Bahasa, Kuasa, dan Kekerasan Simbolis
Tjahjono Widarmanto ; Pemimpin Redaksi Majalah Sastra KALIMAS;
Mahasiswa S-3 Unesa Surabaya
|
JAWA
POS, 31 Oktober 2015
BAHASA dan kekuasaan memiliki relasi dan
keterkaitan yang erat serta unik. Melalui bahasalah dominasi kekuasaan dapat
dipraktikkan. Perbedaan posisi seorang penutur bahasa dalam sebuah hierarki
sosial dapat dilihat melalui penggunaan aksen, intonasi, kalimat, dan
kosakata yang digunakan.
Kekuatan dan pengaruh penggunaan bahasa serta
kata-kata sangat bergantung pada siapa yang melakukan tindak bahasa tersebut
dan bagaimana bahasa itu diucapkan. Otoritas yang mengucapkan bahasa akan
memberikan efek yang berbeda kepada penerima.
Sebuah rezim yang otoriter dapat menggunakan
bahasa tak sekadar untuk melanggengkan kekuasaannya. Namun, mereka juga bisa
menggunakan bahasa untuk memproduksi sistem simbol dalam kaitannya dengan
posisi kekuasaannya. Sistem simbol yang diproduksi tersebut berperan sebagai
kontrol, penguasaan, bahkan kekerasan yang dilakukan secara samar, halus, dan
simbolis.
Produksi sistem simbol untuk mengontrol
kekuasaan, melanggengkan kekuasaan, bahkan untuk melakukan kekerasan dapat
dilihat sejak zaman lampau. Produksi sistem bahasa secara sistematis sudah
dilakukan raja-raja Mataram sejak Panembahan Senapati dan terutama pada zaman
Sultan Agung.
Konsolidasi kekuasaan dilakukan melalui
penulisan babad dan pelembagaan tingkatan-tingkatan bahasa Jawa yang dikenal
sebagai unggah-ungguhing basa. Sistem simbol tersebut dibangun untuk menciptakan
jarak sosial yang jelas antara mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai
(Moedjanto, 1993).
Sosiolinguistik telah menunjukkan, dalam
masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih, terdapat dua ragam bahasa.
Pertama, ragam tinggi ( high variety), yakni bahasa yang lebih dihargai,
terpelajar dan lebih dihormati bahkan oleh mereka yang tidak mengerti ragam
ini.
Kedua, ragam rendah ( low variety), yaitu
ragam bahasa yang dianggap lebih rendah, kasar dan cenderung tidak diakui.
Ragam tinggi dipelajari di bangku-bangku sekolah dan memiliki fungsi resmi di
ruang publik, sedangkan ragam rendah umumnya dipelajari dalam keluarga dan
digunakan dalam suasana tak resmi di wilayah pribadi.
Karena digunakan dalam wilayah publik yang
formal, bahasa ragam tinggi dianggap sebagai prasyarat yang mesti dikuasai
siapa pun yang hendak turut serta di dalamnya. Akibatnya, mudah diterka,
mereka yang menguasai ragam bahasa tinggi akan lebih mampu mendominasi
wilayah publik.
Relasi antara bahasa dan kekuasaan jauh lebih
luas ketika kekuasaan tidak hanya dimaknai sebagai kuasa negara atau
kekuasaan politik semata. Kekuasaan bisa dimaknai sebagai dominasi.
Dalam keterkaitan antara bahasa dan dominasi
inilah, Pierre Bourdieu melihat bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi
juga instrumen tindakan dan kekuasaan.
Relasi bahasa dan kekuasaan sebagai hubungan
kekuatan simbolis yang membentuk realitas itulah yang disebut Bourdieu
sebagai kuasa simbolis. Bahasa adalah salah satu bentuk simbolis yang khas.
Dominasi simbolis mengandaikan keterlibatan
yang didominasi. Bukan hanya karena kepatuhan pasif atau paksaan, bukan pula
penerimaan bebas terhadap sebuah nilai.
Ada suatu bentuk persetujuan terhadap sudut
pandang kelompok dominan yang ditanamkan secara halus. Situasi seperti itu
diistilahkan Bourdieu sebagai doxa. Doxa merupakan sudut pandang penguasa
atau yang dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut
pandang yang universal.
Dominasi simbolis membuka peluang terciptanya
kekerasan simbolis. Kekerasan jenis ini didefinisikan Lardellier (Hayatmoko,
2010) sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk
memaksa pihak lain tanpa persetujuan.
Di dalam kekerasan terdapat unsur dominasi
kepada pihak lain dalam berbagai wujud. Bisa verbal, fisik, gambar, atau
psikologis. Ungkapan nyata kekerasan bisa berupa manipulasi, fitnah,
pemberitaan yang tidak benar, kata-kata yang menyudutkan, penghinaan, atau
kata-kata kasar yang merendahkan serta mengancam.
Kekerasan yang paling sulit diatasi adalah kekerasan
simbolis yang beroperasi melalui wacana. Disebut simbolis karena dampak yang
biasa dilihat dalam kekerasan fisik tidak tampak.
Tidak terdapat luka, tidak ada akibat
traumatis, tidak muncul kecemasan, tidak tampak adanya ketakutan, bahkan
korban tidak merasa mendapatkan kekerasan dan tidak merasa didominasi.
Kekerasan simbolis berjalan karena pengakuan, kesediaan, dan keterlibatan
sukarela yang didominasi.
Hanya, prinsip simbolis diketahui dan
diterima, baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu
berupa bahasa, cara berpikir, cara bertindak, dan cara kerja. Dampak
kekerasan simbolis itu halus, berlangsung melalui ketidaktahuan, pengakuan,
atau perasaan korbannya.
Bahasa tidak mungkin hadir dengan tiba-tiba
tanpa peran faktorfaktor di luar bahasa. Sistem bahasa berjalan sangat erat
dengan sistem sosial budaya sehingga bahasa dapat menggambarkan bahkan
mengarahkan konstruksi realitas sosial budaya.
Memahami bahasa sebagai alat kepentingan
kekuasaan menjadi sebuah penyadaran penting melawan bentuk hegemoni apa pun.
Melalui pemahaman dan kesadaran bahwa bahasa bisa berpotensi sebagai alat
kekuasaan, bakal muncul sikap kritis bahwa di sekeliling kita masih banyak
kekerasan simbolis yang harus dengan sadar dilawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar