Selasa, 15 Juni 2021

 

Ujian bagi Program HIV/AIDS

Irwanto ;  Guru Besar Fakultas Psikologi, Unika Atmajaya, Jakarta

KOMPAS, 15 Juni 2021

 

 

                                                           

Tahun 2019/2020 merupakan masa “ujian” penting untuk program nasional penanggulangan HIV/AIDS. Setelah lebih dari 30 tahun program penanggulangan pandemi ini mencari bentuk dan mengelola program-program inovatif untuk menangani infeksi HIV dengan segala akibatnya di tataran nasional dan global, pada 2017 Presiden Jokowi mengakhiri program yang dikelola Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN).

 

Pada awal pandemik, respons global yang dipimpin PBB tahun 1994 bersepakat membentuk suatu komite khusus lintas badan PBB yang disebut Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), dan sampai hari ini masih memimpin koordinasi global penanggulangan HIV/AIDS dengan perwakilan di setiap negara anggota PBB.

 

Keputusan itu dibuat atas kenyataan bahwa HIV dan AIDS bukan sekadar masalah infeksi penyakit, tetapi mewakili suatu masalah yang jauh lebih kompleks. Infeksi HIV punya dimensi biologis dan kesehatan, selain dimensi sosial-budaya, hukum, politik, dan HAM. Hambatan utama dalam penanggulangan epidemi ini justru di sektor sosial budaya, politik dan hukum (dan HAM).

 

Secara teknis biologis telah dicapai kemajuan luar biasa di mana virus HIV sudah bisa dikontrol dengan efektif melalui pengobatan kombinasi yang disebut anti retro irus therapy (ART) sehingga kandungan virus dalam darah manusia dapat ditekan sampai tak terdeteksi melalui pengobatan ART terus-menerus selama minimal tiga bulan.

 

Treatment dengan ART juga mampu mengembalikan tingkat kesejahteraan fisik dan psikologis orang dengan HIV, pulih seperti orang sehat lainnya. Tidak sulit membayangkan bahwa dalam waktu yang tidak lama akan ditemukan vaksin atau treatment yang lebih permanen sehingga orang dengan HIV tak tergantung ART seumur hidup.

 

Target "Tiga Nol"

 

Dengan kemajuan ART maka pada awal 2000, UNAIDS menjadi lebih positif dan berpikir persoalan pandemi HIV akan berakhir di 2030. Optimisme ini disertai persyaratan berat, yaitu setiap negara mampu mencapai Three Zero (Tiga Nol) dalam kurun satu dekade, yaitu (UNAIDS Strategy 2011-2015) diharapkan tak ada lagi infeksi baru, tak ada lagi kematian akibat infeksi HIV dan tak ada lagi diskriminasi. Dari ketiga zero ini, yang terakhir lah yang paling sulit dicapai, terutama di Indonesia.

 

Melalui strategi itu UNAIDS mencanangkan program percepatan Treatment for All (Pengobatan untuk Semua) di mana ART bukan saja diperlakukan sebagai terapi tetapi juga instrumen pencegahan. Semangatnya adalah jika semua orang yang tahu statusnya menjangkau pengobatan dan terus berobat hingga jumlah virus di tubuhnya bisa ditekan sampai tak terdeteksi, maka hasilnya sama dengan pencegahan.

 

Pemikiran ini memicu ide program percepatan/akselerasi treatment yang disebut 90-90-90. Setiap negara harus all out menjangkau 90 persen dari jumlah kasus yang diperkirakan atau terdata. Dari 90 persen yang terjangkau diupayakan 90 persen diberi treatment ART, sehingga diharapkan 90 persen yang menjangkau treatment  mengalami supresi atau penekanan jumlah virus menjadi tak terdeteksi. Bon Voyage!

 

Indonesia tertinggal

 

Di banyak negara hasilnya cukup fantastis. Di berbagai negara Eropa Barat dan Amerika Utara, secara rata-rata dapat mencapai 83 persen. Asia Pasifik mencapai 62-71 persen dan secara global dicapai angka terendah 53 persen.

 

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia jauh di bawah angka terendah global dan Asia Pasifik. Untuk 90 persen pertama hanya dicapai 51 persen, yang kedua hanya 33 persen dan yang terakhir hanya 5 persen. Prestasi ini bahkan di bawah negara-negara Afrika Tengah Utara (25-41 persen).

 

Apa yang salah di Indonesia? Jika data Kemenkes yang digunakan dalam statistik ini cukup akurat, termasuk estimasi jumlah kasusnya, maka kecilnya jumlah kasus yang teridentifikasi dan yang menjangkau treatment mengindikasikan bahwa Orang dengan HIV AIDS (ODHA) mempunyai masalah dengan sistem yang ada. Mereka takut atau tidak percaya, atau takut dan tidak percaya sekaligus. Mengapa?

 

Mari kita kilas balik dengan cepat. Statistik yang disediakan lewat sistem pendataan yang dikelola oleh Kemenkes maupun survei nasional selalu menunjukkan bahwa angka infeksi tertinggi adalah di antara komunitas heteroseksual. Ini dipicu oleh banyaknya individu yang menggunakan narkotika suntik atau mempunyai perilaku seksual berisiko dengan pekerja seks (laki-laki maupun perempuan) dan transgender.

 

Dalam program nasional mereka disebut kelompok kunci (key population). Kebijakan berbasis kelompok kunci ini tak bergeser selama lebih dari 25 tahun. Walau secara logis sasaran utama pengurangan infeksi dalam populasi kelompok kunci dapat dibenarkan, tetapi efek yang tidak diperhitungkan adalah populasi umum yang mempunyai risiko tidak cukup memperoleh perhatian dalam hal informasi penting dan intervensi yang inovatif.

 

Kondom sebagai satu-satunya intervensi di populasi umum tidak pernah dibicarakan secara kreatif sehingga tetap menjadi sasaran syak wasangka sebagai sumber bencana keluarga dan kesehatan. Alhasil, perilaku berisiko laki-laki pelanggan seks komersial masih menuai jumlah infeksi terbesar dan kelompok kunci menjadi sasaran frustrasi dan kemarahan sehingga perundungan sosial sampai politik berlangsung tanpa ada pihak negara yang melindungi.

 

Dalam keadaan seperti itu, program tidak memberikan atau menyediakan program dukungan mental atau psikososial sehingga anggota kelompok kunci dapat memperoleh layanan yang universal non-diskriminatif serta suami-istri-anak yang terindikasi infeksi HIV dapat dibantu untuk mengatasi potensi keretakan rumah tangga. Akibat dari semua ini adalah sikap silence is golden, lebih baik tidak memberitahu siapapun dan tidak memeriksakan diri daripada ketahuan statusnya.

 

Ketika KPAN masih berfungsi aktif, komisi ini selalu menjadi buzzer yang efektif untuk mengingatkan pihak-pihak di pemerintahan ketika mereka menunjukkan stigma dan diskriminasi secara terbuka. KPAN merupakan rumah aman dan rumah setara sehingga siapapun yang berkiprah dalam penanggulangan HIV dan AIDS punya suara dan hak partisipasi penuh.

 

Pembubaran atau tepatnya pengembalian mandat KPAN ke Kemenkes dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan melalui Peraturan Presiden No 124 Tahun 2016 tak disertai persiapan birokrasi sehingga bagian penting dari KPAN yang bersifat inklusif hilang tak tergantikan.

 

Tentu bukan hanya faktor itu yang perlu diperhatikan. Sudah lama diamati bahwa skenario penanggulangan HIV/AIDS yang sarat dengan nuansa kemanusiaan, kerelawanan, aktivisme organik antar anggota masyarakat yang saling bahu-membahu membantu, digantikan dengan rutinitas program dengan target-target pencapaian yang sering membutuhkan kerja rodi.

 

Kepuasan batin dalam menyumbangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk orang lain telah diganti dengan gaji, honor, insentif yang tidak pandang bulu. Dalam praktik dapat terjadi bahwa orang yang telah bekerja tidak memperoleh hak-haknya hanya karena indikator capaian kerjanya tidak tercapai (dengan alasan apapun).

 

Evaluasi kinerja komunitas yang diberi judul “Penelitian Respons Sektor terhadap Penanggulangan HIV di Indonesia “(PKMK, Fakultas Kedokteran UGM, 2015) dan “Pengaruh Global Health Initiative terhadap Keberadaan dan Peran Masyarakat Sipil dalam Pengendalian HIV di Indonesia” (PPH Unika Atma Jaya 2015) menemukan hal serupa seperti disebut di awal paragraf ini dan menelan banyak korban konflik kepentingan atau konflik dalam pekerjaan.

 

Menjadi relawan atau aktivis yang digaji telah menghapus nuansa batin yang memuaskan. Kedua penelitian dilakukan menjelang masa-masa akhir KPAN. Dari kedua penelitian ini, jelas tergambar bahwa kebanyakan aktivis yang saat itu mungkin sudah menjadi direktur atau ketua dalam unit yang mereka pimpin, tengah menghadapi kenyataan yang tak terelakkan, passion fatique atau burnout. Untuk itupun dukungan kesehatan mental atau psikososial juga sangat tipis.

 

Oleh karena itu, bekerja hanya minimalis, sekadar memenuhi syarat kerja atau indikator kinerja. Jika ada kerja tambahan, walau sangat dibutuhkan kerja sama, tidak ada yang berinisiatif dan mengakibatkan loss to follow-up.

 

Dua tantangan

 

Pertemuan Tingkat Tinggi PBB mengenai HIV dan AIDS yang akan diselenggarakan 8-10 Juni 2021 membawa Indonesia mewakili ASEAN. Agak canggung, tentunya, menjadi wakil negara-negara yang lebih tinggi capaiannya. Tetapi pilihan ini mungkin tepat, minimal untuk dua alasan khusus.

 

Pertama, budaya inklusif yang ditumbuhkan KPAN tetap menjadi semangat dan aset luar biasa dan tidak terhapuskan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai showcase negara dengan keberagaman luar biasa tetapi juga dengan toleransi yang luar biasa dapat mencapai agenda 90-90-90 berikutnya jika pimpinan dan organisasinya disiapkan dan disegarkan kembali.

 

Menteri Kesehatan dalam sebuah rapat tim ahli yang saya hadiri pernah menyatakan bahwa Indonesia seyogianya ikut men-drive agenda PBB, bukan hanya sebagai pengikut apalagi pengekor. Toleransi dan keterbukaan inilah yang menjadi aset jika ingin ditiru negara -negara lainnya. Pimpinan di negeri ini seharusnya tidak perlu khawatir dengan riak-riak kecil yang mengembuskan intoleransi.

 

Kedua, program perlu dievaluasi secara menyeluruh dan Indonesia dapat memberikan contoh dengan mengembangkan program-program dukungan kesehatan mental dan psikososial untuk memastikan bahwa tidak ada seorangpun terintimidasi oleh sistem yang memberikan layanan penanggulangan HIV dan AIDS. Program dukungan Kesehatan mental dan psikososial sekaligus mengembalikan gairah kerja kemanusiaan dan saling membantu. Sebuah pertemuan nasional untuk mengonsolidasikan ini akan banyak manfaatnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar