. Sembako dan pendidikan bakal dipajaki.”  Saya coba renungkan pertanyaan teman itu. Ruang politik dan virtual pengap. Isu datang silih berganti. Ada isu yang diproduksi negara atau isu yang hadir di tengah masyarakat.

 

Kisruh di Komisi Pemberantasan Korupsi belum kelar. Padahal, Presiden Jokowi sudah memberikan arahan  jelas. ”Hasil tes wawasan kebangsaan tidak serta-merta dijadikan alasan memberhentikan  pegawai.” Putusan Mahkamah Konstitusi senada.  Namun, Ketua KPK Komisaris Jenderal (Pol) Firli Bahuri akan memberhentikan 51 pegawai.

 

Seandainya arahan Presiden diikuti, masalah di KPK kelar. Kini isu KPK menjalar ke mana-mana. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar diadukan ke Dewan Pengawas KPK karena dugaan pelanggaran etik. Penyidik KPK diadukan ke Dewas. Pegawai KPK mengadu ke Komnas HAM dan Ombudsman. Pimpinan KPK  tidak hadir saat dipanggil Komnas HAM. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo mendukung langkah KPK. Ribut lagi.

 

Dalam kasus berbeda, ketika mendengar keluhan soal premanisme di kawasan Tanjung Priok, Jakarta, dari sopir kontainer, Presiden Jokowi langsung menelepon Kapolri Jenderal (Pol)  Listyo Sigit Prabowo. Urusan preman langsung dibereskan. Sejumlah preman  ditangkap. Salut untuk Kapolri yang tegak lurus    menjalankan perintah Presiden. Urusan preman selesai. Namun, dalam urusan KPK, Firli menafsirkan berbeda.

 

KPK belum kelar, muncul lagi isu anggaran pengadaan alat utama sistem persenjataan  Rp 1.700 triliun. Ruang publik ribut lagi. Belum tuntas senjata, muncul lagi kehebohan baru soal rencana pemerintah mengenakan pajak  sembako, pajak pendidikan, dan kesehatan. Pemerintah jadi sasaran kritik. Muncul lagi soal dana haji dan terakhir rancangan KUHP soal penghinaan presiden dan kekuasaan umum.

 

Publik terbelah. Tetapi bisa juga sengaja dibelah konsentrasinya. Terlalu banyak isu dan masalah muncul atau dimunculkan. Ruang percakapan publik begitu pengap di tengah kecemasan publik soal peningkatan pandemi.

 

Di tengah pengapnya ruang publik, DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pemerintah ancang-ancang menetapkan tanggal pemilu pada 28 Februari 2024 dan pilkada serentak pada 27 November 2024. Tanggal itu belum pasti karena 28 Februari 2024 adalah Hari Raya Galungan. Tak mungkin pemilu digelar di hari besar keagamaan.

 

Politik datang begitu cepat. Jika pemilu presiden bulan Februari 2024, paling tidak tahapan pemilu dimulai Maret 2022.  Keefektifan pemerintahan Presiden Jokowi bisa terganggu. Semoga tidak. Sambil menjaga kondisi negeri agar tetap baik-baik saja dan menjaga agar tidak kian  memburuk, persiapan menuju 2024 pantas dicermati. Kalender konstitusional yang  ketat itu patut dipertimbangkan saksama karena penuh risiko.

 

KPU periode 2017-2022 berakhir masa jabatannya April 2022. Artinya, pemilihan anggota KPU harus disiapkan sejak akhir 2021. Tahapan pemilu pada bulan  April 2022 sudah akan dijalankan KPU 2022-2027. Waktunya mepet. Tahun 2022-2023 sejumlah kepala daerah habis masa jabatannya. Separuh Republik akan dipimpin penjabat kepala daerah.

 

Pemilihan 2024 sangat kompleks karena ada pemilu legislatif dan pemilihan presiden serentak dan kemudian diikuti  pilkada serentak. Jika Pilpres 28 Februari 2024, akan ada masa ”tidak nyaman secara politik” karena Presiden Jokowi masih akan menjabat hingga 20 Oktober 2024 dan pada 28 Februari 2024,  minimal sudah bisa ada presiden terpilih berdasar hitung cepat.

 

Masih ada waktu delapan bulan.  Begitu lama. Sementara Pilkada Serentak 27 November 2024 dan pencalonan kepala daerah menggunakan hasil pemilu Februari 2024. Pilkada serentak akan dilaksanakan di bawah tanggung jawab presiden baru, yang baru menjabat satu bulan.

 

Di sisi lain, peminat kursi  presiden  mulai bergerilya. Pemasar politik mulai ”menjual” pasangan, apakah Prabowo Subianto-Puan Maharani atau Megawati-Prabowo. Ketegangan terjadi di internal PDI-P antara Ganjar Pranowo dan Bambang Wuryanto.

 

Belakangan PDI-P-Gerindra mesra. Gelar profesor kehormatan diberikan kepada Megawati oleh Universitas Pertahanan. Ada juga yang memasarkan Puan Maharani-Anies Baswedan. Agus Harimurti Yudhoyono gesit bergerilya menemui pimpinan daerah. Begitu juga Anies Baswedan yang bertemu Ridwan Kamil di Sumedang. PKS dengan logo barunya bertemu dengan partai lain.  Begitu juga PKB, Partai Golkar yang menjagokan Airlangga Hartarto, serta Partai  Nasdem yang menggagas konvensi calon presiden.

 

Entah apa yang dipercakapkan para peminat kursi presiden atau dalam silaturahmi pimpinan parpol. Semoga mereka membicarakan penyelesaian kisruh  pegawai KPK yang akan dipecat karena tak bisa dibina lagi.  Terasa seperti  habis manis sepah dibuang. Sementara  pimpinan KPK justru ingin menjadikan  terpidana kasus korupsi sebagai penyuluh korupsi.

 

Semoga mereka juga membicarakan bagaimana memperkuat daya dukung masyarakat yang kian melemah, mengatasi pembelahan sosial di masyarakat. Bukan justru membicarakan bagaimana memperkuat posisi negara dan melemahkan demokrasi dan melemahkan gerakan antikorupsi.

 

Musim persaingan politik datang lebih cepat.  Rasanya baik bagi publik melihat calon pemimpin yang punya rekam jejak kuat memberantas korupsi, menyelesaikan masalah pelanggaran HAM, menghadirkan keadilan sosial  dan kesejahteraan  masyarakat. Rekam jejak perlu didalami  karena sejarah mengajarkan,   pemimpin itu kerap, lain kata, lain perbuatan. Lain saat kampanye, lain saat memerintah. Suara rakyat dibutuhkan satu saat. Saat lain, suara rakyat dicampakkan ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar