Kamis, 11 Januari 2018

Pakailah Topi Kerucut dengan Gembira

Pakailah Topi Kerucut dengan Gembira
Iqbal Aji Daryono ;  Esais, tinggal di Bantul, Yogyakarta
                                                   DETIKNEWS, 02 Januari 2018



                                                           
Kemarin sore, saya sekeluarga transit di Ngurah Rai, di tengah perjalanan pulang dari Perth menuju Jogja. Di bandara yang megah karena jasa Pak SBY itu, pandangan saya tertumbuk pada dua pemandangan penggoncang iman. Yang pertama adalah boneka salju-saljuan, lengkap dengan syal merahnya, dan tulisan Merry Christmas di depannya. Yang kedua adalah "pohon" Natal yang terbuat dari lembar-lembar daun panjang kering, entah daun tebu atau ilalang, komplet dengan lonceng dan lelampu kecil.

Yang pertama membuat saya gatal. Di Bali, pulau tropis yang lembap dan membuat badan kami kaget berleleran keringat usai beberapa tahun tinggal di negeri kering, ekspresi ucapan Selamat Natal disampaikan dengan boneka salju. Duh, apa nggak meleleh dia tersengat matahari Khatulistiwa? Lagian siapa pula yang merayakan Natal sambil bermain salju di Bali?

Namun yang kedua cukup cerdas. Bentuk kerucut menyerupai pohon Natal dikawinkan dengan sumber daya lokal, yakni dedaun kering yang memang merupakan realitas sehari-hari manusia Bali.

Kalau boleh saya bilang, pemandangan yang pertama mewakili alam pikiran tekstual campur bingung. Karena Natal dirayakan masyarakat Barat saat musim dingin, maka tahniah Natal diekspresikan dengan boneka salju. Yang bikin pajangan itu tentu tak peduli bahwa Kristenitas tidak lahir di Barat, melainkan di Timur Tengah. Namun itu tetap termaafkan, sebab memang banyak turis Barat yang datang ke Bali, meski kemungkinan para turis itu malah tertawa ngakak karena jauh-jauh ke Bali cuma untuk dikasih salju yang sudah mereka miliki hahaha.

Pemandangan kedua merupakan bentuk strategi budaya yang cerdik. Ia barangkali bisa dipahami sebagai glokalisasi, melokalkan yang global, walau si pembikin pohon-ilalang saya kira tak peduli juga dengan konsep yang dipopulerkan sosiolog Roland Robertson itu.

                                                          ***

Dari dua pemandangan itu saja, kita sudah bisa melihat bahwa budaya dan produk budaya senantiasa bersifat lentur, lincah, meresap dengan mudah, dan melahirkan produk-produk budaya baru yang lain lagi.

Si boneka salju memang saya sebut sebagai wujud alam pikiran tekstual-bingung. Sebab memang penggunaan boneka salju sebagai ikon Natal hingga hari ini tidak bisa dibilang sebagai kebiasaan global. Meski demikian, jika hal itu dijalankan terus-menerus dan meluas, bukan mustahil suatu hari kelak di Pantura yang panas pun visualisasi boneka salju menjadi lazim. Kenapa? Sebab memang seperti itulah sifat budaya yang dinamis.

Kita bisa membandingkannya dengan Sinterklas, terutama dengan bagian paling berbahaya dari Sinterklas, yaitu topinya!

Sosok Sinterklas sendiri sebenarnya perkawinan dari berbagai produk budaya. Ada pengaruh dari cerita rakyat Jerman kuno, jauuuh hari sebelum kelahiran Yesus. Lalu sosok dalam legenda itu dikawinkan dengan profil Santo Nikolas dari Myra. Hasilnya, produk budaya yang tidak terdapat dalam kisah biblikal, yang tidak terkait dengan teologi Kristen, yang tidak memengaruhi sedikit pun kualitas ritual dan liturgi gereja, menjadi ikon Natal.

"Upacara Natal kami tidak akan jadi lebih baik dengan Sinterklas, dan tidak akan lebih buruk tanpa Sinterklas," begitu kata seorang kawan beragama Kristen.

Ikon Natal ini pada awalnya memang ikon Natal. Namun lambat laun dia dikooptasi oleh kapitalisme, menjadi ikon pasar. Maka Sinterklas dan topinya yang mengerikan itu lambat laun, waktu demi waktu, bermunculan bukan untuk menghadirkan semangat Natal, melainkan semangat berbelanja. Gebyar diskon Natal dan Tahun Baru di pusat-pusat pertokoan pun dijajakan oleh sosok pria tambun berjanggut dan bertopi kerucut, juga oleh para perempuan cantik dengan topi yang sama.

Maka tak aneh, meski sosok Sinterklas muncul di mana-mana, dua pekan silam saya membaca surat pembaca di sebuah koran lokal di Perth, yang menyatakan sedih karena suasana Natal di Perth sama sekali tidak menghadirkan simbol Natal dan simbol Kristen. Lho, berarti Sinterklas bukan simbol Kristen, dong?

Memang bukan. Dulu barangkali iya, tapi sekarang rasa-rasanya bukan lagi. Lihat saja di negeri-negeri non-Kristen, semisal Jepang. Sosok Sinterklas muncul di mana-mana, demi tujuan pasar, pasar, dan pasar. Di zaman ini tak bisa lagi kita melihat kostum Sinterklas (dan sekali lagi: topinya!) sebagai alat identifikasi spesifik penganut Kristen. Bahkan pada beberapa hari menjelang Natal lalu tersebar berita seorang pemuda Palestina berkostum Sinterklas dan berkalung kafiyeh melemparkan batu ke arah tentara Israel, lalu membakar foto Donald Trump. Tambah rumit, kan?

                                                          ***

Oke, bicara tentang Sinterklas memang sudah agak terlambat. Maka mari kita lanjutkan dengan topi kerucut Tahun Baru saja.

Di obrolan media sosial, kemarin ramai lagi tentang larangan memakai topi kerucut, alias topi Sanbenito. Sebab katanya topi kerucut adalah simbol bagi umat Islam Andalusia yang sudah murtad saat Spanyol kembali ditaklukkan oleh kekuatan Kristen. Dengan topi itu, mereka akan selamat dari eksekusi oleh penguasa Kristen. Begitu, katanya.

Saya mencoba mencari rujukan yang lebih bertanggung jawab soal itu. Namun yang ketemu justru informasi bahwa topi Sanbenito merupakan simbol hukuman bagi penganut ajaran yang dianggap sesat. Jadi ia justru tanda hukuman, bukan tanda keselamatan.

Entahlah. Saya sendiri tidak terlalu ambil pusing dengan "makna asalnya". Kenapa? Sebab saya rasa problem yang terjadi pada ketegangan orang banyak atas topi kerucut dan topi Sinterklas bukan pada penerimaan atas dalil-dalil dalam teks kitab suci. Melainkan lebih karena orang menolak memahami bahwa budaya bersifat sangat dinamis, dan produk budaya mengandung makna yang akan selalu berubah, mengikuti kesepakatan tiap masyarakat dan tiap zaman.

Budaya dan produk budaya terus berkembang dan berubah, terus bergeser posisinya dalam hubungan antara penanda dan tinanda, terus berkombinasi dan berkawin-mawin dengan produk-produk budaya lainnya, yang bersifat cair, lentur, dan gampang berganti makna mengikuti bahasa setiap zaman. Dengan demikian, cara melihatnya pun mesti lentur dan tidak tegang-tegang amat.

Oleh sebab itu, "makna asal" tidak selalu relevan dibicarakan. Tidak proporsional juga melihat budaya dalam orientasi "mengembalikan kepada akar". Kenapa? Sebab fungsi komunikasi dari sebuah produk budaya pada hari ini ya berjalan dengan konvensi hari ini, bukan dengan konvensi di masa lalu.

Saya ambil contoh pembanding. Permainan sepak bola pada awalnya adalah ritual kaum pagan. Tapi apakah sekarang ketika Anda membela Real Madrid atau Persebaya, maka Anda sedang memuja dewa-dewa?

Andai seorang muslim ikut main sepak bola pada zaman ketika olah raga itu masih menjalankan fungsi sebagai pemujaan dewa pagan, saya sepakat saja dengan ulama yang mengharamkannya. Namun sekarang produk budaya bernama sepak bola tidak lagi menjalankan peran demikian. Ia semata berisi gerak badan, kompetisi prestasi, tawuran, juga judi.

Saya juga sepakat dengan para ulama Nusantara di zaman kolonial Belanda yang mengharamkan celana pantalon dan dasi. Sebab pada masa itu pantalon dan dasi identik dengan penjajah, dan penjajah harus dilawan dengan segenap kekuatan, termasuk kekuatan perlawanan kultural. Namun di zaman ini, pantalon dan dasi tidak lagi menjalankan peran serupa dalam komunikasi budaya, sehingga hanya orang ngelindur saja yang masih mengharamkan dasi.

Denys Lombard menggambarkan bahwa selama masa kolonial, penutup kepala masyarakat Nusantara gagal dibaratkan. Topi Eropa sulit menjadi populer, demikian pula topi bergaya kolonial yang ternyata hanya berhasil populer di Vietnam. Seiring hilangnya kebiasaan memakai kuluk oleh para priayi, juga semakin jarangnya orang memakai blangkon dan destar, muncullah peci atau kopiah beledu hitam.

Kopiah hitam tersebut pada awalnya adalah pakaian kaum muslim Nusantara. Namun kemudian ia diluaskan pemakaiannya oleh Sukarno dan PNI, sehingga menjadi lambang nasionalisme. Jadilah sifat keislaman pada peci hitam lambat laun menghilang. Maka Anda pun tidak merasa perlu membuat demo berjilid-jilid saat seorang pejabat berkopiah hitam tersambar OTT-nya KPK.

Tuh, betapa dinamisnya makna produk-produk budaya, bukan?

                                                          ***

Saya sekarang sudah pulang ke Bantul, tanah kelahiran saya. Di depan rumah saya persawahan membentang, para tetangga dan handai taulan yang mayoritas hidup sebagai petani mengolah tanah dengan riang.

Banyak sekali di antara mereka yang memakai caping bambu berbentuk kerucut, dan hati saya terbakar melihat itu semua. Ingin sekali saya memperingatkan mereka dengan keras, agar mereka tidak meniru-niru kaum muslim murtad dan terus-menerus tanpa sadar menjadi korban ghazwul fikr alias perang pemikiran.

Namun menyadari bahwa mereka lebih lebih rajin ke masjid ketimbang saya, dan menyadari bahwa mencangkul tanah atau menyiangi rumput gulma sambil bersorban justru membuat kepala mereka gerah kepanasan, maka saya simpan rasa ingin mendakwahi itu dalam-dalam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar