Minggu, 13 Juni 2021

 

Pementasan Ketoprak Plesedan Penuh Lelucon dan Pitutur

Selo Soemardjan ;  Sosiolog (1915-2003)

KOMPAS, 13 Juni 2021 (15 Maret 1992)

 

 

                                                           

Sudah lebih dari 10 tahun lamanya saya tidak melihat pertunjukan ketoprak. Bagi seorang yang dilahirkan dan dibesarkan di Yogya, waktu itu berarti lama sekali. Bayangkan, tahun 1932 saya untuk pertama kali melihat ketoprak di kampung saya, Kumetiran. Sejak itu saya tidak melewatkan setiap kesempatan untuk melihat lagi. Tanggal 15 Februari 1992 saya saksikan pementasan ketoprak di Jakarta.

 

Melebihi harapan saya, mutu Ketoprak Plesedan ini amat tinggi, baik dalam akting pemain, dialog, kecepatan urutan adegan-adegan dan yang paling hebat humornya! Selama dua setengah jam saya tidak ada henti-hentinya tertawa. Seperti juga Rendra yang duduk di samping saya! Humornya segar, orisinal, mengandung kritik sosial atau malahan berisi pitutur dan piwulang! Gamelannya, kombinasi dari gamelan tradisional Jawa dan organ modern, selalu sinkron dengan akting para pemain, sehingga mendukung dan memperindah seluruh pergelaran.

 

Begitu banyaknya humor yang ditampilkan, sehingga saya tidak dapat ingat semuanya. Akan tetapi di bawah ini saya coba membeberkan beberapa kutipan dengan saya tambah makna yang menurut perasaan saya terkandung dalam tiap lelucon. Semua dialog, termasuk humor, diucapkan dalam bahasa Jawa, sering ngoko (rendah), sering juga kromo hinggil (tinggi). Seperti lelucon dengan bahasa apa saja di dunia, kalau diterjemahkan hilang sebagian atau seluruh isi humornya. Di sini demikian juga.

 

Tulisan ini bukan tulisan ilmiah, akan tetapi saya pernah mendengar seorang ahli ilmu kebudayaan mengatakan, humor itu hanya dapat dimengerti dan diapresiasi dalam bahasa aslinya dan dengan latar belakang kebudayaannya. Di luar itu rasanya cemplang, kurang garam!

 

Salah satunya adalah lelucon yang mengandung kritik sosial. Ada seorang Adipati Trenggalek sedang membujuk anaknya laki-laki supaya mau kawin dengan gadis yang dipilihkan oleh ayahnya.

 

Adipati, "Kamu ingin saya jodohkan dengan seorang gadis yang saya pilihkan bagimu! Sanggupkah kamu?"

 

Anak, "Sendika! (Siap)!"

 

Adipati, "Sebaiknya kapan?"

 

Anak, "Dua tahun lagi!"

 

Adipati, "Mengapa tunggu begitu lama?"

 

Anak, "Skripsi, Pak? Belum selesai!"

 

Adipati, "Apa skripsi itu perlu?"

 

Anak, "Sebenarnya tidak, Pak. Sebagai putra Bapak Adipati, tanpa skripsi saya juga bisa lulus."

 

Pada kesempatan lain anak Adipati bertemu dengan seorang warok terkenal yang mempunyai anak gadis cantik.

 

Anak Adipati, "Bapak, sebaiknya anakmu Soeminten itu saya angkat menjadi istri saya kedua!"

 

Warok, "Wah! Jangan dong!"

 

Anak Adipati, "Lho, mumpung di Trenggalek sini belum ada PP 10!"

 

Ada juga lelucon yang secara spontan diucapkan menanggapi keadaan yang pada saat itu dilihat oleh para pemain. Lelucon spontan itu biasanya hanya mungkin dilontarkan oleh orang yang jiwanya memang berisikan kemampuan untuk seketika memberi reaksi atau tanggapan yang penuh humor terhadap suatu situasi yang saat itu dialaminya. Jelasnya hanya orang yang benar-benar mempunyai bakat humor dapat mencetuskan lelucon spontan.

 

Ada adegan di mana seorang pemain pria sedang bercumbu mesra dengan pemain wanita. Tentunya di atas panggung. Sekonyong-konyong si wanita menjerit dan mau lari, "Saya malu, malu, malu." Si pria kaget dan bertanya, "Ada apa? Ada apa?" Jawab si wanita, "Itu ada orang nginjen (mengintip)!" Memang di depan panggung ada seorang wartawan foto (bukan pemain ketoprak) yang jongkok untuk mengambil juga kaget dan lari.

 

Ada adegan lain yang memberikan kesempatan untuk lelucon spontan. Seorang pria bertengkar dengan seorang warok, yaitu jagoan berkelahi. Pertengkaran hampir beralih menjadi perkelahian fisik. Si pria takut, kemudian lari. Si warok tidak mengejar. Beberapa detik kemudian si pria kembali lagi. Dibentak oleh si warok, "Mengapa kamu kembali lagi?" Jawabnya, "Jalannya sana buntu." Memang dia salah jalan waktu lari, jalan buntu!

 

Lelucon yang berikut ini juga mengandung kritik sosial. Di dalam suatu dialog seorang pemain mengatakan, "Ketoprak kita ini sebenarnya mirip dengan pers. Ketoprak kita bersifat ketoprak plesedan. Pers itu juga plesedan. Tetapi kalau ketoprak kita sengaja memplesedkan kata atau bahasa supaya penonton ketawa, kalau pers bisa keplesed dan dicabut surat izin usaha penerbitan (SIUPP)-nya. Akibatnya menyedihkan."

 

Sebenarnya selama berada di panggung tidak banyak plesedan kata atau bahasa yang sungguh-sungguh diucapkan. Mungkin yang di bawah ini boleh dinamakan plesedan. Sekali lagi ada adegan di mana dua orang salaing bertengkar. Pihak yang ditantang berkelahi dengan gagah dan berani bersumbar, "Apa abamu! Apa kamu kira saya berani?" Sebenarnya, "Apa kamu kira saya takut?" Tetapi karena terlalu emosi malah keliru. Kemudian masih dilanjutkan, "Ayo! Rawe-rawe rantas, malang-malang...." Sebenarnya yang harus dikatakan, "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung," yang berarti semua rintangan akan saya patahkan. Tetapi karena gugup dan takut, jadinya, "Rawe-rawe rantas, Malang, Kediri, Blitar, Surabaya..."

 

Cara memberi komando kepada pasukan seperti di bawah ini mungkin perlu diperhatikan oleh ABRI. Di dalam semangat ABRI, komando kepada pasukan selalu diberikan dengan teriak keras sekali diakhiri perintah seperti membentak. Misalnya, "Pasukan maju jalaaaaan... Gerak!" Suara keras dan sikap tegak, saling memperkuat semangat militernya.

 

Di dalam Ketoprak Plesedan juga ada pasukan. Pasukan Jawa asli. Caranya memberi komando juga dengan bahasa Jawa, kromo hinggil, dibarengi gerak-gerik sopan santun Jawa halus. Gerak pasukannya berdisiplin tinggi, tetapi halus. Contoh komandonya, "Samudayanipun (semuanya) mlampah majeng ... Mangga! Artinya, "Semuanya, maju jalan ... silakan." Kemudian, "Samudayanipun atereeeet ... mangga!" Ateret adalah dari bahasa Belanda achteruit atau mundur!

 

Isi dialog tidak semuanya bersifat lelucon. Ada dialog yang agak panjang yang secara intelektual bermutu. Di dalam dialog itu terungkap perbedaan pikiran dan sikap seorang priyayi agung tradisional yang berhadapan dengan anak lelakinya yang modern dan berpendidikan sampai perguruan tinggi. Bapaknya, Adipati Trenggalek, hendak membujuk anaknya supaya mau kawin dengan anak perempuan seorang warok yang berjasa kepada sang Adipati.

 

Adipati, "Anakku, dengarkan dawuhku! Kamusaya lihat sudah cukup dewasa untuk mempunyai seorang istri!"

 

Anak, "Nuwun sewu, Bapak. Kalau Bapak menganggap saya sudah cukup dewasa, bukankah sudah sepantasnya kalau Bapak tidak dawuh (perintah) kepada saya,tetapi membicarakan dengan saya. Lebih-lebih mengenai perkawinan yang akan mengenai kepentingan hidup saya pribadi."

 

Adipati, "Bolehlah kita bicara. Saya telah memilih gadis cantik untuk menjadi istrimu!"

 

Anak, "Saya menghargai pilihan Bapak itu. Tetapi kalau saya harus beristri, apakah tidak sebaiknya saya memilih sendiri istri itu. Kalau tidak senang dengan gadis pilihan Bapak, apakah saya dengan istri nanti tidak jatuh dalam lembah sengsara?"

 

Adipati, "Ketahuilah, Nak! Waktu saya kawin dengan ibumu dulu, ibumu itu juga pilihan orangtua saya. Saya juga tidak mengenal ibumu lebih dahulu. Meskipun demikian saya dan ibumu selalu dapat hidup rukun dan dapat menciptakan keluarga yang berbahagia serta terhormat."

 

Anak, "Saya percaya penuh kata-kata Bapak itu. Tetapi ukuran kebahagiaan suami-istri dan keluarga Bapak dahulu sudah berbeda. Bapak dan ibu rukun dalam arti Bapak selalu memberi perintah dan ibu menurut. Hubungan suami-istri yang demikian itu memang dikehendaki oleh kebudayaan yang dialami oleh bapak dan ibu dahulu.

 

Tetapi sekarang! Kerukunan dan kebahagiaan suami-istri didasarkan atas persamaan kedudukan. Tidak pantas lagi suami perintah terus dan istri tunduk terus. Kalau ada sesuatu yang penting yang harus diputuskan, suami-istri harus membicarakannya. Keputusan diambil bersama! Kalau suami-istri tidak saling mengenal sebelumnya, dan perkawinan tidak didasarkan atas rasa cinta-mencintai dan hormat- menghormati, semuanya itu sekarang tidak mungkin."

 

Bapak, "Saya lihat kamu itu hanya memikirkan kepentingan dirimu sendiri. Itukah sifat dan sikap manusia zaman modern sekarang? Mengertilah, bahwa gadis yang saya pilihkan bagimu itu anaknya warok di Trenggalek yang sudah berjasa besar kepada bapakmu dan kepada rakyat Trenggalek, karena dia dapat mengalahkan warok-warok lain yang mengganggu keamanan. Kalau kamu kawin dengan anaknya perempuan maka pertalian besar antara saya dan warok itu akan lebih memperkokoh lagi pemerintahan di Trenggalek. Sebagai anakku kamu berwajib untuk memikirkan dan mengusahakan kelestarian pemerintahan Trenggalek!"

 

Anak, "Kalau itu pertimbangan Bapak maka perkawinan itu sebenarnya bukan perkawinan antara saya dan gadis anak warok itu, akan tetapi antara Adipati Trenggalek dan warok, bukan? Saya mohon maaf, tetapi saya tidak bersedia dijadikan korban untuk perkawinan! Saya merasa seolah-olah hanya dijadikan hadiah saja untuk menghargai jasa-jasa warok itu kepada Bapak!"

 

Bapak, "Saya kecewa sekali kamu tidak mengerti berterima kasih kepada bapakmu. Bukankah saya dan ibu yang membesarkan kamu, bukankah saya dan ibumu yang memberikan pendidikan dan kedudukan terhormat bagimu? Sekarang tunjukkanlah terima kasihmu dengan mengikuti keputusanku. Itulah wajib anak terhadap orangtua!"

 

Anak, "Saya berterima kasih benar atas segala yang bapak dan ibu berikan kepada saya. Tetapi cara mewujudkan terima kasih itu tidak seperti yang bapak uraikan tadi. Manusia berada di dunia in karena kehendak Tuhan. Manusia itu wajib untuk berterima kasih kepada orangtua dan Tuhan.

 

Terima kasih kepada orangtua ditunjukkan dengan hidup yang baik dan selalu menghormati kepada orangtua. Ada pun terima kasih kepada Tuhan diwujudkan dengan pembinaan terhadap anak agar anak itu menjadi manusia yang baik dan taat kepada Tuhan. Eyang mendidik anaknya, yaitu bapak, bapak mendidik anaknya, yaitu saya. Saya mendirik anak saya, yaitu cucu Bapak. Itulah terima kasih anak kepada orangtua dan kepada Tuhan."

 

Bapak, "Kalau begitu kamu menolak perintah Bapakmu."

 

Anak, "Dengan segala kerendahan hati, saya tidak dapat menerima keputusan Bapak mengenai gadis yang harus saya peristri. Saya akan mempunyai pilihan sendiri."

 

Bapak, "Kalau begitu, kamu saya usir dari rumah ini."

 

Sebagai penonton Ketoprak Plesedan saya terkesan atas dialog di atas. Isinya bukan lagi lelucon belaka, akan tetapi menggambarkan frustrasi seorang bapak yang masih berpegangan pada kebudayaan dan nilai-nilai sosial yang sekarang sudah kehilangan kekuatannya.

 

Sebaliknya si anak juga mengalami frustrasi oleh karena mempunyai pendirian yang diresapkannya dari kebudayaan serta nilai-nilai sosial yang berlaku sekarang dan yang berbeda, bahkan bertentangan dengan yang masih dianut oleh bapaknya. Kesenjangan budaya antargenerasi terbuka dengan jelas di dalam dialog pendek itu.

 

Selain menunjukkan adanya kesenjangan antargenerasi, dialog itu berisikan juga sekelumit filsafat. Menurut bapak, makna terima kasih anak kepada orangtua diarahkan kepada orangtua itu, yaitu dengan tunduk pada keputusan orangtua. Anak bersikap, terima kasih kepada orangtua wajib diberikan oleh si anak,tetapi dengan cara hidup yang baik dan menghormat kepada orangtua tanpa mengorbankan kepribadian dirinya (kepribadian anak).

 

Akan tetapi, di samping itu manusia, termasuk si anak itu, harus berterima kasih juga kepada Tuhan. Dan terima kasih kepada Tuhan itu diwujudkan tidak ke atas, artinya tidak kepada orangtua, akan tetapi malahan ke bawah, yaitu kepada anak. Bimbingan dan pembinaan kepada anak akan melestarikan eksistensi manusia di dunia ini seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.

 

Alhasil saya bergembira sekali mendapat kesempatan menyaksikan pementasan Ketoprak Plesedan ini. Saya dapat tertawa dengan bebas, tetapi saya juga mendapat berbagai pitutur yang berharga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar