Selasa, 10 November 2015

Bahasa, Kuasa, dan Kekerasan Simbolis

Bahasa, Kuasa, dan Kekerasan Simbolis

Tjahjono Widarmanto  ;  Pemimpin Redaksi Majalah Sastra KALIMAS;
Mahasiswa S-3 Unesa Surabaya
                                                      JAWA POS, 31 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

BAHASA dan kekuasaan memiliki relasi dan keterkaitan yang erat serta unik. Melalui bahasalah dominasi kekuasaan dapat dipraktikkan. Perbedaan posisi seorang penutur bahasa dalam sebuah hierarki sosial dapat dilihat melalui penggunaan aksen, intonasi, kalimat, dan kosakata yang digunakan.
Kekuatan dan pengaruh penggunaan bahasa serta kata-kata sangat bergantung pada siapa yang melakukan tindak bahasa tersebut dan bagaimana bahasa itu diucapkan. Otoritas yang mengucapkan bahasa akan memberikan efek yang berbeda kepada penerima.

Sebuah rezim yang otoriter dapat menggunakan bahasa tak sekadar untuk melanggengkan kekuasaannya. Namun, mereka juga bisa menggunakan bahasa untuk memproduksi sistem simbol dalam kaitannya dengan posisi kekuasaannya. Sistem simbol yang diproduksi tersebut berperan sebagai kontrol, penguasaan, bahkan kekerasan yang dilakukan secara samar, halus, dan simbolis.

Produksi sistem simbol untuk mengontrol kekuasaan, melanggengkan kekuasaan, bahkan untuk melakukan kekerasan dapat dilihat sejak zaman lampau. Produksi sistem bahasa secara sistematis sudah dilakukan raja-raja Mataram sejak Panembahan Senapati dan terutama pada zaman Sultan Agung.
Konsolidasi kekuasaan dilakukan melalui penulisan babad dan pelembagaan tingkatan-tingkatan bahasa Jawa yang dikenal sebagai unggah-ungguhing basa. Sistem simbol tersebut dibangun untuk menciptakan jarak sosial yang jelas antara mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai (Moedjanto, 1993).
Sosiolinguistik telah menunjukkan, dalam masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih, terdapat dua ragam bahasa. Pertama, ragam tinggi ( high variety), yakni bahasa yang lebih dihargai, terpelajar dan lebih dihormati bahkan oleh mereka yang tidak mengerti ragam ini.

Kedua, ragam rendah ( low variety), yaitu ragam bahasa yang dianggap lebih rendah, kasar dan cenderung tidak diakui. Ragam tinggi dipelajari di bangku-bangku sekolah dan memiliki fungsi resmi di ruang publik, sedangkan ragam rendah umumnya dipelajari dalam keluarga dan digunakan dalam suasana tak resmi di wilayah pribadi.

Karena digunakan dalam wilayah publik yang formal, bahasa ragam tinggi dianggap sebagai prasyarat yang mesti dikuasai siapa pun yang hendak turut serta di dalamnya. Akibatnya, mudah diterka, mereka yang menguasai ragam bahasa tinggi akan lebih mampu mendominasi wilayah publik.

Relasi antara bahasa dan kekuasaan jauh lebih luas ketika kekuasaan tidak hanya dimaknai sebagai kuasa negara atau kekuasaan politik semata. Kekuasaan bisa dimaknai sebagai dominasi.

Dalam keterkaitan antara bahasa dan dominasi inilah, Pierre Bourdieu melihat bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga instrumen tindakan dan kekuasaan.

Relasi bahasa dan kekuasaan sebagai hubungan kekuatan simbolis yang membentuk realitas itulah yang disebut Bourdieu sebagai kuasa simbolis. Bahasa adalah salah satu bentuk simbolis yang khas.

Dominasi simbolis mengandaikan keterlibatan yang didominasi. Bukan hanya karena kepatuhan pasif atau paksaan, bukan pula penerimaan bebas terhadap sebuah nilai.

Ada suatu bentuk persetujuan terhadap sudut pandang kelompok dominan yang ditanamkan secara halus. Situasi seperti itu diistilahkan Bourdieu sebagai doxa. Doxa merupakan sudut pandang penguasa atau yang dominan yang menyatakan diri dan memberlakukan diri sebagai sudut pandang yang universal.
Dominasi simbolis membuka peluang terciptanya kekerasan simbolis. Kekerasan jenis ini didefinisikan Lardellier (Hayatmoko, 2010) sebagai prinsip tindakan yang mendasarkan diri pada kekuatan untuk memaksa pihak lain tanpa persetujuan.
Di dalam kekerasan terdapat unsur dominasi kepada pihak lain dalam berbagai wujud. Bisa verbal, fisik, gambar, atau psikologis. Ungkapan nyata kekerasan bisa berupa manipulasi, fitnah, pemberitaan yang tidak benar, kata-kata yang menyudutkan, penghinaan, atau kata-kata kasar yang merendahkan serta mengancam.

Kekerasan yang paling sulit diatasi adalah kekerasan simbolis yang beroperasi melalui wacana. Disebut simbolis karena dampak yang biasa dilihat dalam kekerasan fisik tidak tampak.

Tidak terdapat luka, tidak ada akibat traumatis, tidak muncul kecemasan, tidak tampak adanya ketakutan, bahkan korban tidak merasa mendapatkan kekerasan dan tidak merasa didominasi. Kekerasan simbolis berjalan karena pengakuan, kesediaan, dan keterlibatan sukarela yang didominasi.

Hanya, prinsip simbolis diketahui dan diterima, baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, cara berpikir, cara bertindak, dan cara kerja. Dampak kekerasan simbolis itu halus, berlangsung melalui ketidaktahuan, pengakuan, atau perasaan korbannya.

Bahasa tidak mungkin hadir dengan tiba-tiba tanpa peran faktorfaktor di luar bahasa. Sistem bahasa berjalan sangat erat dengan sistem sosial budaya sehingga bahasa dapat menggambarkan bahkan mengarahkan konstruksi realitas sosial budaya.

Memahami bahasa sebagai alat kepentingan kekuasaan menjadi sebuah penyadaran penting melawan bentuk hegemoni apa pun. Melalui pemahaman dan kesadaran bahwa bahasa bisa berpotensi sebagai alat kekuasaan, bakal muncul sikap kritis bahwa di sekeliling kita masih banyak kekerasan simbolis yang harus dengan sadar dilawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar